kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Teori anak angsa

oleh Lukas Setia Atmaja - Chairman Department of Finance Prasetiya Mulya Business School


Kamis, 24 Maret 2011 / 17:59 WIB
Teori anak angsa

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Siapa pengikut paling setia di muka bumi ini? Tentara yang tetap berbaris hingga jatuh ke lubang karena belum ada perintah untuk berhenti? Bagaimana kalau seekor anak angsa?

Beberapa dekade silam Konrad Lorenz menemukan bahwa anak angsa yang baru menetas akan mengikuti benda bergerak yang pertama ia temui. Umumnya benda itu adalah induknya. Dalam eksperimennya, Lorenz menjadikan dirinya sebagai makhluk pertama yang dilihat sekelompok anak angsa. Ajaib, mereka setia mengikuti Lorenz hingga dewasa!

Apakah otak manusia mengikuti cara berpikir anak angsa? Jika kita menemukan sebuah produk baru, apakah kita akan menerima harga pertama yang kita lihat? Apakah harga yang dalam bahasa akademik disebut "anchor"  itu, memiliki dampak jangka panjang terhadap kesediaan kita untuk membayar?

Untuk memahami ini, saya sajikan kasus nyata yang termuat dalam buku "Predictably Irrational" karya pakar behavioral economics Dan Ariely.

Pada 1973, seorang pedagang bernama Salvador Assael menemukan sumber mutiara hitam di kepulauan Polynesia. Saat itu tidak ada pasar untuk mutiara hitam. Assael mencoba menjual mutiara hitam di Amerika Serikat, namun gagal. Siapa sih yang mau membeli mutiara berwarna kotor?

Setahun berlalu, Assael mencoba memasarkan kembali produk tersebut. Kali ini dengan strategi pemasaran lebih solid. Ia bekerjasama dengan dealer permata terkenal dan beriklan di majalah gaya hidup. Ia tampilkan foto mutiara hitam yang disandingkan dengan berlian, batu rubi dan permata untuk menciptakan image mahal dan langka.

Ia berhasil. Mutiara hitamnya segera menghiasi leher-leher para sosialita di New York. Assael telah mengubah sesuatu yang tak ada nilainya menjadi barang terkenal.

Assael berhasil menancapkan anchor di benak konsumen bahwa mutiara hitam adalah batu permata yang setara dengan berlian. Dan, harga mutiara hitam mengikuti anchor itu selamanya. Wanita pembeli mutiara hitam telah berperilaku seperti anak angsa.

Fenomena bias psikologi anchoring dipopulerkan pakar psikologi Daniel Kahneman, pemenang Nobel di bidang ekonomi, dan Amos Tversky pada 1974. Mereka membuat eksperimen dengan meminta dua kelompok mahasiswa menghitung 1x2x3x4x5x6x7x8 (kelompok A) dan 8x7x6x5x4x3x2x1 (kelompok B) dalam waktu hanya 5 detik. Sampel di kelompok A rata-rata menjawab 512, dan di kelompok B rata-rata menjawab 2.250.

Ternyata mereka mencoba mengalikan beberapa angka pertama, namun karena waktu tidak cukup lalu mencoba menebak jumlah akhir. Kedua kelompok gagal menebak jawaban yang benar, yakni 40.320. Kelompok A menebak lebih rendah karena mereka mulai dengan perkalian angka yang kecil (1x2x3), sedang kelompok B mulai dengan perkalian angka lebih besar (8x7x6). Jelas sekali, hasil perkalian angka awal ini menjadi anchor untuk menebak hasil akhir.

Investor di bursa saham tidak lepas dari bias ini. Misalnya, awal 2000 di Malaysia, Proton adalah saham favorit dengan harga berkisar RM 8 hingga RM 10. Namun akibat ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), pangsa pasar Proton anjlok dari 60% menjadi 24% di tahun 2000.

Ketika harga saham turun menjadi RM 6 di awal 2006, banyak investor mulai memborong karena mengira harga sudah murah. Mereka masih mengingat harga wajar Proton sekitar RM 10. Harga ini telah menjadi anchor di benak investor. Sedikit dari mereka yang menyadari harga Proton akan jatuh hingga RM 2 dua tahun kemudian.

Fenomena ini mirip saham Bumi Resources (BUMI) yang lama bergerak di kisaran Rp 5.000, lalu tiba-tiba melejit hingga Rp 8.000 di awal 2008. Saat krisis finansial global kuartal III 2008, harga BUMI turun jadi Rp 5.000-an (anchor) dan investor segera memborong karena merasa harga BUMI murah. Mereka tak sadar bahwa kondisi ekonomi global telah berubah hingga harga Rp 5.000 justru kemahalan! Tak lama kemudian, harga BUMI terjun ke Rp 490.

Pada contoh lain, investor suka menggunakan harga tertinggi dan terendah selama 52 minggu terakhir sebagai anchor dalam bertransaksi. Mereka cenderung berpikir bahwa saham berpotensi untuk kembali ke harga tertingginya selama 52 minggu, dan ini sering membuat mereka membeli saham overvalued.

Rekomendasi analis saham juga bisa membentuk anchor. Misalnya, rekomendasi teknikal berupa resistance dan support level akan membentuk anchor di benak investor. Mereka akan trading dengan patokan angka-angka tersebut.

Dalam proses valuasi saham, investor bisa terjebak pada kinerja perusahaan di masa lalu, seperti level harga, pendapatan dan laba. Akibatnya, investor mengabaikan aspek masa depan. Ini contoh anchoring bias yang sering terjadi. Bukankah kita tidak ingin berperilaku seperti anak angsa?



TERBARU

×