kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Belajar dari financial bubble di China

oleh Lukas Setia Atmaja - Center For Finance and Investment Research Prasetiya Mulya Business School


Rabu, 29 Juli 2015 / 15:18 WIB
Belajar dari financial bubble di China

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: tri.adi

Kepanikan melanda pasar modal China. Pemerintah China yang semula mendorong orang untuk membeli saham, kini panik menghentikan investor saham yang panik menjual sahamnya. Bagaimana tidak, indeks harga saham di Bursa Efek Shanghai dan Shenzhen telah turun 32% sejak 12 Juni 2015 lalu. Duit investor saham yang menguap akibat stock market crash tersebut sudah mencapai US$ 3,2 triliun!

Sebelumnya, indeks harga saham di kedua bursa China tersebut naik 150% selama Juli 2014 hingga 12 Juni 2015. Tekanan jual yang begitu deras membuat 1.300 emiten menghentikan transaksi sahamnya, membekukan nilai saham sebesar US$ 2,7 triliun alias 40% dari kapitalisasi pasar saham China.

Financial atau stock market bubble terbentuk ketika harga saham melambung jauh di atas nilai fundamentalnya. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, likuiditas yang berlebihan pada sistem keuangan. Ditambah standar kredit bank yang buruk, hal ini bisa menyebabkan lonjakan harga saham karena maraknya spekulasi dengan menggunakan utang (leveraged speculation).

Dalam kasus China, nilai margin trading (utang untuk bertransaksi saham) naik drastis setahun terakhir. Investor saham bahkan diizinkan meminjam uang dari bank untuk beli saham dengan jaminan rumah.

Kedua, faktor psikologi sosial. Misalnya, herding, yakni kecenderungan mengikuti tindak-tanduk kelompok (crowd). Investor saham baru di China tumbuh bak jamur di musim hujan. Ada sekitar 90 juta investor saham, lebih banyak dari anggota partai komunis China. Persentase investor ritel mencapai 85% dari total investor.

Survei menunjukkan lebih dari 60% investor ritel tersebut berpendidikan relatif rendah (tidak lulus SMA). Kemungkinan besar mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang investasi saham. Akibatnya, mereka membeli saham karena ikut-ikutan, berlandaskan rumor atau intuisi semata. Berbeda dari investor institusi, seperti pengelola reksadana dan dana pensiun, yang menggunakan analisis fundamental yang pruden saat berinvestasi saham.

Ketika harga saham di China melambung tinggi dalam waktu setahun terakhir, hingga mencapai Price Earnings Ratio (PER) atau harga saham di bagi laba bersih per saham 50 kali, investor ritel China tetap bernafsu membeli karena menganggap harga saham naik terus.

Saham berbasis internet di China bahkan memiliki PER lebih dari 200 kali! Padahal umumnya bursa saham memiliki PER hanya 15 kali. Artinya, rata-rata harga saham di China sudah 3 kali lipat harga saham di bursa negara lain.

Ketiga, greed (keserakahan) dan fear (ketakutan) para pelaku pasar. Kedua kekuatan pasar ini dapat berjalan bersama saat pasar bullish. Keserakahan mendorong pelaku pasar masuk ke bursa saham dan ketakutan akan kehilangan kesempatan meraup keuntungan besar (opportunity lost) membuat pelaku pasar lainnya ikut berbondong-bondong masuk. Selalu ada periode panic buying, di mana investor takut ketinggalan kapal kemakmuran dan periode panic selling, di mana investor berusaha menyelamatkan diri dari kapal Titanic yang sedang karam.

Kasus bubble di bursa saham China ini memberikan pelajaran bagi kita. Hati-hati berinvestasi saham ketika harganya melambung tinggi dalam waktu singkat tanpa alasan fundamental yang kuat. Saya teringat kisah Sir Isaac Newton, fisikawan jenius yang ikut-ikutan membeli saham South Sea yang sudah bubble dan akhirnya rugi 20.000. Kata Newton, I can calculate the movement of the stars, but not the madness of men.

Stock market bubble bisa menimpa siapa saja yang kurang teliti sebelum membeli. Indikator yang paling sering digunakan adalah PER. Hati-hati membeli saham yang PER-nya sudah di atas PER industri atau rata-rata PER indeks. Informasi PER saham di Bursa Efek Indonesia dapat diperoleh di www.bloomberg.com atau www.reuters.com. Atau lebih mudah dengan bertanya pada Google, ketik kode saham + PER + Bloomberg.

Namun perlu diingat, tidak semua saham dengan PER tinggi atau di atas industri pasti kemahalan. Saham yang perusahaannya sedang bertumbuh pesat atau memiliki potensi pertumbuhan yang besar layak dihargai tinggi.

Karena estimasi pertumbuhan bisa melenceng, membeli saham dengan PER tinggi berisiko lebih besar. Saham dengan PER rendah juga tidak selalu menjanjikan harga murah. Bisa saja saham tersebut harganya rendah karena memang prospek atau potensial pertumbuhan laba bersihnya buruk.

Sebagai alternatif, dapat digunakan indikator PEG ratio, yakni PER dibagi dengan angka estimasi pertumbuhan EPS saham. Misalnya, jika PER adalah 20 kali dan estimasi pertumbuhan EPS adalah 20%, maka PEG ratio adalah 1 kali. Sebagai patokan, saham dengan PEG ratio di bawah 1 adalah bagus untuk dikoleksi.

Salah satu prinsip penting dalam investasi adalah caveat emptor, artinya teliti sebelum membeli.



TERBARU

×