kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Zaman tidak memungkinkan Harmoko kembali lagi

oleh Satrio Utomo - Kepala Riset Universal Broker Indonesia, Twitter: @RencanaTrading


Rabu, 13 Mei 2015 / 13:43 WIB
Zaman tidak memungkinkan Harmoko kembali lagi

Reporter: Satrio Utomo | Editor: tri.adi

Kemarin saya bertanya kepada teman wartawan yang usianya baru 21 tahun, apakah mengenal Pak Harmoko? Ternyata tidak tahu, tidak kenal dan belum pernah mendengar. Terlepas dari rekan wartawan ini kudet (kurang update) atau kuper (kurang pergaulan), tapi belakangan Pak Harmoko tidak pernah terdengar lagi kabarnya.

Harmoko adalah wartawan yang kemudian menjabat Menteri Penerangan (Menpen) tahun 19831997. Bagi Anda yang kudet, zaman Presiden Soeharto dulu berbeda dengan saat ini. Dulu, Menpen mengkomunikasikan kebijakan pemerintah ke masyarakat. Menpen juga berfungsi sebagai public relation (PR) seluruh kebijakan pemerintah.

Saat saluran televisi hanya satu yaitu TVRI, dan media cetak serta elektronik tidak sebanyak saat ini, Menpen seakan-akan sumber kebenaran.

Perannya sebagai sumber informasi utama, sangat terasa ketika pemerintah selesai sidang kabinet. Menpen biasanya muncul di televisi menjelaskan poin-poin penting sidang kabinet. Karena Pak Harmoko selalu berusaha mengedepankan peran Presiden Soeharto sebagai pemimpin dan pengambil keputusan, beliau selalu menyatakan "menurut petunjuk Bapak Presiden".

Kalau Anda seumuran saya, pasti tahu bahwa setiap menunggu film seri yang muncul di pukul 21.30 setelah Dunia Dalam Berita di TVRI, ada rasa jenuh bahkan eneg mendengarkan kata "menurut petunjuk Bapak Presiden", yang bisa berulang minimal 5-10 kali.

Sekarang sangat berbeda. Saluran informasi tidak cuma satu. Media cetak dan media elektronik semakin membludak. Di samping jurmalisme profesional, muncul juga citizen journalism, jurnalisme yang muncul dari masyarakat. Jurnalisme yang berasal dari blog atau website pribadi. Belum lagi media sosial. Semua orang berbicara dan berebut untuk didengarkan.

Maka, orang harus memiliki skill tinggi untuk berkomunikasi, agar bisa didengarkan. Tidak hanya itu, untuk bisa menyampaikan pesan yang benar, seseorang juga harus berusaha sekuat tenaga. Ada yang memakai strategi penasihat, ada juga yang memakai jurubicara atau biro public relation, serta ada yang pake duit. Orang menggunakan apa saja agar bisa berkomunikasi dengan benar.

Tapi, peran media profesional tetap saja besar. Rata-rata mereka terdiri dari orang yang ahli menulis dan terorganisasi. Maka kualitas pesan biasanya memang lebih baik.

Perbuatan baik itu harus dilandasi niat yang baik. Namun sekarang, perbuatan baik tidak cukup hanya berdasarkan niat baik. Perbuatan baik harus disertai dengan komunikasi yang baik, agar orang lain bisa menerima perbuatan baik kita dengan benar.

Kalau Anda membutuhkan pertolongan misalnya, dan saya bisa serta mau menolong Anda, maka saya juga harus bisa mengatakannya dengan baik. Jangan sampai saya menolong Anda, tapi ternyata saya melakukannya sambil menyebar kata-kata kotor. Bukan Anda senang saya tolong, jangan-jangan Anda yang kemudian membunuh saya atau menuntut saya ke depan pengadilan karena tersinggung dengan perkataan saya.

Itu yang terjadi dengan pemerintah saat ini. Niatnya sudah baik. Program juga sudah benar. Namun, karena sering gagal dalam berkomunikasi, maka pesan yang disampaikan seringkali tidak benar. Program yang baik, langkah yang baik, meski sudah berhasil, tetap saja belum tentu direspons dengan baik pula.

