kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Menyoal jumlah saham optimal

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Modal dan Pasar Uang


Senin, 13 Mei 2013 / 17:01 WIB
Menyoal jumlah saham optimal

Reporter: Budi Frensidy | Editor: djumyati

Berapa banyak sebaiknya jumlah saham dalam portofolio seorang investor ritel? Apakah investor ritel di BEI juga melakukan diversifikasi seperti investor institusi? Jika mereka tidak diversifikasi, apa alasan utama yang mendasarinya dan bagaimana kinerjanya dibandingkan dengan investor ritel yang diversifikasi? Itulah empat pertanyaan yang ingin saya jawab dalam disertasi yang baru saja saya selesaikan dan pertahankan bulan lalu. 

Teori portofolio modern yang dipelopori Markowitz (1952) menasihati investor saham untuk diversifikasi dalam usaha mengurangi atau meminimumkan risiko. Diversifikasi akan membuat risiko portofolio lebih rendah tanpa mempengaruhi expected return. Dengan matematika sederhana, Markowitz dalam disertasinya mampu membuktikan penurunan risiko ini dengan indah dan gamblangnya. 

Riset untuk menentukan berapa jumlah saham yang optimal untuk memperoleh manfaat diversifikasi pertama kali dilakukan Evans dan Archer (1968). Mereka mengatakan, akan ada sangat sedikit manfaat diversifikasi ketika portofolio sudah mencapai delapan hingga sepuluh saham dengan bobot yang sama, walaupun diversifikasi dilakukan secara acak.

Penelitian Fisher dan Lorie (1970) dan Jacob (1974) mendukung pernyataan ini. Elton dan Gruber (1977) melanjutkan penelitian mereka dan menemukan hasil yang hampir sama bahwa sebagian besar manfaat diversifikasi yaitu penurunan total risiko sebesar 51% sudah dapat diperoleh ketika sekuritas berjumlah 10 saham.

Risiko portofolio turun sebesar 5% lagi saat jumlah saham menjadi 20 dan berkurang hanya 2% ketika jumlahnya mencapai 30. Manfaat diversifikasi dari penambahan sekuritas baru hampir tidak ada lagi jika portofolio sudah sekitar 50 saham.

Sementara itu, Bloomfield  et al (1977) menyatakan diperlukan 20 saham untuk mendapatkan manfaat diversifikasi dalam ekuitas. Statman (1987) berpendapat lain bahwa tidak kurang dari 30 saham (untuk borrowing investor) dan 40 saham (untuk lending investor) dibutuhkan untuk memperoleh manfaat optimal dari diversifikasi.

Persepsi bahwa sebagian besar risiko tidak sistematis dapat dihilangkan ketika portofolio mengandung 10 atau 100 saham, menurutnya, tidak berarti tanpa memahami manfaat dan biaya diversifikasi. Yang benar, diversifikasi harus terus ditingkatkan selama marginal benefit lebih besar daripada marginal cost. Campbell et al (2001) berpendapat hampir sama dengan Statman bahwa jumlah saham optimal adalah sekitar 50 saham. Menurutnya, turunnya koefisien korelasi antar saham di bursa meningkatkan manfaat diversifikasi.

Nasihat lain datang dari Wasik (1995) dan The National Association of Investors Corporations (NAIC) yang mewakili 8.000 klub pemilihan saham yang merekomendasikan investor saham untuk memegang tidak kurang dari lima saham dalam portofolionya. NAIC menyebut aturan ini sebagai The Rule of Five. Dari lima saham ini, satu akan menjadi saham pecundang (loser), tiga akan memberikan return pas-pasan (mediocre), tetapi yang kelima akan menjadi pemenang sejati (real winner). 

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa portofolio yang terdiversifikasi dengan baik adalah yang terdiri paling sedikit belasan saham. Praktik ini sangat lazim dilakukan investor institusi dan manajer investasi yang mengelola reksadana saham karena mereka hanya boleh berinvestasi dalam satu saham maksimum 10%. Demikian juga investor institusi yang mengelola dana pensiun atau dana publik seperti perusahaan asuransi. Tetapi tidak demikian dengan para investor individu yang sebagian besar memegang lima saham atau kurang berdasarkan sejumlah penelitian di bursa Amerika, Jerman, dan Prancis selama tiga -- empat dekade terakhir.

Rendahnya investor individu melakukan diversifikasi mungkin saja disebabkan rendahnya nilai portofolio mereka. Akan tetapi, dalam penelitian Mitton dan Vorkink (2007), rata-rata nilai portofolio saham investor ritel cukup besar sehingga ukuran portofolio mestinya bukanlah faktor yang dominan. Selain itu, dalam penelitian Kelly (1995), fenomena tidak melakukan diversifikasi terjadi untuk semua kelas investor termasuk mereka yang ukuran portofolionya berada dalam 20% teratas.

Fenomena investor memiliki sedikit saham juga terjadi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dari 194.397 investor saham ritel domestik yang tercatat di KSEI dan masih mempunyai portofolio saham per 31 Desember 2011 lalu, rata-rata jumlah saham yang dipegangnya adalah 4,34 saham dengan median dua saham. Ini berarti, sedikitnya 50% investor ritel di BEI hanya memegang rata-rata satu sampai dua saham.

Secara teoretis, hampir semua investor memahami manfaat diversifikasi dalam mengurangi risiko. Dalam praktiknya, banyak investor ritel tidak menerapkannya. Penelitian mengenai praktik investor individu di BEI adalah penting mengingat jumlah investor saham ritel yang tercatat di KSEI per akhir 2011 mencapai 95,4% dari seluruh akun yang ada dan sebagian besar adalah investor domestik. Saya akan membeberkan hipotesis yang dapat menjelaskan tidak dilakukannya diversifikasi dan temuan yang diperoleh dari investor ritel domestik di BEI pada tulisan berikutnya.



TERBARU

×