kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Membangun bisnis dengan kultur korporasi

oleh Jennie M. Xue - Kolumnis internasional serial entrepreneur dan pengajar, bisnis, berbasis di California


Selasa, 28 Agustus 2018 / 18:07 WIB
Membangun bisnis dengan kultur korporasi

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: hendrika.yunaprita

Slogan alias tagline yang biasanya dituliskan bersamaan dengan merek, seperti "Just Do It" -nya Nike, sesungguhnya mempunyai kekuatan besar untuk membentuk kultur korporasi. Dengan gabungan struktur bisnis, produk viral, monetisasi, dan kultur korporasi yang tepat, dapat dipastikan sukses di tangan.

Kuncinya adalah implementasi fusi merek (brand fusion) yang tepat, menurut Denise Lee Yohn dalam bukunya Fusion. Selain Nike, AirBnB dengan slogan "Belong Anywhere" membentuk lebih dari sekadar image, namun juga model bisnis serta bisnis-bisnis auksilari yang piggybacking bisnis utama.

Konsep "belonging" -nya AirBnB dan "kerjakan aja deh"-nya Nike menjadi jiwa bisnis keseluruhan. Setiap tahun, setiap pegawai AirBnB mendapati jatah US$ 2.000 untuk digunakan sebagai akomodasi dalam perjalanan wisata. Tentu saja penginapan yang disediakan adalah di antara partner AirBnB.

CRM di cloud Salesforce membentuk kultur korporasi dengan konsep ohana-nya Hawaii. Ohana adalah kultur kekeluargaaan di kepulauan tropis ini yang menjadi inspirasi dalam membentuk kultur korporasi.

Setiap anggota korporasi dipandang sebagai keluarga sendiri, yang tercermin dari penggunaan salutasi "aloha" yang berarti "love" atau "kasih" dan ungkapan terima kasih "mahalo" di akhir setiap email. Kultur kasual Hawaii juga sangat terasa di Salesforce dengan casual Friday dress code kemeja Hawaiian yang santai berbunga-bunga.

Google mempunyai program "rule of seven," di mana setiap pegawai mempunyai akses ke tujuh orang pengambil keputusan, sehingga setiap ide yang tergenerasi mendapatkan perhatian dan kesempatan untuk dieksekusi. Program tersebut merupakan implementasi dari kultur yang sangat mengutamakan terbentuknya ide-ide cemerlang.

Ritz-Carlton Hotel, misalnya, sangat mengutamakan empati, kerendahan hati dan caring. Di lokasi manapun, para pegawai dan manajer hotel telah di-train untuk menghormati para tamu dan sangat care akan kebutuhan mereka. Sekecil apapun yang dibutuhkan, pasti dipenuhi.

Sebaliknya, di Walmart, kultur yang ditekankan adalah "low prices and good value for money." Terjemahan bebasnya: Harga murah dan nilai tinggi untuk harga tersebut. Jadilah dapat dipastikan semua produk yang dijual sangat terjangkau.

Dari beberapa best practices di muka, dapat kita simpulkan. Pertama, setiap merek mempunyai "jiwa" yang terpancar dari slogan dan kultur korporasi. Keduanya perlu sejajar dan selaras, bukan bertolak belakang. Misalnya, image bisnis yang jujur dan terbuka, tidak bisa dijalankan dengan kultur korporasi tertutup dan tidak transparan.

Kedua, merek dan slogan adalah "kultur eksternal," sedangkan kultur korporasi yang dijalankan oleh para pegawai dan stakeholder dalam adalah "kultur internal." Kultur eksternal dan internal perlu saling mendukung, sehingga tidak menimbulkan kebingungan di antara para konsumen.

Ketiga, diperlukan keterbukaan akan kultur yang diharapkan. Hal ini dapat dibentuk dengan deskripsi jelas dan aplikasi top-to-bottom. Untuk itu, kenali dari awal filosofi dasar bisnis hingga implementasi ke jajaran terbawah.

Blue Bird, misalnya, sangat mengutamakan kejujuran dan profesionalitas yang tercermin dalam setiap divisi internal maupun yang berhadapan langsung dengan konsumen yaitu para driver and customer service. Tampaknya, transparansi mengenai kultur integritas dari awal proses perekrutan sangat menentukan keberhasilan penerapannya.

Keempat, tumbuhkan kultur yang diharapkan dengan aktivitas-aktivitas pendukung. Tidak cukup hanya dengan mengadakan tamasya tahunan atau casual Friday. Nilai-nilai yang ingin diterapkan, perlu diingatkan dengan aktivitas-aktivitas yang sesuai. Sebagai contoh, di organisasi yang berkultur "caring and sharing," ajaklah setiap pegawai untuk bekerja volunter di LSM-LSM partner atau kerja bakti di lingkungan. Bisa juga mendirikan klub yang punya visi dan misi yang sama.

Bisa juga dengan menggunakan berbagai simbol atau benda yang menggambarkan kultur tersebut. Misalnya, simbol persahabatan bisa saja dengan mengenakan "friendship bracelet" atau mengakhiri setiap email dengan "salam persahabatan" daripada "best regards."

Konklusinya, setiap aktivitas organisasi dapat mencerminkan nilai-nilai yang dibawa. Dan memang ini membutuhkan kesadaran akan filosofi mendasar. Pastikan perilaku pemimpin dari top-to-bottom mencerminkan kultur ini.

Kultur korporasi kelihatannya adalah hal sepele, padahal sangat besar artinya dalam membentuk karakter eksternal setiap stakeholder yang terlibat. Dengan ini, dapat diekspektasikan meningkatnya produktivitas yang mampu bermuara pada peningkatan profit.

Selamat membangun kultur korporasi yang sehat.



TERBARU

×