kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Di balik occupy Wall Street

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Modal dan Pasar Uang


Senin, 07 November 2011 / 00:00 WIB
Di balik occupy Wall Street

Reporter: Budi Frensidy | Editor: djumyati

Siapa tokoh ekonomi dunia paling berpengaruh yang pernah hidup? Skousen (2001) memilih Adam Smith, pencetus kebebasan ekonomi semaksimal mungkin dan intervensi negara seminimal mungkin.

Menurut Smith, ada tangan yang tak terlihat (invisible hand) dalam sistem pasar bebas (laissez faire). Tangan gaib itu akan bekerja untuk keseimbangan pasar dan kesejahteraan masyarakat.

Smith menjanjikan dunia baru bagi semua orang, bukan hanya untuk orang kaya dan penguasa. The Wealth of Nations menjadi semacam deklarasi ekonomi untuk membebaskan manusia, termasuk kelas pekerja, dari dunia yang membosankan.

Teh yang sebelumnya berstatus minuman mewah pun, bisa menjadi minuman rakyat. Menurut Smith, ”Setiap orang, sepanjang dia tidak melanggar hukum keadilan, mesti dibiarkan secara bebas mengejar kepentingannya dengan caranya sendiri, dan untuk bersaing dengan orang lain.” Masyarakat ideal versi Smith adalah masyarakat yang dipenuhi nilai kebaikan, kedermawanan, dan hukum sipil yang melarang praktek bisnis curang.

Sistem kapitalisme menunjukkan kehebatannya di awal 1929. Sejumlah besar keluarga di barat sana, saat itu, mampu memiliki mobil dan radio.

Namun, pesta harus berakhir. Pada 24 Oktober 1929, pasar modal anjlok. Hingga US$ 40 miliar aset masyarakat menguap. Output industri turun 30%, dan hampir separuh bank ambruk.

Tingkat pengangguran naik lebih dari 25%. Pada tahun 1933, bahkan, sepertiga angkatan kerja menganggur. Harga saham sempat merosot 88%. Peristiwa ekonomi paling traumatik di abad 20 itu, tentu, menohok ekonomi klasik.

Sistem ekonomi perencanaan terpusat, yang dipelopori Karl Marx di abad sebelumnya, naik daun. Marxisme merebak di banyak kampus dan mewabah di kalangan intelektual selama 1930.

Sejarah, kini, berulang. Jika Anda sempat menyaksikan film-film tentang krisis keuangan 2008, seperti Inside Job, Capitalism: a Love Story, dan Too Big to Fail, mudah dilihat pandangan masyarakat di Amerika saat ini tentang kapitalisme tidak berbeda dengan opini di era 1930-an. Kini, 33% masyarakat AS lebih menyukai sosialisme dan hanya 37% saja yang masih percaya pada kapitalisme. Sisanya, masih belum memutuskan.

Dengan utang negara yang menumpuk dan pengangguran lebih dari 9%, peningkatan kemakmuran di AS ternyata hanya dinikmati 10% masyarakat teratas. Kapitalisme tidak membawa kesejahteraan bagi 90% masyarakat AS kelas paling bawah.

Banyak keluarga harus kehilangan rumah yang sudah didiaminya puluhan tahun, karena disita kreditur. Mereka tak mampu melunasi angsuran karena bunga naik belasan kali lipat di periode 2004-2006.

Ironisnya, pada saat yang sama, fasilitas dan bonus para eksekutif dan konsultan keuangan di Wall Street terus meningkat. Padahal, perusahaannya harus di-bailout atau nasabahnya bangkrut akibat nasihat mereka.

Tahun 2010, nilai gaji dan tunjangan para bos di industri keuangan mencapai rekor baru, yaitu US$135 miliar. Inilah yang melatarbelakangi kebangkitan main street melawan Wall Street. Demonstrasi Occupy Wall Street yang dimulai di Amerika, kemudian menyebar ke London, Hong Kong, dan banyak negara.

Nasabah yang dirugikan, bersama para pengangguran dan mereka yang kehilangan rumah, kembali mempertanyakan kebaikan kapitalisme yang dulu dijanjikan Smith.

Para ekonom yang kritis menyalahkan pemerintah Amerika, mulai dari zaman Ronald Reagan hingga George Bush junior yang tidak melakukan regulasi atas sekuritas derivatif dan atas penggunaan dana masyarakat yang tersimpan di perusahaan asuransi dan bank. Bukannya membatasi, para pejabat tinggi AS malah melakukan deregulasi atas ketentuan megamerger di industri keuangan.

Pemerintah AS juga tidak mau mengatur collateralized debt obligation (CDO), atau sekuritisasi aset. Tujuannya, agar KPR menjadi mudah, dan semua orang bisa memiliki rumah. Baik bank penyalur KPR subprime maupun bank investasi yang memborong KPR, untung, karena risiko sudah pindah ke tangan investor, sebagai pembeli akhir. Ternyata, CDO KPR menjadi bom waktu yang meledak di tahun 2008.

Para eksekutif Wall Street kebanjiran bonus dan komisi hasil penjualan sekuritisasi KPR kelas dua ini, sementara risiko tinggi CDO harus ditanggung nasabah yang membelinya karena rekomendasi dan rating yang menjebak dari bank investasi dan perusahaan pemeringkat. Perusahaan asuransi yang menjual credit default swap (CDS), yang menanggung kerugian jika CDO gagal bayar, ikut terjebak.

Sangat disayangkan jika orang-orang terbaik AS yang bekerja di Wall Street menggunakan kepintarannya untuk membuat produk derivatif yang destruktif dan zero-sum game. Produk-produk supercanggih ini terbukti hanya menjual mimpi.   



TERBARU

×