kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Prinsip investasi tanpa ribet

oleh Lukas Setia Atmaja - Chairman Department of Finance Prasetya Mulya Business School


Senin, 09 April 2012 / 00:00 WIB
Prinsip investasi tanpa ribet

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Selain Warren Buffett, tokoh setengah dewa di dunia investasi adalah Peter Lynch. Mereka memiliki profesi yang berbeda. Buffett adalah investor, Lynch adalah fund manager, seorang profesional yang mengelola duit orang lain melalui reksadana.

Peter Lynch mengawali karier sebagai pegawai magang di Fidelity Investments pada 1966. Konon, ia mendapatkan pekerjaan tersebut dengan cara menjadi caddy para pimpinan Fidelity.

Pada 1977 ia dipercaya sebagai fund manager yang mengelola reksadana Magellan Fund senilai US$ 18 juta. Saat Lynch pensiun pada 1990, nilai aset Magellan Fund telah tumbuh menjadi US$ 14 miliar, tersebar di lebih dari 1.000 macam saham.

Selama kurun waktu tersebut, Magellan Fund memberikan rata-rata imbal hasil 29,2% per tahun, jauh di atas rata-rata imbal hasil portofolio pasar (diukur dengan S&P 500) yang hanya 11% per tahun.

Selama periode 13 tahun, Lynch berhasil "mengalahkan pasar" (beat the market) dalam 11 tahun. Artinya imbal hasil reksadana yang ia kelola melebihi imbal hasil pasar (S&P 500).

Tidak heran ketika ia memutuskan pensiun sebagai fund manager pada usia 44 tahun, banyak investor yang merasa kehilangan. Bagaimana tidak? Lynch memberikan imbal hasil 29,2% per tahun kepada investor Magellan Fund.

Kita bisa belajar dari Lynch melalui tiga buku investasi yang ditulis bersama John Rothchild. Buku pertama, "One Up on Wall Street" yang terbit di tahun 1989, berisi tentang teori investasi. Buku kedua, "Beating the Street" terbit tahun 1993, membahas tentang aplikasi dari teori investasi. Pada 1996, Lynch menerbitkan "Learn to Earn" yang ditujukan bagi para investor pemula, terutama remaja.

Banyak hal yang bisa dipelajari dari Lynch. Satu di antaranya adalah prinsip investasi yang minimalis alias tak perlu ribet (don’t overcomplicated). Prinsip ini cocok buat investor individu yang tidak punya waktu untuk mempelajari ukuran kuantitatif saham atau angka-angka laporan keuangan.

Prinsip ini membantu investor yang "ahli" di bidang tertentu untuk menemukan saham yang bagus (artinya memiliki prospek bagus dan harga tidak kemahalan). Singkatnya, kita tidak perlu menjadi profesor di bidang finance maupun sertifikasi analis keuangan bergengsi untuk bisa menemukan saham yang bagus.

Peter Lynch menggunakan prinsip ini sebagai pijakan awal dalam berinvestasi. Dia sering mengatakan bahwa investor individu bisa lebih baik dari seorang fund manager dalam memilih saham.

Mengapa? Karena investor individu bisa lebih pandai dalam menemukan investasi bagus dari pengalaman hidup sehari-hari. Lynch mengakui bahwa beberapa saham pemenang yang ia beli dihasilkan dari pengamatan di luar kantor, misalnya saat ia pergi dengan keluarga atau berbelanja di mal.

Di buku "One Up on Wall Street," Lynch membuka rahasia sukses membeli saham Hanes, perusahaan apparel, di tahun 1970-an. Saat itu Hanes mencoba menjual stoking wanita dengan brand L’eggs di tempat yang tidak lazim, yakni supermarket.

Hanes menempatkan L’eggs bersama permen karet, baterai dan alat cukur di rak dekat kasir. Sebuah strategi yang didasarkan atas hasil riset, bahwa wanita 12 kali lebih sering ke supermarket daripada department store.

Ketika sang istri menceritakan tentang L’eggs, Lynch segera mencium potensi sukses produk ini. Setelah melakukan sedikit riset tambahan atas Hanes, Lynch memutuskan untuk membeli sahamnya. L’eggs menjadi salah satu consumer product terlaris di AS di dekade 1970 dan Lynch menikmati keuntungan dari kenaikan harga saham Hanes sebesar 500%.

Lynch juga pernah mengumpulkan sejumlah siswa dari sebuah high school (SMA) di Massachusetts. Mereka dimodali untuk memilih saham. Ternyata kinerja portofolio mereka bisa mengalahkan kinerja mayoritas reksadana di Amerika Serikat. Rupanya mereka membeli saham-saham yang produknya mereka kenal dengan baik.

Lynch bukannya tak pernah gagal. Ia, misalnya, pernah membiarkan seekor ikan kakap lepas dari genggamannya, yakni saham Apple Inc. (APPL). Ketika iPod diluncurkan pada 2001, Lynch mengatakan kepada putrinya, "Wow, ini sebuah produk yang menarik." Namun akhirnya ia memutuskan untuk menunggu pengembangan dari teknologi iPod sebelum membeli saham APPL. Terlambat, harga saham APPL keburu meroket.

Gaya investasi Lynch termasuk kategori value investing, yakni mencari saham yang harganya di bawah harga wajar (underpriced). Lynch percaya bahwa saham sebuah perusahaan layak dibeli jika investor memiliki pengetahuan tentang produk dan/atau berinteraksi dengan produk perusahaan tersebut.

Yang istimewa dari Lynch adalah ia mengembangkan gaya value investing dengan memasukkan faktor pertumbuhan. Intinya, ia mencari saham yang underpriced namun memiliki potensi pertumbuhan laba yang tinggi (growth stocks).

Strategi investasi yang dinamai Growth at a Reasonable Price (GARP) ini berhasil melambungkan nama Lynch. Saya akan jelaskan di artikel selanjutnya.



TERBARU

×