Stabilitas itu mahal harganya. Setelah 10 tahun terakhir Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempertaruhkan semua demi tercapainya stabilitas melalui harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang stabil, Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) diwarisi ekonomi yang karut marut.

Pertumbuhan ekonomi memang masih cukup tinggi, tapi kecenderungan terus menurun. Ekonomi yang tergantung barang-barang impor, dan infrastruktur yang buruk. Belum lagi, rakyat yang sudah terbiasa hidup dalam fatamorgana. Semua pekerjaan rumah ini, memang terlihat berat untuk diselesaikan.

Namun dengan langkah yang benar, tidak sulit diselesaikan. Permasalahannya, langkah yang benar itu membutuhkan berbagai kebijakan yang tidak populer.

Contoh terbaik adalah kebijakan harga BBM. Untuk membangun, pemerintah harus mengurangi subsidi BBM. Mengurangi subsidi BBM, berarti harus membiarkan harga BBM bergerak mengikuti harga internasional. Kebijakan kenaikan harga awal yang salah (menaikkan harga BBM ketika harga minyak turun) plus harga minyak internasional yang belakangan cenderung naik, membuat harga BBM terus bergerak naik. Inilah kebijakan pemerintah yang niatnya baik, tapi cenderung terasa menyengsarakan rakyat.

Komunikasi pemerintah memang cenderung buruk. Sudah gitu, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan masih bisa menyelamatkan keadaan, ternyata lebih buruk dari perkiraan. Belum lagi masalah ketidakkompakan Tim Ekonomi Presiden dengan Bank Indonesia (BI), membuat permasalahan menjadi runyam.

Lalu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali ke kisaran Rp 13.000. Kok rasanya seperti penderitaan yang tiada akhir.

Dengan semua penderitaan itu, pasar berharap pemerintah akan melakukan langkah besar untuk menyelamatkan keadaan. Entah itu berupa paket kebijakan ekonomi, reshuffle kabinet, atau apa. Yang jelas, pemerintah harus melakukan langkah besar.

Langkah besar perlu untuk mencegah hilangnya kepercayaan pasar terhadap pemerintah. Untuk posisi saat ini, dana asing di pasar reguler yang selama Januari Maret 2015 kemarin sempat masuk sebesar Rp 11,7 triliun, pada periode Maret Mei ini sudah hampir seluruhnya keluar.

Masih ingat Dana Jokowi Effect? Dana Jokowi Effect adalah dana asing yang masuk ke Bursa Efek Indonesia selama Desember 2013 Desember 2014. Dana Jokowi Effect ini jumlahnya sebesar Rp 27 triliun Rp 30 triliun. Enggak kebayang kalau dana sebesar itu keluar dari bursa kita.

Hari Jumat kemarin, indeks Dow Jones Industrial naik sebesar 1,49%. Kalau biasanya indeks Dow Jones naik, IHSG juga ikut naik, kali ini sebaiknya jangan senang dulu. Alasan kenaikan indeks Dow Jones karena mereka yakin bahwa suku bunga The Fed kemungkinan besar (bahkan sudah hampir dipastikan) akan naik pada bulan September nanti.

Iya kalau pasar bereaksi positif dengan menganggap kemungkinan kenaikan bunga The Fed sebagai kepastian, mereka akan kembali masuk ke bursa kita, melakukan posisi beli. Tapi, bagaimana kalau malah pasar bereaksi negatif?

Hingga Minggu sore kemarin, pemerintah tidak terlihat melakukan apa-apa. Tak ada langkah, tak ada komunikasi.

Mimpi saya, pemerintah dan Bank Indonesia duduk bersama di depan pers, mengomunikasikan apa yang sudah dan akan mereka lakukan. Seperti ketika dulu Harmoko melakukan jumpa pers setelah sidang kabinet.

Namun, dengan keangkuhan seorang Agus Martowardojo, ketidakjelasan seorang Sofyan Djalil, dan seorang Purbaya Yudhi Sadewa - yang dulu lebih sering apatis terhadap Jokowi - apakah bisa?

Pemerintah tidak hanya harus bisa membangun. Pemerintah harus bisa berkomunikasi dengan baik. Happy trading, semoga barokah!



TERBARU

×