kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / diaryppm

Dari business senses ke market senses

oleh Aries Heru Prasetyo - Ketua Program Sarjana PPM School Of Management


Senin, 13 Januari 2014 / 08:30 WIB
Dari business senses ke market senses

Reporter: Aries Heru Prasetyo | Editor: cipta.wahyana

 JIKA ditanya apa kunci keberhasilan strategi di 2014, pasti banyak yang akan menjawab kekuatan membaca peluang yang diciptakan pasar, atau yang biasa dikenal dengan istilah market senses. Meski bukan konsep yang baru, namun dunia manajemen telah sekian lama meyakini bahwa business senses seorang pebisnis, akan menuntunnya pada sebuah prestasi.

Hal itu terbukti pada era 80-an hingga awal 2000-an. Setiap pebisnis yang jeli dan tekun menjalankan bisnisnya, lambat laun akan berkembang menjadi konglomerasi. Alhasil, menjadi besar dari hulu ke hilir kala itu merupakan prestasi yang luar biasa.

Ketika krisis melanda medio 98, ilmu manajemen kembali memperoleh pelajaran berharga bahwa menjadi besar, dalam skala organisasi, menimbulkan sejumlah beban. Tidak jarang bahkan di antara sekian banyak anak perusahaan terdapat beberapa unit strategis yang nyata-nyata merugi.

Hal ini lalu memicu subsidi silang antara unit, yang menguntungkan unit yang merugi. Hingga pertanyaan yang muncul adalah apakah ini semacam zero sum game? Meski pahit namun di masa itu, kembali manajemen dihadapkan pada dua pilihan; tetap mempertahankan besarnya organisasi dengan konsekuensi inefisiensi, atau merampingkannya agar mampu beroperasi secara efisien.

Ketika sebagian besar perusahaan domestik memilih perampingan, maka di situlah market senses mutlak dibutuhkan. Manajemen tidak cuma mempertahankan unit yang kini terbukti mendatangkan keuntungan semata, melainkan harus mampu memprediksi posisi dalam siklus hidup bisnisnya.

Ketika unit strategis diprediksi berada pada tahapan maturity dan mengarah ke decline, bisa jadi keputusan terbaik adalah menjualnya ke pihak lain. Tengoklah kini sejumlah perusahaan yang dijual pemiliknya, ketika ia berada di jaman-jaman keemasannya. Kejelian pemilik dalam membaca pasar telah membawanya kepada pemahaman unit mana saja yang berpeluang menjadi primadona dalam kurun waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan.

Memasuki era perdagangan bebas mulai dari skala ASEAN dan China di 2010, konsep market senses kembali diasah. Meski awalnya dipandang sebagai penghambat, namun harus diakui bahwa era ekonomi bebas telah mendatangkan peluang emas bagi perusahaan domestik. Mereka yang memiliki kekhasan nilai, atau karakteristik unik, berpeluang maju dalam konteks persaingan global.

Dengan dukungan sumber daya lokal yang cukup, pemain dalam negeri mampu menjaga independensi dari bahan baku impor. Melalui cara inilah daya saing tercipta. Di satu sisi terjadi penambahan nilai tambah pada bahan baku lokal. Di sisi lain, perusahaan terbebas dari jebakan kurs. Nah ketika rupiah melemah hingga Rp 12.000 per US$, perusahaan malah diuntungkan. Konversi hasil penjualan lebih besar daripada kondisi sebelumnya.

Di situlah kesejahteraan karyawan bakal meningkat. Mengasah market senses dalam konteks perdagangan bebas memang tidak semudah yang dibayangkan. Pertama, pebisnis harus berani menentukan posisi: Apakah ingin mempertahankan image atau berani beradaptasi dengan peluang impor yang terbuka secara luas.
Jawabannya memang bukan hitam atau putih. Sebagian besar perusahaan lebih memilih untuk segera beradaptasi dengan memanfaatkan peluang impor seluas-luasnya, tanpa menghilangkan citra yang telah sekian lama terbangun. Alhasil pemain yang bergerak di bidang perdagangan umumlah yang menikmati keuntungannya.

Sesuaikan target Masalah umumnya muncul ketika prinsip ekonomi berbenturan dengan ideologi bisnis para pendiri. Generasi terdahulu seringkali menentang taktik bisnis yang terkesan seasonal. Selain bisa mengaburkan identitas awal perusahaan, pola ini diyakini tidak akan mampu mempertahankan kegiatan operasional dalam jangka panjang. Ini mengancam umur perusahaan.

Karena itu, generasi penerus dapat menggunakan kekuatannya dalam memprediksi trend pergerakan pasar untuk meyakinkan para pendiri bahwa mempertahankan perusahaan melalui prinsip ekonomi yang kuat tidak harus berbenturan dengan filosofi berdirinya perusahaan melainkan malah memperkuat jati diri bisnis di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, perusahaan kini wajib bersahabat dengan pasar; mulai dari konsumen hingga bahkan pesaing. Berkawan dengan konsumen dan calon konsumen mungkin sudah menjadi hal yang biasa. Selain karena merekalah yang akan mendatangkan keuntungan, bersahabat dengan calon pengguna produk akan menciptakan sebuah daya saing tersendiri. Manajemen dapat lebih tepat memposisikan produknya sesuai kebutuhan konsumen.

Tak hanya itu, perusahaan juga berpeluang untuk menggeser produknya dari yang tadinya berada di level keinginan menjadi barang kebutuhan dasar. Kita dapat menggunakan produk telpon seluler sebagai bahan refleksi yang ideal. Kini, hampir semua orang "tak dapat hidup" tanpa kehadiran telpon seluler. Lalu bagaimana dengan bersahabat dengan pesaing?

Era perdagangan bebas juga memberikan pelajaran bahwa ketika produk berada di tahap pengenalan (baca; introduction), sinergi dengan pesaing akan mampu mempercepat edukasi pasar. Konsumen yang tadinya belum memahami arti penting kehadiran produk, bisa dengan cepat berubah pikiran jika banyak produsen yang pada saat bersamaan mengkomunikasikan pentingnya produk dalam memenuhi kebutuhan hidup. Inilah arti penting opini atas produk.

Dengan dukungan teknologi informasi, proses menciptakan opini bisa terlaksana dengan mudah. Kini, tinggal bagaimana manajemen menyesuaikan proses komunikasinya dengan target audience.

Alhasil kecermatan dalam membaca pasar (market senses) akan menentukan ketepatan opini yang dibangun. Demikianlah pergeseran itu terjadi demi menciptakan umur panjang bagi perusahaan. Sukses senantiasa bagi kita semua di tahun 2014. Ikuti terus rubrik Diary Pebisnis Pengkolan Menteng.



TERBARU

×