kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Menyikapi efek Jokowi

oleh Lukas Setia Atmaja - Center For Finance and Investment Research Prasetya Mulya Business School


Senin, 17 Maret 2014 / 16:29 WIB
Menyikapi efek Jokowi

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati.partawidjaja

Jumat pekan lalu, pasar saham kita sempat digoyang-itik oleh berita bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah menetapkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (KONTAN, 15 Maret 2014).

Sebelum ada berita tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak pagi bergerak turun karena sentimen negatif penurunan indeks di bursa saham Asia. IHSG yang sempat menyentuh level 4.676 (turun 1%) sontak berbalik arah setelah ada berita tersebut. IHSG akhirnya ditutup di level 4.878, menguat 152 poin atau 3,2%. Artinya, efek dari “Jokowi Nyapres” tersebut minimal 4,2%!

Kenaikan IHSG tampaknya didorong oleh optimisme investor asing. Total aksi beli bersih investor asing mencapai Rp 7,4 triliun. Saham sektor perbankan kenaikan paling fantastis, yakni sebesar 6,5%. Nilai tukar rupiah  pun tidak mau ketinggalan kereta, naik 0,2% dari hari sebelumnya dan menyentuh level Rp 11.355 per US dollar.

Why always Jokowi? Di budaya Jawa dikenal istilah Satrio Piningit yang berarti kesatria yang tersembunyi. Adalah Jayabaya, Raja Kerajaan Kediri yang terkenal jago menerawang masa depan, yang meramal bahwa Satrio Piningit akan menjadi pemimpin besar yang bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi Nusantara. Satrio Piningit harus jujur, cerdas serta adil dan bijaksana. Oleh sebab itu, Satrio Piningit sering juga disebut Ratu (pemimpin) Adil.

Apakah Jokowi adalah Satrio Piningit atau Ratu Adil yang ditunggu-tunggu oleh bangsa ini selama berabad-abad? Wallahualam bissawab. Lebih bijaksana jika saat ini kita sebut saja Jokowi sebagai “Satrio Blusukan”, pemimpin yang sigap mendengarkan suara rakyat dan berjuang untuk rakyat. Lebih aman mengatakan bahwa para pelaku pasar bisa melihat “sesuatu” yang dimiliki Jokowi yang tidak ada pada capres lainnya.

Reaksi positif pelaku pasar bisa dibaca sebagai dukungan atau kepercayaan terhadap Jokowi untuk memperbaiki kondisi perekonomian negeri tercinta ini. Jokowi yang sering diasosiasikan sebagai pemimpin sederhana, jujur, tidak korupsi, merakyat dan mau bekerja keras (blusukan) serta cukup cerdas.

Jokowi memang fenomenal dan media maupun sebagian masyarakat mudah untuk menyukai atribut-atribut yang melekat pada Jokowi tersebut. Intinya, Jokowi memberi pengharapan baru pelaku pasar, terutama para investor yang sudah cukup lama menunggu IHSG bisa kembali ke level 5.000-an.

Pertanyaan penting selanjutnya adalah: Apakah reaksi positif pelaku pasca Jokowi Nyapres merupakan indikator bahwa jika Jokowi terpilih menjadi Presiden maka IHSG akan melejit di periode 5 tahun mendatang? Saat ini sudah banyak pengamat pasar modal berpendapat bahwa Jokowi sebagai presiden akan membawa IHSG terbang tinggi.

Penulis berpendapat, reaksi positif pelaku pasar, Jumat lalu, sebaiknya tidak disikapi oleh investor jangka panjang secara berlebihan. Jalan masih panjang bagi Jokowi untuk menggapai posisi RI 1.

Kalaupun akhirnya terpilih menjadi presiden, adu suara dan otot partai-partai politik yang masing-masing punya agenda dan kepentingan  partai (walau selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat) bisa menghambat tugas Jokowi.

Belum lagi variabel gejolak kondisi ekonomi dan finansial global yang tidak bisa dikendalikan oleh siapa pun presiden yang terpilih. Padahal variabel eksternal ini yang sangat berpengaruh terhadap kinerja IHSG.

Perlu dicatat bahwa kondisi serupa pernah terjadi saat pengumuman pencalonan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2009. Kala itu IHSG dan nilai tukar rupiah juga langsung melesat. Setelah SBY menjadi Presiden untuk periode yang kedua, IHSG mengalami pasang surut.

IHSG pernah mencapai titik tertinggi di level 5.200, namun juga pernah terbenam di level 3.200. Yang melegakan adalah level IHSG saat ini masih lebih tinggi dari level di tahun 2009.

Menarik untuk belajar dari Amerika Serikat. Ketika Barrack Obama terpilih menjadi Presiden AS pada tahun 2008, pelaku pasar bereaksi negatif. Pada 5 November 2008, sehari sesudah pemilihan presiden AS, Dow Jones Industrial Average Index (DJIA) terjun lebih dari 5%. Namun hari ini, DJIA telah melesat beberapa ribu poin di atas DJIA pada saat itu.

Mark Hulbert, pengamat pasar modal Amerika Serikat, mengindikasikan bahwa reaksi pasar sehari sesudah pemilihan presiden bukan merupakan indikator mengenai arah pasar saham di empat tahun berikutnya (lama masa jabatan presiden AS).

Dari riset yang dilakukan terhadap reaksi pasar pasca pemilihan presiden sejak 1900 di AS, diketahui bahwa DJIA naik 77% di periode 4 tahun berikutnya ketika pasar bereaksi positif terhadap presiden terpilih. Namun, DJIA juga naik 73% di periode 4 tahun berikutnya ketika pasar bereaksi negatif terhadap presiden terpilih.

Meminjam hasil riset tersebut, kita boleh gembira namun tidak perlu euforia jika pasar bereaksi positif terhadap capres atau presiden terpilih tertentu. Sebaliknya, tidak usah terlalu pesimistis jika pasar bereaksi negatif.



TERBARU

×