kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Selfie dan ruang sosial

oleh Ekuslie Goestiandi - Pemerhati manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 02 Juli 2015 / 10:00 WIB
Selfie dan ruang sosial

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Di dalam konteks bisnis, tak pelak lagi perkembangan teknologi telah mengubah peta persaingan dan cara pengelolaan bisnis. Bahasa kerennya, teknologi adalah business game-changer. Sesungguhnya revolusi teknologi bukan hanya menyentuh praksis bisnis, juga sudah menyentuh jauh ke dalam sisi-sisi pribadi kehidupan dan peradaban manusia. Dengan kata lain, teknologi juga jadi life-changer.

Yang jelas, perkembangan teknologi telah mengubah pola interaksi dan cara komunikasi manusia. Lewat teknologi, proses komunikasi berjalan jauh lebih muda sekaligus supercepat. Orang tak perlu bertatapan secara langsung lagi, karena telepon hanya butuh suara dari mereka yang berbicara. Orang juga tak harus bertutur kata, karena bahan komunikasi bisa diutarakan secara tertulis.

Jika dahulu kala orang harus bersilahturahim ke tempat saudara untuk bertegur sapa, sekarang cukup memencet tombol telepon. Demikian halnya pula, dahulu orang akan menyambangi Kantor Pos untuk mengantarkan pesan dalam surat, sekarang cukup menekan tombol send dalam fitur messaging di telepon pintarnya. Bahkan, hanya dengan mem-posting-nya dalam akun media sosial, maka segera tersiarlah pesan yang ingin disampaikan ke segenap penjuru dunia.

Teknologi telah begitu dahsyat memfasilitasi dan mengakselerasi proses komunikasi virtual alias secara daring (on-line). Namun, saat yang bersamaan juga menggerus secara signifikan intensitas komunikasi antarmanusia secara langsung. Sebagai contoh, alokasi waktu yang dihabiskan oleh manusia modern saat ini untuk mengutak-atik gadget-nya (entah itu smartphone, phablet, ataupun tablet) rasanya jauh lebih besar daripada waktu yang dihabiskan untuk bercengkerama lisan bersama orang-orang di sekitarnya.

Bahkan, seringkali kita menemukan kenyataan sekelompok orang (termasuk satu keluarga sekalipun) yang sedang nongkrong bersama di restoran, yang alih-alih saling bercerita seru, justru masing-masing sibuk memelototi peranti komunikasinya sendiri-sendiri. Secara fisik, mereka memang berkumpul di tempat yang sama, namun aktivitasnya tertuju kepada smartphone pribadinya masing-masing. Benarlah ungkapan guyonan yang mengatakan, telepon pintar telah mendekatkan yang jauh, namun sekaligus juga menjauhkan yang dekat.

Yang paling menakjubkan, kehadiran teknologi pintar telah menghadirkan kosakata peradaban manusia yang baru, yakni selfie. Bahkan tahun 2013, kamus legendaris Oxford Dictionary mengumumkan selfie sebagai word of the year, yaitu kata yang paling banyak digunakan di seluruh dunia, sekaligus menimbulkan dampak komunikasi yang luarbiasa.

Secara harafiah, selfie diartikan sebagai a photograph that one has taken of oneself, typically one taken with a smartphone or webcam and shared via social media. Tapi lebih jauh, selfie juga mencerminkan sikap manusia yang merasa dirinya mampu melakukan segenap aktivitas hidupnya secara mandiri, dan tak merasa memerlukan kehadiran dan dukungan orang lain.

Lihat saja, telepon-telepon pintar saat ini hampir semuanya sudah dilengkapi fitur self-portrait alias potret diri sendiri. Tinggal menjulurkan tangan dan melihat ke penampakan di layar telepon genggam, orang bisa memastikan bahwa hasil jepretannya akan sesuai dengan yang diinginkan. Tidak perlu menebak-nebak lagi.

Bagaimana jika latar belakang yang ingin dipotret cukup lebar? Jangan khawatir. Tidak perlu sibuk mencegat orang lain yang kebetulan lewat untuk membantu memotretkan. Cukup mengeluarkan alat sakti bernama tongsis alias tongkat narsis. Hanya dengan modal puluhan ribu rupiah, setiap orang saat ini bisa memiliki tongsis, dan memanfaatkannya untuk keperluan pemotretan berjarak.

 

Interaksi virtual

Ruang-ruang sosial yang dulunya memiliki wujud fisik, semisal taman, teras, pelataran, warung kopi ataupun kafe, saat ini sudah bergeser ke chat-room. Interaksi di chat-room acapkali jauh lebih ramai, seru, dan meriah, bahkan tanpa sekat. Orang tak perlu bersusah payah menemui teman-teman ngobrolnya di suatu lokasi tertentu, sebaliknya cukup masuk ke kamar tidurnya masing-masing dan menyalakan komputer ataupun gadgetnya.

Interaksi virtual praktis sudah menggeser pergaulan secara fisik dan tatap muka langsung. Jangan heran bilamana kita menemukan realitas perilaku manusia yang baru, yakni begitu meriah dan seru saat berinteraksi di dunia maya. Sebaliknya begitu, kaku dan gagap waktu bertemu di dunia nyata. Teman saya menyebutnya sebagai autisme sosial, yakni orang-orang yang terampil dalam pergaulan sosial secara daring, namun kenyataan kesehariannya dihabiskan untuk mengurusi dirinya sendiri.

Apapun bentuk fenomena peradaban yang lahir di abad teknologi canggih, kita sungguh berharap sifat-sifat sosiallebih jauh lagi sifat altruisme manusiatidak akan tergerus. Teknologi dan fasilitas selfie memang membuat manusia menjadi mandiri (independen), namun sisi ekstrim dari independensi bisa melahirkan egoisme dan selfishness. Padahal, manusia yang efektif (effective people) semestinya bertumbuh menurut siklus: dependen independeninterdependen.

Waktu awal, kita tergantung dengan lingkungan kita khususnya orangtua. Beranjak remaja, kita menjadi pribadi yang mandiri, dengan berjuang hidup di atas kaki sendiri. Setelah dewasa, saatnya kita saling bergantung dengan orang-orang di sekitar kita, dengan bekerjasama sembari menerima dan memberi (take and give). Bukankah itu hakekat dari manusia sebagai makhluk sosial?



TERBARU

×