kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ceritalah

Carry trade dan krisis berikutnya

oleh Karim Raslan - Pengamat Asia Tenggara


Jumat, 24 Januari 2014 / 16:25 WIB

Reporter: Karim Raslan | Editor: cipta

TAHUN 2009, perbankan menjadi episentrum krisis keuangan, yang disebabkan oleh kombinasi dari pemberian pinjaman sembrono, pengambilan risiko berlebihan, dan kurangnya transparansi. Lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat (AS) yang saat itu menuju jurang kehancuran memaksa pemerintah AS bertindak dengan program bailout sebesar US$ 700 miliar.

Lebih buruk lagi, resesi yang panjang dan parah berdampak terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi global. Bahkan, beberapa negara masih berjuang untuk pulih.

Krisis keuangan berikutnya mungkin saja tidak berawal dari perbankan, tetapi dari manajer investasi dan pengelola dana. Memang, sifat pinjaman telah diubah secara signifikan sejak sebelum krisis. Namun, kekosongan yang ditinggalkan oleh bank sebagai penyedia utama likuiditas telah diisi oleh pembiayaan obligasi korporasi non-bank, terutama di negara berkembang.

Korporasi non-bank telah menjadi debitur yang lebih besar dibandingkan bank. Selain itu, pinjaman telah digantikan dengan surat utang dalam jumlah besar. Sebagian besar pinjaman berasal dari luar negeri.

Berdasarkan perkembangan terakhir ini, sebenarnya kebekuan di sektor finansial ke depan disebabkan oleh obligasi valas dari lembaga keuangan non-bank dari negara-negara berkembang. Lebih penting lagi, fakta mengenai kekuasaan yang sangat besar dinikmati pengelola dana, seperti BlackRock sebagaimana diberitakan oleh Financial Times (Asset managers could blow us all up, edisi 10 Desember 2013) dan halaman depan majalah The Economist (BlackRock: The monolith and the markets, edisi 7 Desember 2013).

BlackRock mungkin tidak terkenal di luar lingkaran industri sektor keuangan. Tetapi, perusahaan ini dengan mudah menjadi investor terbesar di dunia dengan mengelola aset US$ 15 triliun melalui platform perdagangannya, Aladdin. Intinya, BlackRock dan rekan-rekannya hanyalah manajer keuangan dari pihak lain. Mereka mengendalikan pengambilan keputusan investasi klien mereka, tetapi tidak mendapatkan keuntungan atau menanggung kerugian mereka. Oleh karena itu, setiap kekurangan dapat dengan mudah dipindahkan ke klien mereka.

Memberikan kontrol keputusan investasi kepada manajer investasi pihak ketiga secara efektif membuat investor berhenti berpikir terlalu dalam tentang apa yang mereka beli. Ini adalah salah satu faktor yang membantu melumpuhkan ekonomi global tahun 2009.

Nah, keputusan investasi manajer aset berpusat di sekitar carry trade, praktik di mana investor meminjam mata uang bersuku bunga rendah untuk mendanai investasi di negara bersuku bunga tinggi. Mata uang yang paling populer untuk carry trade saat ini adalah dollar AS, yang nilainya telah menurun secara signifikan setelah krisis tahun 2009.

Dengan demikian, pengelola dana meraih keuntungan dari mata uang yang lebih murah dengan menjual obligasi berdenominasi dollar AS dan menggunakan uang itu untuk berinvestasi di negara berkembang, seperti India dan Indonesia yang tingkat bunga acuannya masing-masing 7,75% dan 7,5%.

Perusahaan non-keuangan itu memiliki aset mata uang dalam negeri namun memiliki kewajiban dalam mata uang asing. Ini sangat berisiko karena perekonomian AS mulai menunjukkan tanda pemulihan. Data Departemen Keuangan AS menunjukkan bahwa defisit neraca keuangan kembali menyusut pada November sebesar US$ 135,2 miliar. Ini merupakan penurunan 21,4% dari periode yang sama tahun lalu.

Hal ini menunjukkan bahwa Federal Reserves akan mulai mengetatkan kebijakan fiskal dan berpotensi mengurangi quantitative easing (QE), yang pada akhirnya akan menaikkan greenback dan menekan nilai obligasi berdenominasi dollar AS. Akibatnya, investor akan menderita biaya yang lebih tinggi, cash flow tertekan, dan memicu penghematan besar-besar. Jika dibiarkan, perusahaan non-keuangan bisa bangkrut dan memicu krisis lainnya.

Bagaimana utang korporasi Indonesia? PT Pertamina telah meningkatkan penerbitan obligasi sebesar US$ 3,25 miliar dalam mata uang dollar AS pada Mei tahun ini. Sementara, pada Juli, PT Multipolar Tbk, perusahaan investasi berbasis teknologi informasi dan multimedia, menjual US$ 200 juta obligasi berjangka waktu lima tahun.

Ini hanyalah fenomena puncak gunung es. Apa yang akan terjadi ketika dollar AS menguat? Sebuah kondisi yang harus diwaspadai.



TERBARU

×