kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Banyak jalan menuju Roma

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 28 Mei 2015 / 13:57 WIB
Banyak jalan menuju Roma

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Ada sebuah pepatah tua yang terkenal di seantero dunia, dan sudah didengungkan ke telinga kita, bahkan saat masih duduk di bangku sekolah dasar. “Banyak jalan menuju Roma”, pPepatah ringkas tersebut seakan ingin mengingatkan kita, bahwa di tengah samudra kehidupan nan luas, ada begitu banyak jalan dan cara yang dapat ditempuh untuk meraih kesuksesan hidup.

Intinya, jalan menuju kesuksesan tidaklah bersifat tunggal sehingga menjadi sesak diperebutkan seluruh makhluk di muka bumi. Ada yang memilih menjadi dokter, pengacara, orang kantoran, politikus, bahkan pekerja sosial; sebagai profesi pilihan hidup. Mereka yakin pilihan itu akan mengantar kepada kesuksesan dan kegembiraan hidup.

Di antara profesi-profesi tersebut, manakah yang lebih baik dan mulia? Apakah menjadi dokter lebih hebat daripada orang kantoran, atau juga menjadi pengacara lebih mulia dari pada pekerja sosial? Jawabannya sederhana dan lugas: Jelas tidak! Pasalnya, pilihan hidup memang tidak untuk dibanding-bandingkan. Pilihan hidup adalah sesuatu yang bersifat pribadi, yang akan mengantar seseorang kepada kesuksesan dan kebahagiaan hidup yang tentunya sangat bersifat pribadi pula.

Hanya, ketika menentukan pilihan profesi, kita perlu mencocokkannya dengan tiga elemen kepribadian berikut, yakni kemampuan (capability), minat (passion), dan corak kepribadian (personality). Kombinasi yang optimal dari ketiga elemen tersebut akan membuka jalan bagi seorang individu untuk berhasil di dalam pilihan hidupnya.

Capability memungkinkan seseorang untuk menjalani profesi secara terampil. Passion membuat orang bekerja dengan penuh semangat dan gairah. Personality yang nyambung dengan bidang profesi yang dipilih, akan membuat seseorang menjalani profesinya seolah-olah seperti bagian dari aktualisasi dirinya. Bayangkan saja seorang anak pantai di Bali yang bekerja sebagai pelatih surfing. Bukankah pekerjaannya tersebut dijalani layaknya permainan keseharian hidup pula?

Prinsip di atas pada hakikatnya juga berlaku dalam lingkup organisasi. Untuk meraih kesuksesan, sebuah perusahaan juga bisa menempuh berbagai jalan yang tersedia. Ada perusahaan seperti Wall-Mart yang berdagang grosiran dengan mengandalkan ketersediaan produk yang banyak dan murah. Demikian pula ada kongsi seperti Microsoft yang menjual sistem operasi komputer yang canggih dan bersahabat dengan pengguna, walaupun dengan pengenaan biaya yang relatif premium. Belum lagi bicara tentang perusahaan pertambangan yang harus mengandalkan teknologi maju untuk menemukan, mengeksplorasi, sekaligus mengolah bahan tambang menjadi sumber daya mineral penuh nilai tambah kepada para pengguna. Lagi-lagi, All roads lead to Rome.

 

Menciptakan manfaat

Dalam ilmu manajemen, pilihan semacam ini disebut juga sebagai business-model atawa model bisnis. Model bisnis laksana sebuah cetak biru yang melandasi perumusan strategi bisnis, yang nantinya akan diimplementasikan lewat struktur organisasi, proses bisnis, dan sistem kerja. Dalam buku larisnya berjudul Business Model Generation (2010), Osterwalder dan Pigneur merumuskan business model sebagai gambaran tentang pilihan jalan atau cara yang ditempuh sebuah perusahaan dalam proses menciptakan value (manfaat).

Pertanyaannya adalah manfaat apa dan untuk siapa? Lazimnya, orang menafsirkan pengertian value di atas dalam lingkup komersial belaka, dan semata-mata ditujukan kepada kepentingan perusahaan saja. Artinya, semakin tinggi angka penjualan dan tingkat keuntungan yang diraih perusahaan yang bersangkutan maka semakin baguslah model bisnis yang ditempuhnya. Begitu juga, semakin besar pangsa pasar dan tingkat penetrasi produk yang dimiliki oleh sebuah perusahaan, semakin ciamiklah model bisnis yang dipilihnya.

Namun, lewat publikasi internalnya Outlook Point of View, dua peneliti dari Accenture Institute for Strategic Change, Jane Linder dan Susan Cantrell, mengatakan bahwa value yang ditawarkan lewat pilihan sebuah business-model tak semestinya hanya tertuju kepada kepentingan perusahaan itu semata, namun mesti tertuju kepada stakeholders secara luas. Dengan demikian, model bisnis yang baik sejatinya tak hanya mendatangkan banyak keuntungan bagi perusahaan, namun pada saat bersamaan juga harus mendatangkan banyak manfaat dan kemaslahatan bagi lingkungan serta masyarakat di sekitarnya.

Mungkin terdengar aneh bila ada yang bilang bahwa urusan bisnis dibaurkan dengan perkara kemaslahatan masyarakat. Namun, asal diketahui, saat mendirikan dan membesarkan perusahaannya, William Soeryadjaja (pendiri salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia, Astra International) merumuskan cita-cita perusahaannya dengan kalimat: to prosper with the nation, alias sejahtera bersama bangsa.

William, ketika membangun bisnisnya, tak hanya bercita-cita sempit sekadar mencari sebanyak-banyaknya keuntungan bagi perusahaan dan dirinya. Tapi, dengan penuh inspiratif dia membangun cita-cita untuk ikut menyejahterakan bangsanya. Lewat apa? Di antaranya melalui tawaran produk yang bermutu, praktik bisnis yang etis dan bermartabat, serta penciptaan lapangan kerja. Semuanya berujung kepada peningkatan kesejahteraan dan kemaslahatan kita sebagai bangsa. Itulah pilihan business-model, yang bahkan melampaui batas pertimbangan dan kepentingan bisnis semata.



TERBARU

×