kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Menangkap pisau jatuh

oleh Lukas Setia Atmaja - Chairman Department of Finance Prasetya Mulya Business School


Senin, 27 Februari 2012 / 00:00 WIB
Menangkap pisau jatuh

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Apakah Anda pernah tergoda membeli suatu barang hanya karena diskon? Para investor juga mudah tergoda untuk membeli saham, ketika harganya sudah terpangkas banyak.

Ambil contoh, investor yang membeli saham PT Astra International Tbk (ASII) seharga Rp 79.650 per saham, sebulan lalu, pasti menyesal. Jumat lalu, calon pembeli saham ASII cukup membayar Rp 67.000 per saham, alias mendapat diskon 16%. Wow!

Nasib saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) segendang sepenarian dengan ASII. Awal Desember 2011, harga GGRM Rp 67.000 per saham, tertinggi sepanjang masa. Jumat lalu, investor cukup membayar Rp 50.900, mendapat diskon 24%! Padahal ASII dan GGRM termasuk perusahaan yang memiliki fundamental yang kuat.

Di bursa efek, penurunan harga sebuah saham secara tajam dalam kurun waktu tertentu adalah fenomena yang sering terjadi. Fenomena ini sering disebut falling knife. Contoh di atas memperlihatkan pisau ASII dan GGRM sedang jatuh.

Pertanyaan yang muncul, apakah saat ini sudah waktunya membeli ASII atau GGRM? Atau menunggu hingga harga jatuh lebih dalam dengan risiko harga malah naik kembali?

Idealnya, investor menunggu hingga pisau tersebut menyentuh lantai, baru mengambil, agar tidak terluka. Namun di bursa, tidak mudah mengetahui kapan pisau jatuh tersebut telah tergeletak di lantai.

Saat harga ASII merosot dari Rp 79.650 ke Rp 75.000, sebagian investor mulai mengoleksi saham itu. Ternyata, mereka tidak sedang memungut pisau yang sudah menyentuh tanah. Namun, mereka menangkap pisau yang sedang jatuh.

Bukan tidak mungkin, pisau jatuh sangat dalam. Ingat nasib saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI), tahun 2008? Di bulan Juni, harga saham BUMI mencetak rekor tertinggi, yaitu Rp 8.650 per saham. Sebulan kemudian, BUMI turun menjadi Rp 6.500, dan investor mulai bersemangat mengoleksi saham ini. Ternyata selama bulan September, harga BUMI turun menjadi Rp 4.000, alias diskon lebih dari 50%.

Investor berbondong-bondong membeli saham BUMI dengan harapan harga sudah mencapai titik terendah. Mereka salah. Pada awal 2009, harga BUMI tinggal Rp 460, alias terdiskon 95%! Hingga saat ini, harga BUMI tidak pernah lagi mencapai Rp 4.000.

Tak heran jika ada ungkapan terkenal di kalangan investor, “Don’t catch the falling knife”. Ironisnya, menangkap pisau yang sedang jatuh deras, merupakan kesalahan yang paling sering dibuat investor.

Memang, sulit membedakan saham bagus (value stock) yang sedang salah harga dengan saham yang sedang bermasalah. Namun setidaknya, ada beberapa pertimbangan, sebelum memutuskan untuk membeli saham yang sedang jatuh harganya.

Kita harus berulang kali bertanya, mengapa harga saham turun drastis? Apakah karena fundamental perusahaan menurun? Apakah terjadi skandal? Apakah kinerja kompetitor meningkat pesat? Apakah industri menghadapi perubahan-perubahan yang berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan?

Jika ada satu pertanyaan di atas, yang jawabnya ya, maka kita harus berpikir tiga kali sebelum menangkap pisau yang  sedang jatuh.

Saham BUMI memberi pelajaran mahal bagi para investor. Saham BUMI melonjak tinggi karena sentimen dan spekulasi bahwa harga minyak dunia akan terus meroket. Ketika harga minyak dunia turun drastis, konsekuensinya, harga saham BUMI ikut terkoreksi.

Moralnya, investor tidak sadar bahwa industri dan faktor ekonomi makro sudah berubah. Peter Lynch, fund manager legendaris, mengingatkan, “You should not buy a stock because it’s cheap but because you know a lot about it.”

Jika tidak ada faktor tersebut, kita harus melihat apakah kita sedang berada di bursa yang sedang bearish? Jika ya, kita harus berhati-hati karena kita tidak tahu berapa lama atau seberapa berat kondisi bearish. Saat krisis keuangan 2008, banyak investor yang kurang sabar dan masuk ketika IHSG berada di level 2.000. Ternyata, IHSG kemudian meluncur hingga 1.100-an.

Di saat bursa normal, penyebab penurunan harga mungkin koreksi karena harga saham sudah kemahalan. Dalam hal ini, kita memiliki saham dengan fundamental kuat, industri yang bagus dan bursa yang kondusif, tetapi saham sedang turun harganya, karena overpriced.

Saham yang harganya sedang jatuh memang amat menggoda. Namun di dalamnya terkandung risiko yang cukup besar. Seperti khotbah Peter Lynch, “Just because a stock goes down doesn’t mean it can’t go lower."



TERBARU

×