kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Melawan stockaphobia

oleh Lukas Setia Atmaja - Chairman Department of Finance Prasetiya Mulya Business School


Senin, 05 Desember 2011 / 00:00 WIB
Melawan stockaphobia

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Berinvestasi di saham tidak gampang. Harga saham yang fluktuatif bisa menjadi momok bagi calon investor. Seseorang bisa menderita "stockaphobia," yaitu penyakit takut terhadap saham. Penyebab phobia ini bervariasi.

Fakta menunjukkan, masyarakat kita lebih suka menyimpan uangnya di tabungan, deposito atau ORI. Akibatnya, baru 330.000 investor saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Saya sajikan e-mail menarik yang masuk ke mailbox prof.telo@gmail.com, beberapa minggu silam. Sebut saja nama si pengirim Polan.

“Di tahun 2004, saya belajar investasi saham. Tahun 2007, saya ikut workshop stock option dan forex. Tahun 2008 pernah ikut workshop analisis teknikal saham.

Tapi karena bursa crash, saya beralih ke pasar forex. Dan hingga kini, saya hanya menjadi penonton di bursa karena belum punya panduan memilih saham.

Ilmu apa yang harus saya pelajari, agar dapat berhasil di bursa? Apakah harus mengikuti kursus Certified Financial Analyst (CFA) atau teknik membaca laporan keuangan, atau harus bergabung dengan komunitas saham di yahoogroups atau twitter, dan lainnya?"

Jelas, Polan tertarik dan tahu tentang konsep investasi saham, namun tidak pernah membeli saham. Ia merasa, trading forex lebih tidak berisiko dibandingkan investasi di saham.

Untuk melawan rasa takut terhadap potensi rugi, Polan sebaiknya punya horison investasi cukup panjang, setidaknya 1 sampai 3 tahun. Ia harus berinvestasi di saham-saham perusahaan dengan fundamental kuat, yakni memiliki bisnis yang bagus, brand yang kuat, dikelola secara profesional dengan tata kelola yang baik.

Kinerja perusahaan seperti ini umumnya lebih tahan terhadap krisis keuangan. Logikanya, selama ekonomi masih bertumbuh, saham perusahaan ini akan naik. Sentimen negatif dan kepanikan investor atau spekulan di bursa, umumnya, hanya berpengaruh sesaat terhadap kinerja saham seperti ini.

Memang, kinerja saham-saham di BEI tahun ini kurang bagus. Hingga awal Desember, IHSG hanya tumbuh sekitar 0,32%. Namun bukan berarti kita tidak bisa memperoleh keuntungan yang bagus dengan mengoleksi saham berfundamental kuat.

Tabel di bawah memperlihatkan keuntungan dari kenaikan harga 10 saham berfundamental kuat selama 11 bulan terakhir.

Jika kita membeli saham-saham tersebut di awal 2011 dan menjualnya di awal Desember 2011, kita menikmati rata-rata keuntungan 25,6%. Angka itu tidak menghitung pendapatan dari dividen. Jadi, siapa bilang strategi buy and hold (beli dan simpan) tidak menarik?

Perlu digarisbawahi, investasi di bursa saham tidak identik dengan trading. Keberhasilan trading saham ditentukan tiga faktor: metode memprediksi arah harga saham dalam jangka pendek, kedisiplinan dalam membeli dan menjual saham, serta emosi. Masalahnya, tidak semua trader memiliki ketiga hal itu, terutama dua faktor terakhir. Karena permainannya bersifat jangka pendek, risiko trading lebih tinggi.

Keberhasilan strategi buy and hold ditentukan juga oleh tiga faktor: metode memilih saham undervalued (harga di bawah nilai fundamentalnya), kedisiplinan dalam membeli dan menjual, serta emosi. Tentukan target imbal hasil, saat kita membeli. Jika target imbal hasil sudah tercapai, sebaiknya segera memetik hasil tersebut.

Selama kita menggunakan dana bebas atau tidak menggunakan dana utang untuk berinvestasi, risiko strategi ini relatif terkendali. Namun strategi ini menuntut ketahanan mental saat harga saham turun tajam. Jangan pernah tergoda untuk menjual di saat bursa panik.

Dalam memilih saham berfundamental bagus dengan harga murah, kita bisa berpedoman pada Price to Earnings Ratio (PER). Namun kita juga tak boleh mengabaikan indikator fundamental yang lain, seperti potensi pertumbuhan penjualan dan laba bersih, struktur modal, likuiditas dan kualitas manajemen. Membaca laporan riset dari analis saham yang bagus rekam jejaknya bisa membantu.

Tak perlu meraih sertifikasi analis ataupun CFA, untuk menjadi investor saham. Berpikirlah simpel: saya membeli saham perusahaan ini karena yakin bahwa perusahaan ini memiliki bisnis bagus berjangka panjang, tahan banting, dikelola secara profesional dan etis. 



TERBARU

×