kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Roubini atau Houdini

oleh Lukas Setia Atmaja - Chairman Department of Finance Prasetiya Mulya Business School


Senin, 14 November 2011 / 00:00 WIB
Roubini atau Houdini

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Sebuah kartun tentang Krisis Finansial 2008 membuat saya tersenyum lebar. Kartunisnya menobatkan Mrs Jones sebagai pemenang Nobel bidang Ekonomi 2008. Di gambar tersebut, Nyonya Jones merupakan ibu rumah tangga berwajah lugu, dan sedang memegang celengan babi.

Opini si kartunis tidak keliru. Ketika semua investor, fund manager, pakar keuangan dan ekonomi menderita kerugian, Nyonya Jones yang menyimpan uang di celengan adalah pemenang. Ia, misalnya, mengalahkan Warren Buffett yang kehilangan 40% kekayaannya selama 2008.

Dampak Krisis Finansial 2008 memang dahsyat. IMF memperkirakan kerugian yang diderita seluruh lembaga keuangan dunia akibat berinvestasi di subprime mortgage based securities (MBS) mencapai US$ 1,5 triliun. Di Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG rontok hingga 55% selama tahun 2008.

Maka bisa dimaklumi jika penyakit "stockaphobia" mulai merajalela ketika krisis utang Eropa merebak pertengahan 2011. Bagaimana tidak, skala kebangkrutan Yunani saja sudah sama besarnya dengan kebangkrutan Lehman Brothers, sekitar US$ 200 miliar.

Menurut perkiraan Bank for International Settlements, sekitar US$ 2,6 triliun utang beredar di Eropa. Apa jadinya jika Italia, yang memiliki eksposur utang 6 kali lipat eksposur utang Yunani, sampai gagal bayar utang?

Kandidat negara bermasalah utang berikutnya adalah Spanyol, Portugal, bahkan Prancis. Belum lagi prospek ekonomi Amerika Serikat (AS) yang dihantui resesi. Dikhawatirkan dampak "sandwich" krisis utang Eropa dan resesi Amerika bisa lebih hebat daripada Krisis Finansial 2008.

Akhir Agustus, Nouriel Roubini, pakar ekonomi Amerika yang tepat meramal Krisis Finansial 2008, mengatakan, "We're going into a recession based on my numbers," dan "We are running out of policy tools."

Roubini memperkirakan kemungkinan terjadi resesi ekonomi di tahun 2012 adalah 60%. Ia menilai, pemerintah AS dan Eropa tidak punya kekuatan finansial yang cukup untuk membantu bank-bank bermasalah, jika Eropa default.

Sebuah lembaga keuangan global memperkirakan bahwa 50% dari pendanaan bank di Asia berasal dari bank-bank Eropa. Jika bank-bank Eropa mengalami kesulitan likuiditas, Asia juga menderita. Mereka memperkirakan harga saham di Asia bisa terdiskon, setidaknya, 20%.

Tak salah jika bulan lalu, Kanselir Jerman, Angela Merkel, mengingatkan dunia untuk tidak terlalu berharap, pertemuan negara-negara Eropa untuk menyelamatkan Yunani, bisa segera mengakhiri krisis utang Eropa. Dengan kata lain, Merkel tak ingin memainkan peran Harry Houdini, pesulap tenar yang mati konyol akibat permainan sulapnya sendiri.

Maka kita bisa menyaksikan kebingungan investor di bursa global. Hari ini, mereka percaya pada Roubini. Namun besok, mereka beralih ke Houdini, berharap hantu krisis menguap begitu saja. Volatilitas di bursa Amerika yang diukur dengan indikator VIX atau Fear Index, beberapa kali memperbarui rekor tertingginya.

Saya teringat sebuah artikel yang saya baca di awal tahun tentang ramalan pasar saham 2011 oleh seorang suhu feng shui. Ia menyatakan, tahun ini adalah tahun kelinci logam. Sifat logam mudah berubah.

Ia juga menganalogikan pasar saham sebagai kelinci yang separuh badannya ada di liang dan separuh lainnya di atas tanah. Inti ramalan sang suhu, pasar saham akan panas dingin alias indeks bergerak secara sideways.

Entah bagaimana caranya dia bisa menerawang apa yang bakal terjadi selama 2011. Atau, dia hanya ngawur saja dan kebetulan tepat? Yang jelas, ia mengalahkan ramalan optimistis  sebagian besar pelaku pasar yang dianggap lebih rasional dan berilmu.

Saya menceritakan kisah ini setiap kali ada pertanyaan berapa perkiraan IHSG di akhir tahun. Pesannya adalah terlalu sulit untuk memprediksi apakah dunia akan kembali mengalami krisis keuangan atau selamat.

Penyelesaian krisis utang Eropa diwarnai dengan kepentingan politik yang amat kental. Sama halnya dengan situasi di Amerika. Ingat, pertarungan politik di AS saat menentukan pengurangan besar defisit anggaran yang membuat Standard & Poor’s kesal,  dan akhirnya menurunkan rating utang AS.

Saya teringat pernyataan Nils Bohr, pemenang Nobel bidang Fisika, "Prediction is very difficult, especially if it’s about the future". Apalagi, membuat prediksi di saat pasar saham terbiasa berayun dengan besaran hingga 5% per hari.

Peter Lynch, fund manager legendaris, tidak percaya pada "predicting market", tetapi dia percaya pada "buying great". Artinya, kita bisa melakukan analisis fundamental untuk mencari saham-saham bagus dan membeli saat harganya terdiskon karena kepanikan pasar, jika Roubini benar.

So, bagi investor jangka panjang, strategi wait and see sebelum memutuskan untuk membeli saham-saham pilihan, sebenarnya cukup masuk akal. Fasten your seatbelt, we’re flying in turbulence. Thank you for flying with stock market!



TERBARU

×