kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ibl

Employer branding buat "Generasi Nunduk"

oleh Lenny Sunaryo - Faculty Member Prasetiya Mulya Business School


Senin, 30 September 2013 / 13:10 WIB
Employer branding buat

Reporter: Lenny Sunaryo | Editor: tri

Lulusan sarjana S-1 Ekonomi, Manajemen dan Bisnis, semakin banyak. Meski begitu, perusahaan semakin kesulitan merekrut lulusan baru yang baik. Kalaupun rekrutmen berhasil, ada kecenderungan mereka hanya bertahan bekerja selama satu tahun atau dua tahun, kemudian meloncat ke perusahaan lain. Fenomena ini mengglobal dan terjadi di mana-mana, bukan hanya di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia.

Apabila kita cermati, karakter angkatan kerja baru generasi kelahiran akhir tahun 1990-an, yaitu generasi Z, berbeda dengan karakter generasi sebelumnya (X dan Y). Gen Z ini pada umumnya lahir dalam keluarga yang serba berkecukupan dan sudah akrab dengan berbagai gadget elektronik, perangkat komunikasi, serta games semenjak mereka berusia dini.

Mereka aktif terkoneksi dengan internet selama matanya terbuka, dan ter-update dengan segala macam informasi baru yang beredar dengan menggunakan perangkat BlackBerry (BB) ataupun ponsel pintar lain yang semakin canggih. Para profesional muda membawa dan menggunakan BB dan smartphone secara aktif sudah jadi pemandangan umum di mal-mal, kendaraan umum, restoran, dan perkantoran di Jakarta.

Saking seringnya menggunakan perangkat telekomunikasi canggih ini, mereka mampu melakukan berbagai kegiatan sekaligus, mulai dari membaca, mengetik, mendengar, dan melihat gambar yang ada di layar monitor perangkat mereka sambil menunduk dan berjalan, berbicara hingga melakukan aktivitas lain seperti makan, minum, dan lain-lain. Seorang teman menjuluki mereka “Generasi Nunduk”.

Angkatan kerja Gen Z seperti inilah yang kita hadapi sekarang. Mereka semakin kaya informasi, canggih menggunakan berbagai gadget, dan dinamis, sehingga dibutuhkan oleh perusahaan dalam era globalisasi ini. Di sisi lain, kesempatan bagi mereka mencari pekerjaan di tempat yang mereka inginkan juga makin terbuka luas.

Dengan banyaknya pilihan ini, bargaining power Gen Z jadi lebih tinggi. Mereka tidak tergesa-gesa dalam mencari pekerjaan dan cenderung mendahulukan kepentingan mereka sendiri daripada perusahaan. Akibatnya perusahaan semakin sulit merekrut karyawan yang baik dari angkatan kerja Gen Z ini.

Salah satu upaya yang dilakukan perusahaan adalah membangun employer branding, yaitu membangun brand perusahaan dengan mengomunikasikan nilai yang ditawarkan (value-proposition) pada calon pelamar. Tentunya nilai yang ditawarkan adalah yang "menjual" dan dipandang menarik bagi pelamar yang dituju, sehingga pada akhirnya menjadi pilihan untuk ‘dibeli’ oleh pelamar.

Employer branding juga  digunakan sebagai strategi pembeda dengan perusahaan lain. Faktor yang digunakan untuk membangun employer branding adalah faktor-faktor yang menurut perusahaan pencari tenaga kerja, menarik bagi target yang dicari. Dengan demikian mencerminkan keadaan pasar tenaga kerja di tempat dan pada masa tertentu (kontekstual).


Kepedulian sosial yang rendah

Faktor apa saja yang dianggap penting dalam menciptakan employer branding perusahaan besar di Jakarta? Berikut adalah paparan sekilas hasil dari suatu penelitian sederhana yang saya lakukan baru-baru ini di Jakarta.

Survei ini melibatkan 92 pimpinan puncak (manajer dan direktur) dari berbagai perusahaan besar di Jakarta. Mereka diminta untuk menilai faktor-faktor yang dianggap paling "menjual" dan menarik bagi calon pelamar (Gen Z). Satu, didapati bahwa faktor-faktor dengan nilai rata-rata tertinggi adalah memberi kesempatan pengembangan karier.

Kedua, menghargai karyawan. Ketiga, meningkatkan kepercayaan diri. Keempat, menerapkan budaya terbuka dan jujur. Kelima, memiliki lingkungan kerja yang ramah. Keenam, meningkatkan kebanggaan diri.

Adapun faktor-faktor dengan nilai rata-rata terendah adalah peduli pada lingkungan sosial (social responsible), menawarkan gaji tinggi, lebih menghargai performa dibanding hubungan kerja.

Meskipun penelitian ini sederhana, hasilnya cukup menarik. Ternyata faktor yang dipandang "menjual" dan menarik bagi calon pelamar, menurut manajemen puncak perusahaan besar responden, bukanlah besarnya gaji, tapi kesempatan untuk berkembang, penghargaan dan apresiasi terhadap karyawan, keterbukaan dan kejujuran, dan lingkungan kerja.

Yang lebih menarik lagi (atau lebih tepatnya menyedihkan), ternyata mereka memandang bahwa faktor "kepedulian pada lingkungan sosial" bukanlah faktor yang "menjual" sehingga dapat menarik calon pelamar. Faktor ini bahkan merupakan salah satu yang bernilai rata-rata terendah. Demikian juga faktor performa atau kinerja.

Apakah ini berarti bahwa para pimpinan puncak perusahaan besar di Jakarta berpandangan bahwa Gen Z sekarang ini tidak terlalu peduli bahwa perusahaan tempat mereka bekerja nantinya memiliki kepedulian sosial? Apakah ini juga berarti bahwa Gen Z ini tidak terlalu suka bekerja di perusahaan yang mementingkan performance, tetapi lebih suka bekerja di perusahaan dengan lingkungan ramah?

Mudah-mudahan para pimpinan puncak yang melakukan employer branding bukan hanya untuk menarik banyak calon pelamar, sehingga mereka memilih untuk mengomunikasikan faktor-faktor yang sesuai dengan nilai-nilai dan karakter Gen Z. Hendaknya perusahaan besar dapat berperan sebagai agen perubahan dan memanfaatkan employer branding tersebut sebagai suatu strategi untuk mengubah nilai-nilai generasi penerus bangsa ini.

Kita semua sebagai warga negara Indonesia bertanggung jawab untuk ikut mendidik putra-putri Indonesia sehingga “Generasi Nunduk” ini dapat berubah. Semestinya employer branding dapat dimanfaatkan untuk dapat menarik pelamar yang baik, bukan justru ditarik mengikuti keinginan Gen Z yang kurang peka pada kepedulian sosial.         

Lenny.sunaryo@pmbs.ac.id



TERBARU

×