kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ceritalah

Solusi Kemacetan Butuh Koordinasi

oleh Karim Raslan - Pengamat Asia Tenggara


Rabu, 11 Desember 2013 / 12:05 WIB

Reporter: Karim Raslan | Editor: cipta

KEMACETAN yang terjadi di Jakarta menyebabkan kerugian materil mencapai Rp 35 triliun per tahun, dengan perincian kerugian biaya bensin Rp 12 triliun dan biaya operasional kendaraan Rp 23 triliun. Diperkirakan, kerugian menjadi Rp 65 triliun pada 2020. Angka kerugian ini dapat bertambah karena pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan kebijakan mobil murah ramah lingkungan (LCGC).

Musim hujan hanya akan menambah penderitaan para komuter (orang yang setiap hari pulang-pergi untuk bekerja) di Jakarta. Saat duduk di dalam mobil, mereka akan dapat membayangkan apa yang dilakukan para pemimpin mereka.

Memang, dengan lebih dari 14 juta orang bergerak di sekitar Jakarta setiap hari (jumlah yang lebih besar dari populasi Jakarta sekitar 9,8 juta) sulit untuk melihat adanya solusi tanpa kerjasama yang lebih besar dengan pemerintah kota-kota sekitarnya dan pelayanan transportasi yang berbeda-beda.

Tentu saja, Gubernur Jakarta Joko Widodo, yang biasa disapa Jokowi sudah berjanji segera membenahinya. Tetapi, apakah ia dapat melakukannya? Dapatkah monorel yang dijadwalkan beroperasi pada 2017 dan MRT pada 2018 benar-benar membawa perbaikan? Bukankah peningkatan jumlah mobil dan motor (diperkirakan lebih dari 11,26% per tahun) membuat kapasitas jalan di Jakarta tidak lagi dapat menampungnya?

Tentu saja, problem kemacetan ini bukan seluruhnya menjadi tanggung jawab Pak Jokowi. Beberapa tahun terakhir, telah terjadi penurunan investasi dan pembiaran, sehingga menyebabkan Jakarta semakin dekat dengan kemandegan (stuck). Meski begitu, Jokowi telah mewarisi masalah dan sekarang perlu segera mengatasinya, terutama jika ia berambisi untuk jabatan yang lebih tinggi lagi.

Walaupun begitu, memang masih ada kekhawatiran, bahkan tentang solusi yang dilakukan Jokowi untuk mengatasi kemacetan. Pengerjaan proyek monorel dan MRT hanya akan membuat lalu lintas lebih buruk dalam jangka pendek.

Memang, banyak orang bertanya-tanya apakah kota-kota di Indonesia benar-benar membutuhkan transportasi massal? Akankah MRT dan monorel memberi solusi kemacetan sesuai yang diharapkan meskipun menelan biaya besar? Akankah pemerintah Jakarta akhirnya menyubsidi penumpang pada skala tertentu?

Meskipun masih ada isu mengenai biaya, tidak ada yang menyangkal bahwa kedua proyek angkutan massal tersebut akan membantu mengurangi kemacetan lalu lintas jika sudah selesai pengerjaannya. Monorel, misalnya, diharapkan akan mampu mengangkut antara 40.000 sampai 80.000 penumpang per jam.

Jadi, apa solusi jangka pendek yang lebih mendesak? Pak Jokowi juga berjanji akan menambah jumlah armada bus Trans-Jakarta dalam 12 bulan ke depan. Mungkinkah ini menjadi solusi parsial, terutama karena ada rencana untuk memberlakukan electronic road pricing (ERP)?

Pak Jokowi sudah menyampaikan bahwa akan ada tambahan armada baru lebih dari 400 unit bus hingga Desember, dan lebih dari 1.000 unit hingga akhir 2014. Tentunya, penambahan armada ini akan mengurangi keterlambatan yang sering dialami oleh penumpang di koridor Busway dari Blok M-Kota dan Pluit-Pinang Ranti.

Jelas, ini sebagai perbaikan besar dalam pelayanan bus TransJakarta yang akan mendorong para komuter untuk meninggalkan mobil-mobil mereka di rumah dan mempermudah penerapan sistem ERP di jantung kota, mungkin sepanjang jalan Thamrin/Sudirman dan Rasuna Said/Kuningan. Jadi, meskipun benar bahwa Jakarta membutuhkan sistem transportasi yang lebih baik, masyarakat harus menyadari kalau ini bukan sebuah keajaiban yang bisa dikerjakan semalam.

Ini diperlukan sebagai bagian dari solusi jangka pendek untuk meringankan kebutuhan mendesak sebelum fasilitas jangka panjang siap. Selanjutnya, warga Jakarta harus lebih berkorban dari segi waktu yang terbuang sebelum ada perbaikan.

Kita seharusnya menyambut pembangunan tahap awal MRT yang menghubungkan Lebak Bulus ke Dukuh Atas. Itu merupakan bukti kuat dari niat Pemerintah Jakarta. Suka atau tidak, Jakarta adalah jantung kota Indonesia.

Saat ini, Jakarta membutuhkan koordinasi yang lebih luas dengan semua tingkatan pemerintah dan perbaikan layanan transportasi. Merasa paling benar dan saling menyalahkan satu sama lain tidak akan membantu para komuter yang terjebak jalan.



TERBARU

×