kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Tataa Chubby dan harga diri

oleh Ekuslie Goestiandi - Pemerhati manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 07 Mei 2015 / 13:39 WIB
Tataa Chubby dan harga diri

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Di dalam dunia pembelajaran dan pengembangan (learning and development), ada perbedaan antara pembelajaran untuk orang dewasa dan anak-anak. Proses pembelajaran orang dewasa (adult-learning) lebih rumit dibandingkan dengan anak-anak (child-learning). Ibarat gelas yang masih kosong, proses pembelajaran bagi anak-anak dilakukan cukup dengan sekali menuangkan bahan pembelajaran ke dalam gelas.

Hal ini tak berlaku bagi orang dewasa, karena benak mereka adalah laksana gelas yang sudah terisi. Terisi dengan apa? Tentunya dengan pemikiran, pengetahuan, dan pengalaman yang telah mereka miliki sebelumnya. Oleh karena itu, pembelajaran orang dewasa mensyaratkan pengosongan gelas terlebih dahulu, dan setelahnya baru dilakukan pengisian kembali. Dalam ilmu pembelajaran, proses pengosongan ini seringkali disebut un-learn, sementara aktivitas pengisian kembali disebut sebagai re-learn.

Tantangan terbesar pembelajaran orang dewasa tidak terletak pada upaya menyerap ilmu yang baru (re-learn), namun terutama pada saat hendak melepaskan bahan pembelajaran yang lama (un-learn). Untuk menyerap ilmu baru, sekadar dibutuhkan kecerdasan yang memadai. Sedangkan untuk menanggalkan ilmu yang lama, sungguh-sungguh dibutuhkan hati yang lapang. Hati yang lapang alias kerendahan hati itulah yang tak mudah dimiliki oleh manusia dewasa.

Dalam ilmu psikologi, berlaku rumus: a man = a child + ego, yang berarti orang dewasa pada dasarnya adalah sosok anak kecil yang sudah dibekali dengan ego atawa harga diri. Harga dirilah yang membuat seseorang bisa menjadi begitu lamban, gagap, bahkan tampak bodoh untuk belajar.

Seorang psikolog ternama dari Universitas Padjadjaran yakni mendiang MAW Brouwer pernah bertutur, Anda boleh mengambil apa pun dari seseorang (terutama laki-laki), asalkan itu bukan harga dirinya. Mungkin petuah tersebut terkesan sederhana, tapi jelas bukan kesimpulan asal-asalan.

Kasus kematian seorang wanita muda, Tataa Chubby, yang dihabisi nyawanya oleh teman kencannya Rio, seolah menjadi bukti nyata petuah Brouwer. Banyak orang mungkin terkaget-kaget mendengar kesaksian sang pembunuh, yang bisa menghabisi nyawa mitra kencannya hanya karena dipicu urusan kecil bernama bau badan. Namun, walaupun terkesan sepele, sesungguhnya perkara bau badan adalah urusan yang langsung menghujam ke jantung harga diri seorang laki-laki. Apalagi hal tersebut diperkarakan saat seseorang sedang melakukan aktivitas personal yang paling intim, saat harga diri seseorang semestinya dilambungkan ke langit tinggi, agar yang bersangkutan merasa sebagai makhluk yang paling berharga dan perkasa.


Kebutuhan manusia

Namun, seperti sudah disimpulkan di atas, tatkala harga diri seseorang terusik, maka manusia bisa bertindak naif, konyol, bahkan takabur.

Abraham Maslow, dalam teorinya yang sangat terkenal hierarchy of needs, menempatkan harga diri sebagai salah satu kebutuhan manusia yang terbesar dan juga tertinggi. Artinya, secara naluriah manusia akan berjuang sekeras-kerasnya untuk mendapatkan harga dirinya. Tanpa harga diri, manusia tak akan merasa eksis di hadapan lingkungan sekitarnya. Tanpa harga diri, orang merasa tak lebih dari kawanan kambing jalanan yang dengan mudah diacuhkan, bahkan disingkirkan oleh makhluk-makhluk di sekitarnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa harga diri merupakan salah satu modal dasar bagi manusia untuk bertahan, melanjutkan, dan mengembangkan hidupnya.

Walaupun setiap manusia memiliki kebutuhan yang sama untuk merengkuh harga dirinya, setiap orang juga memiliki pengertian yang berbeda tentang nilai dari harga dirinya tersebut. Ada orang yang menghargai dirinya dengan tinggi, sementara ada pula yang membanting nilai dari dirinya sendiri. Harga diri yang terlalu rendah membuat seseorang merasa lumpuh dan tak berdaya untuk menjalani hidupnya. Sebaliknya, jika memiliki harga diri yang terlalu tinggi, kita akan berhadapan dengan risiko kehilangan sikap rendah hati.

Padahal, sikap rendah hati adalah pintu masuk bagi seseorang untuk belajar, bertumbuh, dan berkembang. Tak mungkin orang belajar hal baru, jika ia tak cukup rendah hati untuk menanggalkan pengetahuannya yang lama. Sama halnya pula, tidak mungkin orang bisa bertumbuh kembang, bila ia tak ikhlas untuk merasakan jatuh-bangun yang boleh jadi akan mengusik harga dirinya.

Harga diri memang layaknya pedang bermata ganda. Terlalu rendah akan menumpulkan kepercayaan diri seseorang. Sebaliknya, jika terlalu tinggi bisa melibas akal sehat dan nurani, bahkan kehidupan seseorang itu sendiri. Guru saya pernah berpesan, Dalam kesendirian, takarlah harga diri kita pribadi. Dalam pergaulan, muliakanlah harga diri orang lain.

• Tatkala harga diri seseorang terusik, manusia bisa bertindak naif, konyol, takabur.



TERBARU

×