kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Salah kaprah di bursa saham

oleh Budi Frensidy - Pengamat pasar modal dan pasar uang


Jumat, 02 Januari 2015 / 08:00 WIB
Salah kaprah di bursa saham

Reporter: Budi Frensidy | Editor: edy.can

Pejabat bursa, akademisi bergelar doktor atau profesor dan investor, termasuk yang berpengalaman, banyak memiliki kesalahan pemahaman tentang bursa saham. Ada tiga dari tujuh salah kaprah yang terus berlangsung tentang investasi saham berdasarkan observasi saya.

Pertama, price earnings ratio (PER) yang wajar di level 15. Jika rata-rata PER saham bursa si atas 15, dikatakan saham-sahamnya kemahalan dan kemurahan jika di bawah 15. Batas PER 15 ini sering juga digunakan untuk menilai mahal-murahnya sebuah saham.

Saya tak tahu dari mana angka 15 itu atau mengapa 15 yang menjadi patokan. Hampir semua investor saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), dosen dan mahasiswa menerima begitu saja angka ini tanpa mempertanyakan dari mana angka diperoleh.

PER wajar 15 sering diinterpretasikan seperti sebuah hukum alam. Sama ketika kita menerima fakta suhu tubuh normal manusia 37 derajat celcius. Angka 15 ini diyakini benar dan berlaku untuk semua bursa saham di dunia. Sedih hati saya menerima kenyataan ini.

Sejatinya, PER wajar suatu bursa dihubungkan beberapa indikator makro. Karena itu, PER wajar antarnegara mestinya berbeda.

Menerima angka 15 sebagai batas PER bursa murah atau mahal itu tidak cerdas. Sama kelirunya dengan mengatakan, rupiah menarik karena BI rate dan bunga deposito rupiah lebih tinggi daripada mata uang lain. Kenyataannya, investor mempertimbangkan inflasi tahunan untuk mendapatkan bunga riil tahunan.

Demikian juga PER saham. Kita ketahui, premi risiko pasar dan pertumbuhan saham-saham di suatu bursa atau pertumbuhan ekonomi antarnegara berbeda.

Pandangan yang benar, PER wajar bursa saham tergantung bunga bebas risiko atau rf, premi risiko pasar (rm), dan tingkat pertumbuhan saham (g) di bursa. Jika rf dan rm rendah sementara g tinggi, PER wajar BEI menjadi 17 atau bahkan 20.

Salah kaprah kedua, LQ-45 adalah saham-saham bagus yang layak koleksi. Saya mencoba membandingkan kinerja indeks LQ-45 dengan IHSG. Kita juga dapat menghitung perubahan indeks non-LQ-45 periode sama berdasarkan IHSG dan LQ-45 yang ada.

Ternyata, setiap tahun kinerja indeks LQ-45 selalu kalah dari IHSG dan juga dari indeks non-LQ-45. Ini dalam 6 tahun terakhir sebelum tahun ini, yaitu 2008-2013. Perbedaan kinerja paling mencolok kedua indeks itu terjadi tahun 2010. IHSG membukukan keuntungan 46,1%, sedangkan LQ-45 hanya 32,7%.

Tahun 2010 layak dikenang sebagai tahun kejayaan saham non-LQ-45. Tanpa lompatan besar harga saham-saham non-LQ-45 yang melejit 84,8%, IHSG tak melesat 46,1%. Tahun lalu, IHSG kembali mengungguli LQ-45, dengan kerugian hanya 1%, berbanding -3,3% di LQ-45. Demikian juga untuk tahun 2008, 2009, 2011 dan 2012.

Tahun 2014, hingga akhir pekan ketiga lalu, indeks LQ-45 dapat menaklukkan IHSG, yaitu 24,6% berbanding 20,4%. Berarti dalam 7 tahun terakhir, baru kali ini LQ-45 mengalahkan non-LQ-45.

Salah kaprah ketiga berhubungan dengan yang kedua, saham bagus berasal dari perusahaan bagus. Ukuran sederhananya, perusahaan bagus adalah perusahaan yang mempunyai peringkat bagus, minimal BBB, sebagai batas rating layak investasi.

Kriteria lain perusahaan bagus adalah, produk ada di sekitar kita, membayar dividen tahunan dan sering memperoleh award serta kapitalisasi pasar besar. Sedangkan saham bagus adalah saham berharga bagus atau menjanjikan return besar.

Investor sering tidak mampu membedakan keduanya. Saham perusahaan bagus dinilai selalu bagus. Pandangan ini juga tidak benar, karena saham bagus atau jelek harus dilihat terpisah dari perusahaannya. Jadi, mesti dilihat dari murah atau mahalnya harga saham di pasar pada saat tertentu.

Akibat optimisme berlebihan, saham perusahaan bagus bisa kemahalan. Contohnya, dua saham blue chips yang 10 saham berkapitalisasi terbesar dan 30 saham terlikuid, yaitu Astra International (ASII) dan Semen Indonesia (SMGR). Dua tahun terakhir, harga saham Astra turun dari Rp 8.050 di akhir Oktober 2012, menjadi hanya Rp 7.200 akhir pekan lalu. Sedangkan SMGR yang sempat Rp 18.400 di akhir April 2013, kini Rp 15.975.

Mengapa banyak investor menganggap saham bagus dari perusahaan bagus? Pemenang Nobel ekonomi 2002 Kahneman dan Tversky menyebutkan, ini bias representatif. Bias berhubungan dengan fenomena manusia yang sering mengambil keputusan berdasarkan stereotip.

Kita banyak menemui sejumlah contoh bias dalam kehidupan sehari-hari. Lulusan ber-IPK tinggi dipercaya berprestasi bagus dalam bekerja. Ini tak tepat, sekarang IPK 80% sampai 90% lulusan perguruan tinggi di atas 3 dan rata-rata 3,5.



TERBARU

×