kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / diaryppm

Tren pasar di era MEA

oleh Aries Heru Prasetyo - Ketua Program Sarjana PPM School Of Management


Senin, 03 Maret 2014 / 08:00 WIB
Tren pasar di era MEA

Reporter: Aries Heru Prasetyo | Editor: cipta.wahyana

BILA era Masyarat Ekonomi ASEAN (MEA) tidak segera diantisipasi, niscaya produk-produk dalam negeri bakal keok di era tersebut. Apa saja yang perlu dicermati secara bijaksana?

Pertama, di masa MEA, pasar di sini kemungkinan besar akan dipenuhi produk-produk yang sudah memenuhi standar internasional. Saat forum kerjasama ekonomi regional ini diinisiasi beberapa tahun lalu, sejumlah negara telah menyiapkan sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi oleh sebuah produk, sebelum dapat berlenggang-kangkung di pasar yang ada di wilayahnya. Hal yang sama juga berlaku untuk produk-produk yang berorientasi pasar ekspor.

Setiap pemain saling mempela-jari persyaratan tersebut sebagai kunci perdagangan internasional. Dimensi-dimensi, seperti kualitas produk, kesesuaian harga dengan daya beli pasar, hingga penerapan prinsip keseimbangan lingkungan, merupakan hal-hal yang menjadi acuan standardisasi. "Tetapi sebagai pemain lokal dengan bisnis yang baru bertumbuh, apakah sedemikian pentingnya berorientasi ke MEA Pak?" tanya Baskara Mahendra, satu dari dua pemilik Eugene and Eves Leatherworks, yang memproduksi fashion berbahan kulit.

Meski terdengar sederhana, namun pertanyaan sejenis lazim dilayangkan beberapa saat terakhir. Jawaban untuk pertanyaan itu, sudah pasti iya. Kealpaan pebisnis lokal untuk berorientasi ke MEA, perlahan namun pasti, akan membukakan pintu bagi pemain asing mendominasi pasar domestik.

Mempelajari standar produk yang berlaku di pasar internasional sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk menyiapkan produk lokal masuk ke siklus kehidupan yang jauh lebih menjanjikan. Betapa tidak, realitas tersebut telah membukakan wawasan pebisnis lokal pada karakteristik pasar global, sebut saja model serta kualitas produk yang diharapkan hingga pandangan mereka akan kewajaran harga suatu produk. Semuanya itu merupakan modal awal pebisnis lokal, sebelum produknya tampil di panggung internasional.

Elemen kedua selain standardisasi adalah sertifikasi produk. Setiap pemain lokal hendaknya menyadari adanya tuntutan mendapatkan sertifikat, sebelum produknya didistribusikan di negara lain. Uniknya, dengan memiliki satu sertifikat pun, sebuah produk tidak bisa dipastikan dapat diperdagangkan di negara-negara lain. Di sini pentingnya pebisnis memahami aturan yang berlaku di masing-masing negara tujuan.

Mengganti mindset

Selanjutnya adalah dimensi penggunaan bahasa. Tak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan pemasaran produk di pasar internasional turut ditopang oleh keberhasilan komunikasi pemasaran. Pemberian label serta keterangan pendamping produk kini tidak lagi dipandang sebagai sebuah kewajiban, melainkan juga sebagai sarana komunikasi antara produsen dengan konsumennya.

Dengan pemahaman bahwa sebagian besar negara-negara anggota ASEAN tidak menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, maka pemain lokal perlu segera melakukan upaya untuk menciptakan solusi atas realitas tersebut. Artinya, prinsip localization akan sangat menentukan penerimaan produk di pasar. Jangan kaget apabila nanti hadir produk Malaysia yang fasih berbahasa Indonesia. Demikian pula yang terjadi sebaliknya.

Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah tren penggunaan semangat kebangsaan dalam menciptakan ikatan emosional dengan pasar. Meski secara sosiologi adaptasi budaya melalui peneraan MEA pada ujungnya akan menciptakan inkulturasi ASEAN, di fase-fase awal, membangun keterikatan emosional dengan pasar domestik diyakini akan berhasil memicu keberhasilan sebuah produk di pasar luar negeri.
Mekanismenya pun menjadi sangat sederhana. Di era tersebut, mobilisasi para profesional, yang notabene duta-duta produk negara masing-masing, dari satu negara ke negara ASEAN yang lain, akan lebih tinggi. Di situlah edukasi pasar mulai terjadi. Pola konsumsi produk lokal yang dilakukan di negara tetangga akan memicu pengetahuan dasar terhadap suatu produk. Nah, ketika langkah ini dilakukan secara konsisten, maka inkulturasi pun terjadi.

Itulah gerbang masuk bagi produk lokal ke pasar global. Jadi, "Kini pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan adalah menciptakan ikatan dengan pasar domestik," tutur Baskara penuh semangat. Memang, itu upaya yang perlu segera dilakukan oleh pebisnis lokal.

Bermodal jiwa "Merah Putih", menciptakan ikatan emosional di saat ini jauh lebih mudah daripada melakukannya di tahun depan. Ketika ikatan semacam itu sudah terbentuk, niscaya dengan pola hubungan yang intim, kepercayaan pasar terhadap produk-produk lokal dapat segera pulih.

Upaya ini penting dilakukan agar kekuatan mindset produk impor dapat tergantikan dengan produk lokal. Untuk itu, pemain perlu menggunakan bulan-bulan ke depan untuk membuktikan ke pasar bahwa kualitas dan kewajaran produk-produk dalam negeri tidak kalah bersaing dengan para pendatang.

Satu program yang dapat menjadi alternatif adalah dengan menjadikan calon konsumen sebagai mitra strategis bisnis. Pola ini dapat dilakukan dengan mengikutsertakan konsumen sejak fase perancangan produk hingga saat penentuan harga jual. Dengan demikian, pola pemasaran akan menjadi sangat personal hingga mampu memberikan nilai tambah bagi produk yang ditawarkan.

Ketika sudah terbiasa dengan pola ini, pemain akan memiliki daya saing untuk memperluas pasarnya ke konsumen di negara-negara tetangga. Formula tersebut yang akhir-akhir ini lazim dikaji di Sekolah Manajemen yang terletak di Jalan Menteng Raya 9-19, depan Tugu Tani Jakarta Pusat. Penasaran dengan kisah selanjutnya? Ikuti Diary Pebisnis Pengkolan Menteng (PPM).



TERBARU

×