kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Kejayaan dan masalah Boeing 787 Dreamliner

oleh Jennie M. Xue - Kolumnis internasional, serial entrepreneur, dan pengajar bisnis berbasis di California


Senin, 27 April 2015 / 13:46 WIB
Kejayaan dan masalah Boeing 787 Dreamliner

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: tri.adi

Boeing telah menunda peluncuran 787 Dreamliner beberapa kali, namun 140 unitnya kini telah dipakai oleh berbagai maskapai penerbangan. Misalnya ANA, Air India, dan Japan Airlines. Terhitung hingga akhir September 2014, baru 193 unit yang sudah diproduksi hingga selesai.

Dreamliner diposisikan sebagai "puncak" kenyamanan perjalanan udara. Setiap 3 detik di dunia ini satu pesawat Boeing diluncurkan. Dan Boeing 787 Dreamliner adalah model terbaru Boeing yang didukung fasilitas penunjang atau amenitas berteknologi tinggi, lebih lebar, teknologi cahaya yang mengatur mood, dan beroksigen lebih banyak.

Dreamliner mengoutsource 70% partikelnya ke pemasok di seluruh dunia. Di pusat Boeing kota Seattle, setiap unit Dreamliner hanya tinggal dirakit.

Namun ternyata outsourcing bukan perkara mudah. Para supplier tidak seragam dalam kualitas dan waktu penyelesaian. Inilah yang membuat peluncuran Boeing 787 Dreamliner pertama menjadi tertunda.

Untuk produk-produk yang mengandalkan keamanan dan akurasi tingkat tinggi seperti sebuah pesawat terbang, outsourcing komponen secara berlebihan mengandung beberapa risiko. Bayangkan akibat dari komponen yang sub-standar. Pesawat bisa jatuh dan para penumpang bisa menjadi korban. Resiko ini menyebabkan penundaan Dreamliner hingga tiga tahun.

Pertama, perbedaan spek miniskul saja bisa menyebabkan keseluruhan desain dan sistem tidak berjalan semestinya. Kedua, setiap pemasok mempunyai redundansi dan kelalaian mikro yang bisa menumpuk, sehingga menyebabkan kegagalan mikro yang krusial dan membengkak menjadi kegagalan besar.

Ketiga, masalah kompatibilitas yang tidak bisa langsung dites secara langsung, setelah satu prototipe diselesaikan. Mengingat pengiriman setiap elemen dari negara lain perlu biaya mahal.

Para analis Wall Street tetap percaya bahwa Dreamliner akan menjadi primadona dunia maskapai internasional di beberapa tahun ke depan, walaupun memerlukan 1.000 unit untuk mencapai break-even point. Di tahun 2011, akhirnya Dreamliner mampu diluncurkan ke udara untuk konsumen.

Namun, bagaimana perjalanan Dreamliner sekarang? Apakah peluncuran bisa mulus seperti tahap pertamanya?

Dreamliner pertama mendarat 2011 di Osaka dan Nagoya dengan maskapai ANA (All Nippon Air) dari Jepang. Setelah pengiriman terlambat 3 tahun sejak 2008. Untuk itu, Boeing membayar ganti rugi dalam nilai yang dirahasiakan mengingat kerugian ANA selama masa tunggu. United Airlines juga telah memesan 50 unit Dreamliner senilai US$ 8 miliar.

Uniknya, ternyata para penumpang lebih peduli akan kenyenyakan tidur dan apakah ada penumpang lain di kursi sebelah. Dua hal ini merupakan indikator penerbangan yang nyaman.

Boeing ternyata perlu memperhitungkan dua hal ini selain berbagai amenitas canggih Dreamliner, seperti jendela dengan tombol untuk menggelapkan ketimbang memakai penutup plastik.

Pengalaman dan kenyamanan bepergian dengan pesawat terbang ditentukan oleh hal-hal di luar fitur produk. Pengalaman berbicara, pelayanan awak kabin sangat menentukan keberhasilan maskapai. Bandingkan dengan Qantas sebelum diprivatisasi, atau Garuda beberapa tahun terakhir. Ini merupakan tantangan maskapai baik yang memakai pesawat mutakhir atau tidak.

Tantangan sekarang adalah memastikan keamanan dan kondisi prima mesin aviasi. The National Transportation Safety Board bersama the Federal Aviation Administration sedang mendiskusikan kelayakan terbang dari Boeing 787. Debat berasal dari baterai litium yang tampaknya mudah terbakar (http://www.thedailybeast.com/articles/2014/05/28/ntsb-doesn-t-think-the-boeing787-dreamliner-is-safe-enough-to-fly.html).

Selain "masalah" baterai, manajemen Boeing juga mengalami masalah deadline, mengingat para pekerja di bawah serikat buruh plantase Boeing di Seattle, Washington dikenal cukup vokal sehingga melakukan demo dan mogok kerja. Pabrik baru tanpa serikat buruh memungkinkan untuk bekerja dan deliveri sesuai jadwal dibangun di Charleston, South Carolina.

Ini merupakan masalah tersendiri mengingat Hukum Perburuhan AS yang menyatakan bahwa pemindahan tersebut merupakan praktek diskriminasi terhadap para pekerja.

Satu pesawat atau seribu pesawat Dreamliner, sejuta masalah setiap hari perlu dihadapi oleh Boeing. Bukankah semakin kolosal suatu produk, semakin detil proses produksinya?

 



TERBARU

×