kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Sense of higher purpose

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 10 September 2018 / 18:21 WIB
Sense of higher purpose

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Salah satu hal penting yang gencar dibangun oleh perusahaan-perusahaan dewasa ini adalah engagement.

Engagement memungkinkan karyawan bekerja melampaui batas tanggungjawab formal belaka, dan mereka mengerahkan kemampuan terbaiknya sekuat tenaga, setulus hati dan segenap pikiran. All-out!

Namun sayangnya, sudah cukup banyak studi yang menunjukkan hasil yang berkebalikan.

Masih banyak karyawan yang not-engaged, yakni mereka yang menjalankan rutinitas pekerjaan sehari-hari semata-mata sebagai kewajiban. Pas banderol, tak lebih, juga tak kurang.

Bahkan, ada sebagian karyawan yang dianggap actively-disengaged. Untuk kasus terakhir, alih-alih bekerja sepenuh hati, mereka malahan sudah merasa tidak puas dan bahagia lagi di tempat kerja.

Mereka sibuk mengumbar ketidakpuasan, bahkan ikut mempengaruhi dan merusak moral teman-teman kerjanya.

Apa yang dilakukan oleh perusahaan selama ini bila menemukan kasus disengagement seperti di atas?

Umumnya, ada dua hal yang dikerjakan, yakni : melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap sang karyawan, ataupun memberlakukan sistem reward punishment yang dikaitkan dengan kinerjanya.

Semakin disengaged karyawan tersebut, semakin besar pula pengawasan yang diberikan oleh perusahaan; dan sebaliknya.

Demikian pula, semakin engaged karyawan, semakin besar pula janji insentif yang akan diberikan kepadanya; juga sebaliknya.

Praktik yang sudah berjalan sekian lama ini, tanpa disadari membentuk keyakinan kolektif kita bahwa karyawan pada dasarnya adalah makhluk yang bertindak melulu atas dasar kepentingan pribadi (self-interested agent).

Sama halnya, hubungan perusahaan dan karyawan juga semata-mata bersifat kontraktual, yakni tempat terjadinya pertukaran kepentingan antar pihak.

Membangun engagement semata-mata ditempuh lewat cara pemenuhan kepentingan masing-masing pihak, sesuai dengan apa yang sudah ditandatangani dalam kontrak kerja.

Dalam tulisannnya bertajuk Creating a Purpose-driven Organization (HBR, July-August 2018), Robert E. Quinn dan Anjan V. Thakor menggagas pentingnya dimensi transendental organisasi dalam membangun engagement.

Robert dan Anjan menyebut dimensi ini sebagai sense of higher organizational purpose, yakni perasaan bahwa pekerjaan seseorang terkoneksi dengan cita-cita dan makna kehidupan yang lebih besar.

Penuntasan pekerjaan tak semata-mata dikaitkan dengan urusan gaji, karier, insentif, kontrak kerja dan sebagainya, namun juga dilihat dari perspektif makna dan cita-cita kehidupan yang lebih luas (higher purpose).

Bila sulit memahami pengertian sense of higher purpose di atas, cerita berikut ini mungkin bisa menjadi ilustrasi yang membantu.

Alkisah, ada dua orang tukang batu yang sedang bekerja di tempat yang sama. Sebutlah dengan nama Amir dan Badu.

Suatu saat, mereka ditanya, “Apakah yang sedang kamu lakukan?”.

Amir, sambil terus bekerja menjawab datar, “Saya sedang menumpuk bata, sesuai dengan tugas tanggungjawab sebagai tukang batu”.

Tanpa menoleh sana-sini, Amir pun terus menumpuk bata mengikuti rutinitas yang telah dijalaninya selama ini.

Sementara itu, terhadap pertanyaan yang sama, Badu menjawab sumringah sambil menerawang ke atas, “Wah, saya sedang membangun sebuah masjid agung, yang nantinya akan dinikmati oleh banyak orang yang ingin bersembahyang khusuk kepada Sang Khalik”.

Dengan kegembiraan hati dan antusiasme besar, Badu pun melanjutkan pekerjaannya.

Mendorong karyawan

Amir adalah contoh pekerja yang melakukan tugasnya atas dasar kontrak formal, sementara Badu adalah representasi pekerja yang menunaikan tugasnya atas dorongan sebuah higher purpose, cita-cita yang melampaui urusan kontrak kerja dan insentif kekaryawanan.

Tugas seorang pemimpin adalah mendorong dan memfasilitasi setiap pekerja untuk menemukan higher purpose dari pekerjaannya masing-masing.

Dalam bukunya The Why of Work (2010), pakar manajemen Sumber Daya Manusia, Dave Ulrich dan Wendy Ulrich, menyebut organisasi yang berhasil membangun sense of meaning atawa purpose seperti ini sebagai abundant organization.

Di dalam abundant organization, karyawan mampu mewujudkan aspirasi, energi dan kreativitas hingga batas yang paling tinggi.

Laksana si Badu, mereka juga bekerja dengan melampaui batas kepentingan diri sendiri.

Namun, kata Robert dan Anjan, sebelum mendorong karyawan untuk menemukan dan menjalani “makna” pekerjaannya, seorang pemimpin harus terlebih dahulu merumuskan dan menghidupi “makna” kepemimpinannya.

Ini namanya otentisitas.   ?



TERBARU

×