kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Berburu saham baru ala GARP

oleh Lukas Setia Atmaja - Chairman Department of Finance Prasetya Mulya Business School


Senin, 30 April 2012 / 00:00 WIB
Berburu saham baru ala GARP

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Artikel terakhir saya membahas tentang Peter Lynch, fund manager tersukses di dunia. Strategi yang digunakan Lynch selama 13 tahun mengelola reksadana Fidelity Magellan fund adalah Growth at a Reasonable Price (GARP).

Fidelity Magellan memberikan imbal hasil rata-rata 29% per tahun selama kurun waktu 13 tahun. Selain itu, reksadana ini memberikan imbal hasil di atas imbal hasil pasar, yang diukur dengan S&P 500 Index, sebanyak 11 kali dalam waktu 13 tahun.

Investor jangka panjang bisa menerapkan strategi yang sama untuk memperoleh imbal hasil investasi saham yang memuaskan.

GARP adalah strategi, hasil penggabungan antara gaya investasi mencari saham yang bertumbuh cepat (growth investing) dengan gaya investasi mencari saham yang memiliki nilai yang bagus (value investing).

Investor beraliran growth investing biasanya mencari saham dengan menggunakan kriteria pertumbuhan EPS (earnings per share) atau pertumbuhan penjualan. Pertumbuhan EPS sebesar minimal 10% per tahun selama 5 tahun terakhir bisa dijadikan kriteria memilih growth stock.

Kebanyakan growth investor kurang peduli terhadap kriteria PER. Mereka tetap nekat membeli saham yang memiliki PER jauh di atas rata-rata PER sektor. Bagi investor jenis ini, jika laba bersih saham bertumbuh pesat, maka ini bisa menjustifikasi harga mahal yang dibayar (PER tinggi).

Tabel di bawah menyajikan pertumbuhan EPS per tahun untuk 26 saham unggulan. Sebagian besar saham itu masuk ke dalam IDX 30 Index yang baru saja diluncurkan Bursa Efek Indonesia (BEI).

Tabel itu memperlihatkan pertumbuhan EPS per tahun selama 5 tahun terakhir cukup tinggi (di atas 10% per tahun) untuk semua saham, kecuali TLKM dan INCO. Namun jika menggunakan data 1 tahun terakhir, tidak semua saham unggulan bertumbuh di atas 10%. Ambil contoh SMGR, TLKM, EXCL, INTP, INDF, AALI, PGAS, INCO, BUMI, CPIN. Investor harus berhati-hati untuk saham yang melambat pertumbuhannya, bahkan negatif.

Investor beraliran value investing berusaha mencari saham berfundamental bagus dengan harga murah. Analogi aliran ini adalah membeli alat bermain ski di musim panas.

Kriteria utama memilih value stock adalah Price Earnings Ratio (PER). Cari saham dengan harga yang relatif rendah, jika dibandingkan dengan EPS-nya. PER sebesar 10 kali artinya, jika EPS perusahaan tidak bertumbuh maka diperlukan waktu 10 tahun untuk mengembalikan dana untuk membeli saham tersebut.

Saat terjadi market crash di tahun 2008, banyak saham unggulan yang PER-nya anjlok. ASII, misalnya, hanya memiliki PER kurang dari 5 kali. Saat ini PER ASII sudah menjadi 3 kali lipat. Jika investor membeli saham ASII, atau saham unggulan yang lain di saat itu, niscaya keuntungan yang diperoleh amat memuaskan.

Tabel memperlihatkan, lebih dari separuh saham unggulan memiliki PER di atas 15 kali. PER sebesar 15 kali sering dipakai sebagai patokan untuk menentukan apakah IHSG sudah overvalued, atau belum. Namun perbandingan dengan PER saham lain dalam sektor yang sama harus dilihat juga.

Bagaimana kalau kita membeli saham yang bertumbuh cepat pada harga yang masih  murah? Inilah konsep GARP yang menggunakan indikator bernama Price Earnings Growth Ratio (PEG).

Formula untuk menghitung PEG Ratio adalah PER dibagi dengan angka persentase ekspektasi pertumbuhan EPS per tahun. Saham yang bagus, menurut Lynch, adalah saham yang memiliki PEG Ratio di bawah 1. Itu berarti, ekspektasi pertumbuhan EPS saham itu harus lebih tinggi daripada PER-nya.

Ekspektasi EPS bisa dihitung dari data pertumbuhan EPS tahunan antara 5 hingga 10 tahun terakhir. Sebagai tambahan, pertumbuhan EPS selama setahun terakhir bisa dijadikan filter final untuk mengonfirmasi keputusan membeli saham.

Data tentang PER dan EPS bisa diperoleh dari berbagai sumber seperti www.reuters.com atau www.idx.co.id.

Misalnya, pada Tabel, saham ASII memiliki PER 15,8 kali dan pertumbuhan EPS 36,8% per tahun (dari data 5 tahun terakhir). PEG Ratio ASII adalah 0,43 yang berarti bagus. Namun jika menggunakan pertumbuhan EPS setahun terakhir, hanya 15,8%, PEG Ratio menjadi 1.

Investor perlu menganalisis mengapa pertumbuhan EPS selama tahun terakhir melambat? Jika pertumbuhan yang melambat ini diyakini akan berlanjut, sebaiknya investor berhati-hati karena PEG Ratio sudah berada di ambang batas.

Di tabel terlihat pertumbuhan EPS saham BBRI adalah 29% dan saham BBCA adalah 20,8%. Namun BBCA memiliki PER lebih tinggi dari BBRI. Maka PEG Ratio BBRI (0,39) lebih rendah dari BBCA (0,87), yang berarti saham BBRI lebih bagus. Ini juga dikonfirmasi oleh pertumbuhan EPS tahun terakhir saham BBRI yang di atas BBCA. PEG Ratio menjadi 0,33 melawan 0,95.

Dengan GARP kita punya acuan sederhana untuk mencari cuan. Cari saham yang tumbuh namun dengan harga murah. Selamat berburu.  

          



TERBARU

×