kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Di balik aksi occupy Wall Street (2)

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Modal dan Pasar Uang


Senin, 28 November 2011 / 00:00 WIB
Di balik aksi occupy Wall Street (2)

Reporter: Budi Frensidy | Editor: djumyati

Setelah mengalami goncangan besar dan nyaris tak dapat diselamatkan pada periode 1930-an, ekonomi pasar bebas ajaran Adam Smith kembali menghadapi tantangan berat belakangan ini. Jika depresi di abad lalu telah membuat banyak ekonom hampir meninggalkan laissez faire, kini kapitalisme kembali dipertanyakan  karena ketidakmampuannya dalam memberikan keadilan dan keseimbangan ekonomi bagi masyarakat pada umumnya.

Tujuan aksi Occupy Wall Street (OWS) lebih dari sekadar menduduki pusat keuangan di Amerika Serikat (AS). Para demonstran sesungguhnya menuntut keadilan ekonomi bagi mayoritas penduduk AS. Mereka menggugat sistem dan kebijakan keuangan di negara adidaya ini yang hanya menguntungkan sekelompok kecil di atas biaya sebagian besar masyarakat. Mereka menamakan dirinya kelompok 99%, atau kelompok main street, untuk menandingi kelompok 1% terkaya yang banyak berkiprah di Wall Street.

Dengan tingkat pengangguran 9% dan 15% penduduk menerima kupon makanan (food stamps) serta 7 juta keluarga harus kehilangan rumahnya karena tidak mampu membayar angsuran, protes mereka tidak mengada-ada. Akibat pengucuran kredit rumah kelas dua (subprime) dan aksi mengambil pinjaman dengan jaminan rumah, utang kelompok 99% kini mencapai 10 triliun dolar AS. Di saat yang sama, bonus dan insentif yang dibagikan kepada para eksekutif di industri keuangan terus meningkat.

Krisis finansial 2008 belum cukup untuk memberi pelajaran ke para pengambil keputusan keuangan. Sangat jelas, mereka masih menjalankan business as usual. Total bayaran untuk para pekerja industri ini bahkan menembus rekor baru pada tahun lalu. Minggu lalu, Fannie dan Freddie, dua perusahaan yang di-bailout pemerintah AS dengan dana sekitar US$ 169 miliar hampir saja membagikan bonus sebesar US$ 13 juta ke para karyawannya.

American dream yang didambakan, dan tadinya diyakini milik semua orang Amerika nyatanya kini hanya dinikmati 1% penduduk. Dalam artikelnya tentang kondisi AS saat ini, Joseph Stiglitz salah seorang pemenang Nobel ekonomi mengatakan, perekonomian AS adalah perekonomian dari 1%, oleh 1%, dan untuk 1%. Satu persen penduduk teratas menguasai seperempat pendapatan nasional dan 40% aset nasional. Angka-angka ini meningkat dari 12% 33% pada 25 tahun lalu. Sedang 99% lainnya hanya menjadi penonton, yang menyaksikan kesempatan mereka terus menyusut.

Jika beberapa dekade lalu, AS meledek Brazil dengan ketimpangan ekonominya yang parah yaitu 1% penduduk menguasai hingga 49% aset nasional, kini mereka mengalaminya sendiri. Jika Brazil kini berjuang mengurangi kesenjangan ekonomi, distribusi pendapatan di Amerika justru semakin melebar. Hampir tidak ada efek trickle-down yang dijanjikan para ekonom. Yang terjadi malah efek trickle-up yaitu penyedotan dari bawah ke atas.

Di mata kaum main street, sangat ironis, jika orang-orang di industri keuangan yang telah membangkrutkan mereka dan menjatuhkan ekonomi negara, memperoleh bayaran berkali-kali lipat gaji dan hanya terkena pajak yang ringan.

Ambil contoh gaji tahunan rata-rata pekerja di industri keuangan di New York adalah US$ 361.183. Angka itu sekitar lima kali lipat dari rata-rata gaji pekerja di kota itu, yaitu US$ 66.106.

Aksi OWS memang tidak akan berubah menjadi sebuah revolusi seperti Perang Sipil AS di zaman Presiden Abraham Lincoln di abad 19. Namun, aksi itu, memiliki pengaruh seperti aksi menghapuskan rasialisme di tahun 1960-an. Buah dari perjuangan untuk aksi menuntut hak-hak sipil itu, membuat AS saat ini memiliki presiden pertama yang bukan kulit putih.



TERBARU

×