kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Pembelajaran digital

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Selasa, 28 Agustus 2018 / 17:25 WIB
Pembelajaran digital

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Abad milenial yang sekarang sedang kita jalani ditandai dengan kehadiran dua hal utama.

Pertama, kehadiran generasi baru yang disebut generasi Y, berikut variannya Z dan Alpha, dengan karakteristik sifat dan gaya yang sangat berbeda dengan generasi-generasi pendahulunya (X, Baby Boomers dan Patrimonial).

Dan, yang kedua ditandai dengan perkembangan teknologi digital yang semakin cerdas, dan hadir di tangan kita masing-masing dalam bentuk smart-device berupa komputer, gawai dan produk-produk turunannya.

Dalam sebuah diskusi dengan beberapa rekan sarjana psikologi, pernah dibicarakan tentang kemungkinan perubahan teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow.

Beberapa peserta, termasuk saya, yakin jika sang perumus teori tersebut masih hidup, boleh jadi dia akan merevisi teorinya tersebut.

Wacana-wacana baru, seperti : wisata, smartphone, power-bank, internet dan “teman-teman”nya semisal wifi, media sosial, boleh jadi akan masuk ke dalam kategori kebutuhan dasar manusia; melengkapi kebutuhan elementer klasik berupa kebutuhan fisiologis, seks, pangan, sandang dan papan.

Generasi Y dan variannya telah hadir menjadi satu generasi baru, dengan orientasi berpikir, sikap perilaku dan tindak tanduk yang relatif berbeda. Termasuk juga di dalamnya adalah perilaku pembelajaran (learning-behavior).

Generasi baru hadir dengan perilaku yang fasih bergelut dengan urusan teknologi (tech-savvy), pergaulan maya (virtual interaction), sekaligus berorientasi kepada “kesenangan” atau kegembiraan/ leisure.

Dengan demikian, proses dan metodologi pembelajaran yang perlu dibangun untuk generasi terkinipun musti melibatkan unsur teknologi dan interaksi virtual, serta mendatangkan kegembiraan pembelajaran.

Para pegiat dunia pembelajaran menyebutnya sebagai digital learning (pembelajaran digital), dan saat ini menjadi jargon (buzzwords) yang marak didiskusikan dan dipelajari.

Seorang teman memberikan referensi yang menarik tentang makna pembelajaran digital.

Katanya, pembelajaran digital adalah proses pembelajaran yang mengkapitalisasi teknologi digital sedemikian rupa, sehingga bisa menjawab kecenderungan generasi saat ini.

Ibaratnya, jika dahulu orang belajar di kelas bersama teman-teman lainnya dari seorang guru, maka saat ini seseorang bisa belajar sendirian di ruang virtual, pada waktu kapan pun (any when), di mana pun (any where), dengan dinamika dan cara pembelajaran apapun (any how).

Pembelajaran digital yang sangat individualistik ini dianggap sesuai dengan selera pembelajaran generasi masa kini yang cenderung bersifat instan (ingin mendapatkan segala sesuatu dengan segera), mobile (dapat berpindah dengan mudah dari satu tempat ke tempat lainnya), serta personalized (disesuaikan dengan kehendak pribadi).

Kalau pembaca sulit memahami proses pembelajaran digital yang dimaksud.

Bayangkan saja setiap orang memiliki personal google-nya masing-masing; yang siap memenuhi hasrat pembelajaran dan rasa ingin tahu apapun, pada saat kapan pun, sedang berada di mana pun, dan ketika Anda sedang beraktivitas apa pun.

Betapa menyenangkan mempunyai fasilitas pembelajaran seperti ini, bukan?

Tak perlu kelas

Mendengar penjelasan sang teman, saya berpikir masygul. Apakah pembelajaran masa depan –yakni pembelajaran digital– yang sangat individualized, akan kehilangan dimensi sosialnya.

Orang tak perlu lagi berkumpul dalam satu ruang kelas untuk saling berinteraksi, berbagi dan berdiskusi, karena semua bahan dan proses pembelajaran bisa digantikan oleh ruang virtual dan informasi digital yang ada di platform teknologi?

Demikian pula, apakah pembelajaran digital yang bisa menyediakan segala sesuatu secara instant, tak akan menghilangkan “proses pendalaman” yang seringkali dibutuhkan untuk kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya?

Saya jadi teringat dengan pesan seorang kerabat yang juga perenang profesional. Baginya, untuk menjadi perenang andal tak cukup hanya dengan membaca buku tentang teori dan teknik berenang yang baik.

Kita harus “menyemplungkan” diri ke kolam renang, untuk merasakan langsung panas dinginnya air dan riuh-gemuruhnya lingkungan sekitar.

Demikian juga, untuk menjadi perenang profesional, tak hanya cukup dengan berenang-renang senang di kolam dangkal pada akhir pekan.

Tak ada pilihan, kita harus latihan berenang di kolam dalam setiap hari, siang dan malam.
Pembelajaran digital memang harus memanfaatkan kemajuan teknologi sebaik-baiknya, karena demikianlah arah perkembangan zaman.

Namun, pembelajaran sejati tak akan pernah lepas dari interaksi sosial yang nyata dan ditempuh dengan proses pendalaman. Tak sekadar virtual dan instan belaka.



TERBARU

×