kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Overreaction investor saham

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Modal dan Pasar Uang


Senin, 16 Desember 2013 / 22:42 WIB
Overreaction investor saham

Reporter: Budi Frensidy | Editor: djumyati

Saham dikenal sebagai produk investasi yang menjanjikan return tinggi sekaligus risiko besar. Mengapa return saham dapat begitu tinggi dibandingkan bunga deposito, kupon obligasi, dan kenaikan harga emas? Karena, dengan memiliki saham sebuah perseroan, kita sejatinya adalah pemilik perusahaan yang berhak atas perolehan keuntungan baik yang dibagikan (dividen) maupun yang tidak dibagikan (capital gain). Tidak jarang, laba perusahaan yang sahamnya diperdagangkan itu dalam setahun meningkat 25% atau lebih sehingga sebesar itu juga return wajar yang diterima para pemegang sahamnya.

Bagaimana dengan penjelasan untuk tingginya risiko? Sejak diterimanya teori portofolio Markowitz beberapa dekade lalu, risiko didefinisikan sebagai volatilitas atau momen kedua dalam statistik. Secara fundamental, tingginya volatilitas ini berasal dari turun naiknya laba dan penjualan emiten, menguat melemahnya industri, atau membaik memburuknya kondisi perekonomian nasional dan global.

Perekonomian tidak mungkin terus menerus bagus dan permintaan untuk produk industri tertentu tak selamanya naik. Pun, omzet penjualan perusahaan tidak selalu bertumbuh positif. Usaha atau bisnis apa pun, meskipun sudah besar menjadi korporasi atau bahkan multinasional dan telah beroperasi puluhan tahun, bisa saja mengalami rugi atau bahkan bangkrut, jika salah kelola.

Jika tidak ada faktor lain yang mempengaruhi harga kecuali fundamental (ekonomi, industri, dan perusahaan), volatilitas harga saham sewajarnya mengikuti volatilitas laba perseroan. Jika laba melonjak 10%, harga mestinya naik sekitar 10%, demikian juga jika laba ternyata turun 15%, maka sudah sewajarnya pasar pun menghukumnya dengan 15%.

Dengan kata lain, jika harga saham hanya bergerak dan berubah mengikuti fundamentalnya, volatilitas harga saham pun mestinya sebesar volatilitas laba atau dividennya. Kenyataannya, volatilitas harga saham jauh lebih tinggi daripada volatilitas laba atau dividennya seperti yang ditemukan Shiller (1981), sang pemenang Nobel ekonomi tahun ini. Black (1993) juga berkesimpulan senada bahwa di pasar saham terlalu banyak noise.

Buku teks investasi pun menuliskan hal yang sama bahwa faktor fundamental  hanya mampu menjelaskan sekitar dua per tiga (2/3) harga saham. Selebihnya ditentukan oleh sentimen investor dan konsensus para pelaku pasar. Tidak ada jaminan harga saham akan sekitar nilainya. Meskipun demikian, dalam jangka panjang, kita percaya harga akan konvergen menuju nilainya.              

Jadi, sedikitnya sepertiga harga saham ditentukan oleh faktor noise. Sumber utama noise itu tidak lain adalah over reaksi para investor. Penelitian tentang ini dimulai dari Shiller (1981) dan diikuti oleh De Bondt & Richard Thaler (1985) yang menemukan investor bereaksi berlebihan baik terhadap berita buruk maupun terhadap berita baik.

Sejatinya, David Dreman pada tahun 1978 sudah berhipotesis yang sama bahwa over reaksi investor telah menyebabkan tingginya pesimisme investor untuk saham-saham dengan PER rendah. Ketika investor pesimistis, mereka pesimistis berlebihan dan ketika mereka optimistis, mereka juga over optimistis.

Lakonishok, Shleifer, dan Vishny (1994) juga menemukan fenomena serupa bahwa karena bias representativeness investor mengharapkan return yang lebih tinggi untuk saham past winners, yang dalam istilah mereka, glamour stocks. Kejadian sebaliknya untuk saham-saham bagus yaitu saham-saham murah dilihat dari PER dengan laba yang juga berkualitas karena akan berulang di masa depan.

Tanpa alasan jelas, saham-saham seperti ini sering dihindari investor padahal merekalah yang diprediksi akan unjuk gigi dalam periode mendatang.

Over reaksi ini menyebabkan saham-saham yang sudah mengalami penurunan harga (past losers) menjadi semakin murah (underpriced) dan saham-saham yang harganya sudah naik (past winners) menjadi semakin kemahalan (overpriced). Menurutnya, saham-saham yang harganya sudah tinggi dan masih terus naik akan mengalami koreksi dalam jangka panjang.

Dari temuan ini, Bondt dan Thaler (1985)  merekomendasikan investor membeli past losers dan menjual past winners. Literatur keuangan pun mencatat efek over reaksi sebagai efek long-term reversal atau efek Bondt-Thaler.

Contohnya adalah saham-saham IPO yang harganya naik terlalu tinggi pada bulan atau tahun pertama mereka melantai di bursa untuk kemudian turun pada periode berikutnya. Di BEI mungkin Anda masih ingat saham Bekasi Fajar Industrial Estate (BEST) yang mencatat kenaikan 68% dari Rp 170 menjadi Rp 285 per saham pada hari pertamanya saham ini mencatatkan diri di bursa yaitu pada 10 April 2012. Harga BEST masih terus naik hingga menembus Rp 1.030 per saham pada bulan Mei 2013 lalu.

Setelah itu terjadilah long-term reversal hingga harganya sempat menyentuh Rp 370 per saham, minggu lalu. Jika sebelumnya investor over optimistis terhadap saham ini, sekarang mereka berbalik menjadi over pesimistis, dari saham past winner, BEST telah berubah menjadi past loser.      



TERBARU

×