kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Wabah Halloween Effect di Bursa Efek Indonesia

oleh Lukas Setia Atmaja - Center For Finance and Investment Research Prasetiya Mulya Business School


Rabu, 27 Mei 2015 / 13:51 WIB
Wabah Halloween Effect di Bursa Efek Indonesia

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: tri.adi

Sell in May and Go Away (SMGA) alias Halloween Effect. Ini ungkapan populer di pasar modal Amerika Serikat (AS) untuk menunjukkan kepercayaan terhadap pengaruh "primbon" terhadap harga saham.

SMGA adalah strategi investasi yang unik. Ia tak didasarkan pada analisis fundamental maupun analisis teknikal, tapi aspek musiman atau seasonal strategy.

Dalam buku larisnya Stock Traders Almanac, Jeffrey Hirsch mengungkapkan superioritas periode awal November hingga akhir April (best period) terhadap periode awal Mei hingga akhir Oktober (worst period). Rata-rata kenaikan harga saham Dow Jones Industrial Average pada best period selama 54 tahun terakhir adalah 7,5%. Adapun rata-rata harga saham selama worst period hanya naik sebesar 0,3%.

Makanya, strategi musiman bagi investor adalah menjual saham di awal Mei, lalu memegang cash dan membeli kembali saham di awal November atau menjelang hari Halloween yang jatuh pada 31 Oktober.

Bouman dan Jacobsen (2002) melakukan riset dengan sampel 37 negara dengan data hingga 1998. Mereka mengindikasikan di 35 negara terjadi fenomena Halloween Effect, yakni imbal hasil selama periode November hingga April secara nyata lebih tinggi daripada imbal hasil Mei-Oktober.

Andrade dkk dari CFA Institue (2013) melanjutkan riset Bouman dan Jacobsen dengan meneliti periode 1998 hingga 2012 di 37 negara. Mereka juga menemukan bahwa imbal hasil November-April secara nyata lebih tinggi daripada periode Mei-Oktober. Sayangnya, faktor penyebab fenomena Halloween Effect tersebut hingga saat ini masih belum jelas.

Data imbal hasil bulanan di AS bisa menjelaskan fenomena Halloween Effect. Pada periode Mei hingga Oktober terdapat dua bulan yang buruk kinerjanya, yakni September dan Oktober. September adalah bulan terburuk bagi investor saham di AS. Rata-rata imbal hasil pada September untuk indeks Standard & Poor's 500 sejak tahun 1950 adalah minus 0,65%. Bandingkan dengan bulan terbaik, yaitu Desember yang memberikan rata-rata imbal hasil sebesar 1,59%.

Selain itu, Oktober merupakan bulan yang sering mengalami market crash. Misalnya, Oktober 1929 (anjlok 24% dalam dua hari), Oktober 1987 (turun 22% dalam sehari) dan Oktober 2008 (turun 22% dalam delapan hari).

Ternyata Halloween Effect terjadi pula di Bursa Efek Indonesia. Dari analisis IHSG selama periode 1 Mei 2001 hingga 30 April 2015, saya menemukan rata-rata imbal hasil periode 1 Mei hingga 30 Oktober (worst periode) adalah sebesar 4,65%, jauh di bawah rata-rata periode 1 November hingga 31 April sebesar 18,76%.

Perbedaan ini nyata secara statistik. Dari 14 best period yang diteliti, hanya satu periode di mana investor menderita kerugian (imbal hasil negatif). Adapun dari 14 worst period, ada lima periode dimana investor rugi.

Meski begitu, membandingkan antara worst period dengan best period, dari 14 periode ternyata best period hanya bisa mengungguli worst period sebanyak delapan kali. Sisanya enam kali worst period justru memberikan imbal hasil di atas best period.

Mirip fenomena di AS, pada Bursa Efek Indonesia, Oktober adalah bulan berkinerja terburuk dan Desember adalah bulan dengan kinerja terbaik. Hal tersebut menyebabkan kinerja bursa pada periode Mei hingga Oktober menjadi lebih buruk daripada November hingga April.



TERBARU

×