kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Identitas sosial

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 19 Februari 2015 / 11:05 WIB
Identitas sosial

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Salah satu kata yang paling populer di Indonesia hari-hari ini adalah med-sos alias media sosial (social media). Bisa dipastikan, istilah tersebut diucapkan dan fasilitasnya digunakan oleh banyak orang setiap hari, mulai dari blog, Facebook, Twitter, LinkedIn, dan sebagainya.

Seorang teman psikolog berujar bahwa media sosial adalah tempat pertemuan paling sempurna dua kecenderungan psikologis manusia, yakni tendensi ekshibisionisme dan voyourisme. Ekshibisionisme adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan ekshibisi alias pamer tentang dirinya. Sementara itu,  voyeurisme merupakan kecenderungan manusia untuk mengintip apa yang dilakukan oleh orang lain.

Lebih jauh, sang teman itu menguraikan, coba lihat: berapa banyak waktu yang dihabiskan, khususnya oleh orang Indonesia yang senang ngerumpi, untuk memperbarui status ataupun mencuit di media sosial setiap harinya? Kecuali tidur, praktis tak ada waktu bagi pikiran untuk beristirahat sejenak dari perkara media sosial.

Demikian pula, setelah bangun dari tidur, berapa banyak orang yang segera meraih gadgetnya dan langsung mengintip status ataupun cuitan dari teman-temannya? Tidaklah berlebihan, jika dikatakan bahwa media sosial adalah sarana bagi pemuasan naluri manusia untuk sekaligus pamer dan intip.

Sikap pamer dan intip adalah naluri dasar manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung untuk mempengaruhi, membandingkan, dan bahkan juga menyamakan dirinya dengan kelompok di sekitarnya. Tak heran, seorang pengusaha pernah berujar bahwa untuk mempertahankan dan menumbuhkan bisnis di Indonesia, tak ada pilihan lain kecuali harus menjadi penguasa pangsa pasar (market share), entah itu nomor satu atau nomor dua.

Acapkali, dalam kasus banyak produk, total pangsa pasar yang dikuasai oleh juara satu dan dua saja bisa lebih dari 80%. Artinya, pemain-pemain bisnis lain hanya berkesempatan untuk merebut remah kue pasar yang besarannya tak lebih dari 20%.

Hal ini terjadi karena peer atau social pressure (tekanan sosial) di Indonesia begitu besar. Jika seseorang tak membeli merek yang dimiliki oleh banyak orang, ia akan dianggap ketinggalan zaman. Sama halnya juga, ia bisa dianggap sebagai makhluk asing, jika tak sanggup mengikuti selera banyak orang. Tekanan sosial, baik itu dalam bentuk permintaan, imbauan dan sindiran, merupakan kampanye yang paling efektif, yang membuat orang mengambil keputusan untuk membeli atau meninggalkan suatu produk.

 

Menghayati identitas

Sebagai makhluk sosial, selain cenderung menghindari tekanan sosial, manusia ternyata juga gampang mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah atribut sosial. Mari lihat sebuah penelitian klasik yang dikenal dengan nama Stanford Prison Experiment, yang dilakukan oleh tim riset di bawah pimpinan profesor psikologi, Philip Zimbardo.

Penelitian ini dilakukan di universitas ternama, Stanford University, atas permintaan dan pendanaan dari Kantor Penelitian Angkatan Laut Amerika Serikat. Mereka hendak melakukan investigasi sebab-musabab konflik antara para sipir militer dan tahanan penjara yang sering terjadi pada saat itu. Zimbardo merekrut puluhan mahasiswa untuk turut ambil bagian dalam riset dengan modus role-playing experiment alias bermain peran.

Para mahasiswa secara acak dibagi ke dalam dua penugasan, yakni masing-masing sebagai sipir dan tahanan. Di luar dugaan sang profesor, ternyata masing-masing kelompok penugas-an tersebut, baik sipir maupun tahanan, menjalankan peran mereka dengan luar biasa baiknya! Sang sipir dengan cepat belajar menjadi sosok yang otoriter, dan tak ragu melakukan kekerasan dan penyiksaan psikologis kepada sang tahanan.

Sebaliknya, walaupun sempat memberikan beberapa perlawanan pada awalnya, sang tahanan juga tak butuh waktu lama untuk menjadi pribadi yang pasif, tak berdaya dan menyediakan dirinya disiksa.

Parahnya, profesor Zimbardo, yang juga terlibat di dalam penelitian sebagai pengawas (superintendent), bahkan terpengaruh oleh proses eksperimen tersebut, dengan mengizinkan terjadinya kekerasan. Penelitian yang semula direncanakan dilakukan selama 14 hari terpaksa harus dihentikan pada hari keenam, demi mencegah risiko kekerasan dan penyiksaan yang lebih besar lagi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku sesuai dengan identitas sosial yang disematkan kepadanya, entah itu identitas sebagai sipir (penguasa) ataupun tahanan (kaum lemah). Tanpa disadari, masing-masing bahkan saling berlomba untuk memerankan dan menghayati identitas sosialnya tersebut dengan sebaik-baiknya.

Lebih jauh, riset tersebut juga menunjukkan bahwa perubahan perilaku dapat dipicu dengan sangat cepat, dan juga tanpa harus memerlukan investasi yang besar. Manusia ternyata cepat untuk memahami dan mengasosiasikan diri dengan identitas sosialnya yang baru.

Maka, berhati-hatilah dalam membangun identitas sosial, karena itu selanjutnya akan mempengaruhi warna perilaku kita.



TERBARU

×