kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ibl

Antara eksplorasi dan eksploitasi

oleh Franky Supriyadi - Center for Human Capital Prasetiya Mulya Business School


Senin, 06 Mei 2013 / 12:56 WIB
Antara eksplorasi dan eksploitasi

Reporter: Franky Supriyadi | Editor: tri

Pemimpin bisnis kerap dihadapkan pada pilihan dikotomis yang sama pentingnya bagi keberlanjutan masa depan perusahaan. Pilihan tersebut bagaikan dua ujung tongkat yang hanya bisa digenggam salah satunya. Memegang ujung yang satu, berarti mengabaikan ujung lainnya.

Namun demikian, selain opsi yang hanya mengedepankan salah satu alternatif saja, mungkinkah menerapkan opsi lain, di mana keduanya saling berdampingan? Akankah keunggulan bersaing tercipta melalui opsi ketiga ini?  

Sebagai contohnya, persaingan dan kerja sama. Keduanya dapat dipraktikkan secara terpisah, tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk dijalankan secara serempak, yang dikenal  sebagai coopetition. Beberapa produsen komputer bersaing dalam memasarkan produknya, tetapi bekerja sama mendukung research and development bagi microchip yang lebih andal.

Dalam konteks seperti ini, pilihan tersebut tidak lagi bersaing, tetapi beriringan menjadi pilihan baru. Tentu saja hal ini tidak selalu mudah, karena melibatkan dua hal yang mungkin berbeda dan berpotensi meningkatkan kerumitan implementasi. Namun, jika hambatan tersebut dapat diatasi, pendekatan hybrid seperti ini tampaknya bisa membawa manfaat lebih besar dari sekadar pilihan yang terpisah.

Pilihan mendua lain adalah eksplorasi dan eksploitasi. Keduanya menyangkut hal pembelajaran perusahaan, tetapi berbeda dalam orientasi dan cakupannya. Eksploitasi memanfaatkan  pengetahuan dan kompetensi masa kini, sementara eksplorasi membangun pengetahuan dan kompetensi baru bagi keunggulan masa depan (March, 1991).

Adalah lumrah, demi mempertahankan keberadaannya perusahaan terus-menerus memperbaiki kinerjanya. Pada umumnya  pemenuhan ini dicapai melalui perbaikan terhadap apa yang telah dilaksanakan selama ini. Dengan kata lain, perusahaan mengeksploitasi  sumber daya dan kompetensi masa kininya demi  prestasi lebih baik. Bentuknya bisa berupa peningkatan efisisensi dan munculnya keragaman lini produk.

Tentu tidak keliru, namun pendekatan yang hanya mengutamakan eksploitasi ini saja tidak cukup untuk memastikan keberlanjutan perusahaan di masa datang dengan tuntutan dan tantangan berbeda. Terlebih lagi, perubahan teknologi yang cepat ikut mempengaruhi preferensi konsumen dan siklus hidup suatu produk. Dominasi eksploitasi bisa berakibat hilangnya kemampuan bersaing di masa depan.

Kita bisa bercermin pada pengalaman perusahaan besar sekelas Kodak. Perusahaan ini pernah merajai fotografi analog, tetapi sekarang tertinggal jauh dalam fotografi digital, karena lalai membangun kompetensi baru.


Pembagian fokus

Kegagalan menyesuaikan diri dan menghasilkan  inovasi terobosan bukan hal yang jarang terjadi di dunia bisnis. Banyak perusahaan yang terjebak dalam tindakan pemanfaatan lebih lanjut sumber daya dan kompetensi saat ini, dan mengabaikan upaya eksplorasi sumber daya dan kompetensi  baru.

Memang, kegiatan eksploitasi sering lebih diminati dibanding eksplorasi. Penyebabnya antara lain hasil eksploitasi yang terukur, segera terlihat dan terprediksi, sementara hasil eksplorasi belum tentu positif, jangkanya panjang, dan tidak pasti. Dalam jangka pendek, eksploitasi membuahkan hasil yang efektif, tetapi dalam jangka panjang mungkin melemahkan daya saing perusahaan. Sebaliknya, eksplorasi baru dapat dinikmati di masa datang, sedangkan manfaatnya kecil di masa kini.

Di samping itu, keterbatasan sumber daya juga bisa menyebabkan pemimpin bisnis lebih condong ke salah satu pendekatan saja. Hal ini menciptakan hubungan yang bersifat saling meniadakan. Jika sumber daya yang terbatas itu dialokasikan untuk satu pendekatan, maka pendekatan lain tidak dapat difasilitasi. Jika begitu, pilihan dikotomis ini menjadi timpang sebelah.

Meski banyak pihak  sepakat bahwa kebutuhan untuk menyeimbangkan keduanya penting, penerapannya tidaklah sederhana. Kerepotan muncul karena kedua pendekatan ini merupakan proses pembelajaran yang berbeda, menuntut tindakan, perilaku, dan cara pandang yang berbeda pula. Di samping itu, jika dilaksanakan secara bersamaan, keduanya akan bersaing dalam menyedot sumber daya perusahaan yang terbatas.

Ditambah lagi dengan tekanan persaingan yang sering kali mendorong perusahaan untuk fokus pada salah satunya saja. Misalnya, orientasi jangka pendek yang lebih menguntungkan akan mendorong pemimpin bisnis mengutamakan eksploitasi.

Bagaimana menyikapinya? Tengoklah apa yang disampaikan oleh para peneliti bisnis: O’Reilly & Tushman (2004), Gupta, Smith, & Shalley (2006) Carroll (2012), dalam menyeimbangkan kedua pendekatan penting ini. Salah satu mekanisme yang diusulkan adalah membangun unit kecil tersendiri yang berorientasi pada eksplorasi, sementara organisasi besar tetap melanjutkan kegiatan eksploitasi. Integrasi dilakukan pada tingkat pimpinan puncak.

Alternatif lain adalah membangun aliansi strategis dengan perusahaan lain sebagai mitra pelengkap. Perusahaan yang berorientasi eksploitasi perlu bermitra dengan perusahaan lain yang giat mengembangkan teknologi baru. Begitu pula sebaliknya. Tentu diperlukan koordinasi yang baik antara mitra usaha tersebut.

Mekanisme lain yang dapat dipertimbangkan adalah secara temporer mengganti orientasi sejalan dengan tuntutan perubahan. Tantangannya terletak pada efektivitas implementasi perubahan yang cukup sering terjadi.

Pilihan yang tepat sangat bergantung pada faktor eksternal dan internal perusahaan. Namun, di atas semua itu, tak terelakkan peran penting pemimpin bisnis yang berorientasi hibrid untuk terus membangun masa depan sambil memaksimalkan kompetensi yang sekarang dimiliki. Suatu orientasi keseimbangan perlu diupayakan terus oleh setiap pemimpin bisnis.        

E-mail: frsupriyadi@pmbs.ac.id



TERBARU

×