kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Engagement karyawan

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 26 Februari 2015 / 10:35 WIB
Engagement karyawan

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Di kalangan praktisi organisasi, khususnya bidang sumberdaya manusia (SDM), salah satu buzzword atau jargon yang sering didengungkan sekaligus didiskusikan adalah kata engagement. Atau kalimat lengkapnya adalah employee engagement.

Secara harfiah, terjemahan kata engagement dalam bahasa Indonesia adalah “pertunangan”, yakni sebuah komitmen awal untuk berjalan menuju ikatan pernikahan secara resmi. Namun, untuk menghindari kekeliruan interpretasi, pada kenyataannya employee engagement tidak serta-merta diterjemahkan sebagai “pertunangan karyawan”.

Hingga saat ini, semua diskusi organisasi mengenai hal tersebut masih menggunakan istilah di dalam bahasa Inggris, yaitu employee-engagement atau engagement karyawan. Tapi, untuk mempersingkat penulisan, saya akan menggunakan istilah engagement saja untuk wacana yang dimaksud.

Apa sebenarnya engagement itu? Ada beragam definisi teoretis tentang engagement, yang tergantung dari referensi mana yang kita gunakan. Namun, perkenankan saya untuk menguraikan wacana engagement dari kerangka kerja Gallup, sebuah organisasi riset sekaligus konsultan opini publik yang terkenal di dunia.

Menurut Gallup, pada dasarnya ada tiga jenis karyawan di dalam sebuah organisasi. Yang pertama adalah karyawan yang engaged, yaitu mereka yang bekerja dengan semangat tinggi dan merasakan ikatan kuat dengan perusahaannya. Mereka inilah yang menjadi sumber pendorong inovasi dan kemajuan organisasi.

Kedua adalah karyawan yang not-engaged, yakni mereka yang pada dasarnya sudah “keluar” dari perusahaan. Mereka menjalankan rutinitas pekerjaan sehari-hari semata-mata sebagai kewajiban belaka, tidak lebih. Mereka menghabiskan waktunya di tempat kerja, tanpa mencurahkan energi dan semangat kerja sebagaimana mestinya.

Terakhir atau yang ketiga adalah karyawan yang actively-disengaged, yaitu mereka yang sudah tidak puas dan bahagia lagi di tempat kerja. Mereka sibuk mengumbar ketidakpuasan, dan bahkan ikut mempengaruhi dan merusak moral teman-teman kerja di sekitarnya.

Nah, hasil survei dalam laporan bertajuk Gallup’s State of Global Workplace menunjukkan bahwa secara keseluruhan di dunia, jumlah karyawan kelompok pertama, yakni yang bekerja secara engaged, hanya sekitar 13%. Angka itu tergolong cukup rendah.

Padahal, banyak studi juga sudah menunjukkan bahwa faktor engagement karyawan secara nyata memberikan pengaruh kepada kinerja bisnis, baik itu terhadap kepuasan pelanggan, produktivitas perusahan, mutu produk, keamanan kerja dan hal-hal lainnya, yang semua berujung kepada tingkat keuntungan dan daya saing perusahaan.


Tiga elemen

Singkat cerita, urusan engagement pada hakekatnya adalah perkara keterikatan batiniah karyawan kepada perusahaannya. Karyawan yang engaged, tak hanya bekerja lantaran mengejar imbalan penghasilan, ketakutan terhadap pemecatan, bahkan juga tanggung jawab profesionalisme. Lebih dari sekadar rasa tanggungjawab, karyawan yang engaged bekerja laksana pribadi yang sedang bertunangan, yakni melakukannya dengan sepenuh hati, cinta yang besar, dan keterlibatan yang maksimal.

Guru saya pernah menyatakan, engagement adalah side-product dari sebuah praksis kepemimpinan. Artinya, kita tak pernah bisa menghasilkan engagement karyawan secara langsung, baik itu melalui imbauan, kampanye ataupun instruksi. Sebaliknya, seorang manajer yang menunjukkan praktik kepemimpinan yang baik, tanpa diminta pun, dengan sendirinya akan menghasilkan engagement karyawan.

Mirip dengan landasan proses pertunangan pribadi, engagement seorang karyawan juga di bangun di atas tiga elemen berikut ini, yakni sense of mission, sense of love, dan sense of trust. Dengan demikian, seorang pemimpin yang baik juga harus mampu menghadirkan tiga hal tersebut lewat tiga kualitas kepemimpinan.

Pertama, visioner, yakni berani menggantungkan cita-citanya setinggi langit, namun semata-mata demi kebesaran organisasi, bukan dirinya. Tentu tak banyak orang yang mengikuti, jika tak ada misi masa depan cerah yang ditawarkan oleh sang pemimpin. Sama halnya pula, tak mungkin orang akan bisa bergairah, jika dari awal sang pemimpin tersebut sudah lesu darah.

Kedua, caring, yaitu kepedulian laksana gembala yang tulus peduli dan mencintai kawanan yang dipimpinnya. Menjadi tempat terbaik bagi pengikutnya untuk bertanya, mengadu, dan menyelesaikan persoalan. Ketulusan dan kepedulian sang gembala adalah sinyal terbesar bagi para kawanannya bahwa mereka sungguh-sungguh dicintai.

Kalau orang merasa sudah dicintai, tak akan heran jika ia rela untuk mengerahkan segala yang terbaik yang ada pada dirinya. Baik itu dalam bentuk semangat, kemampuan, dan juga karya-karyanya.

Ketiga, trustworthy. Saat seorang pemimpin mampu menyelaraskan ucapan dan tindakan, pikiran dan perbuatan, nilai-nilai keyakinan dan tingkah-laku nyata. Trustworthy adalah salah satu praktik kepemimpinan terberat, namun sekaligus terpenting. Mengapa? Karena kredibilitas seorang pemimpin terutama dibangun lewat konsistensinya menerapkan apa yang diyakini dan disuarakannya.

Pakar kepemimpinan Kouzes & Posner mengatakan, “If you don’t believe ini the messenger, you will not believe the message.” Seperti halnya bertunangan, bukankah Anda hanya akan bertunangan dengan orang yang Anda percayai?



TERBARU

×