kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Membangun dengan rencana

oleh Ekuslie Goestiandi - Pemerhati Manajemen dan Kepemimpinan


Kamis, 16 April 2015 / 13:21 WIB
Membangun dengan rencana

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Lee Kuan Yew, bapak pendiri negeri Singapura modern, berpulang tanggal 23 Maret lalu. Sejak itu, sepanjang pekan hingga beliau dikremasikan pada 29 Maret lalu, publik Singapura (dan juga sebagian Asia) tak henti-hentinya memberikan penghargaan dan penghormatan terakhir kepada Sang Pemimpin.

Bahkan, mereka rela mengantre hingga delapan jam di tengah terik matahari untuk memberikan penghormatan terakhir kepada LKY, sebutan akrab akronim Lee Kuan Yew, di Gedung Parlemen Singapura. Sama halnya juga, ada warga yang rela menunggu iring-iringan jenazah LKY saat dibawa dari Gedung Parlemen ke Pusat Kebudayaan Universitas (National University of Singapore), bahkan dari malam satu hari sebelumnya. Luar biasa!

Tak banyak pemimpin yang sejak awal perjuangan hingga akhir hidupnya secara konsisten dihargai oleh rakyatnya sebagai pahlawan, seperti LKY dan beberapa nama semisal Gandhi dan Nelson Mandela. Yang lebih banyak terjadi, seseorang pada awalnya muncul sebagai pahlawan, namun mengakhiri hidupnya sebagai pecundang di mata publik.

Rakyat Singapura, secara lintas generasi, dari yang tua, dewasa, dan anak-anak sekalipun, melihat LKY layaknya sosok setengah dewa. Tentu, ia bukanlah manusia tanpa cela, khususnya jika berbicara tentang wacana hak asasi manusia (HAM). LKY jelas bukan sosok yang akrab dengan prinsip demokratisasi tanpa batas, pers bebas dan urusan kemerdekaan individual sejenisnya.

Namun, siapa pun tak bisa memungkiri bahwa ia peduli dengan urusan kemakmuran, kesejahteraan, dan juga kemajuan Singapura. Betapa tidak, Singapura yang pada awal 1960-an disebut LKY sebagai kota berlumuran lumpur dan rawa, saat ini menjelma laksana kota rekayasa Disneyland yang dipenuhi bangunan tinggi dan gemerlap, sekaligus juga penuh penghijauan.

Negeri yang pada awal kemerdekaannya sebagai negara berdaulat penuh sejak tahun 1965, hanya memiliki pendapatan per kapita sebesar 516 dollar Singapura. Kini, Singapura menjadi negeri dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia sebesar 56.284 dollar Singapura.

Walaupun hanya memiliki luas lahan daratan sekitar 700 kilometer persegi, ternyata sekitar 90% warga Singapura memiliki rumah ataupun hunian sendiri. Dan, di tengah bangunan-bangunan perkantoran dan gedung-gedung bisnis yang menjulang ke angkasa, kita bisa menemukan lahan-lahan sabuk hijau yang memungkinkan burung-burung beterbangan, sekaligus juga lintasan sungai yang menjadi tempat ikan-ikan berkeliaran.

Menggunakan paradigma Jeffry Sachs, ahli pembangunan berkelanjutan dari Columbia University, Singapura dapat dikatakan telah melakukan skema pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Ciri utama skema pembangunan ini adalah pembangunan di bidang ekonomi, partisipasi publik atawa inklusi sosial, sekaligus juga kondisi lingkungan hidup yang berkesinambungan.


Development treadmill

Ada banyak tulisan dan liputan yang sudah mengupas model kepemimpinan LKY, saat memulai dan mengelola negeri kecil tersebut. Buku-buku tentang LKY pun banyak bertebaran. Semuanya sepakat bahwa LKY membangun Singapura dengan cita-citanya yang besar, semangat yang membuncah, dan usaha yang luarbiasa keras.

Jika menyimak pidato-pidato LKY yang ditayangkan oleh stasiun televisi Channel News Asia sepanjang minggu perkabungan wafatnya sang pemimpin (dalam acara bertajuk Remembering Lee Kuan Yew), tak ada yang bisa membantah bahwa Lee memang seorang great man, atau menggunakan istilah satire yang digunakan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad kepadanya, seekor katak besar yang ada di kolam kecil.

Namun, bukankah sosok-sosok hebat seperti LKY di tingkat dunia dengan derajat karisma yang serupa, ternyata tak cukup sukses membangun negaranya menjadi negara yang maju, makmur, dan modern. Seringkali mimpi-mimpi besar sang tokoh berhenti sebagai teriakan kencang semata, dan semangat kuat yang digelorakannya pun menguap begitu saja.

Sebaliknya, di tangan LKY, mimpi dan semangatnya menjelma menjadi usaha bersama rakyat Singapura, yang akhirnya menghasilkan dampak nyata, yaitu: pendapatan rakyat yang tinggi, tata kota yang modern, lingkungan hijau yang asri, masyarakat yang terdidik, serta kebanggaan identitas sebagai warga Singapura.

LKY membangun Singapura tak hanya berbekal dengan semangat dan gagasan besar. Namun, ia berpikir keras untuk membentang rencana pembangunan alias development roadmap, yang benar-benar dipikirkan secara lengkap dalam perspektif jangka panjang.

Di atas perencanaan yang matang itulah, eksekusi pembangunan dijalankan. Sungguh, kita perlu berhati-hati jika dalam urusan pembangunan, kita sekadar terpaku kepada paradigma kerja dan kerja.

Kalau aktivitas kerja yang tak didahului dan dilengkapi aktivitas pikir, sangat mungkin mengantarkan kita kepada development treadmill. Ini istilah yang saya dapatkan dari seorang rekan, yang menunjukkan bahwa aktivitas pembangunan seringkali dilakukan dengan keras dan gegap-gempita, namun sebenarnya tak mengantarkan kemajuan apa-apa alias jalan di tempat. Persis seperti kegiatan treadmill, yakni sudah lari terengah-engah namun tetap di tempat yang sama.

Namun, yang jelas, di balik semua praksis kepemimpinannya, LKY membangun Singapura di atas prinsip governance pemerintahan yang tegas, sekaligus juga landasan integritas pribadi yang kuat.

Dengan kata lain: nyaris tanpa kompromi!



TERBARU

×