kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Pertarungan antara preman vs orang mencari makan

oleh Satrio Utomo - Pengamat Pasar Modal dan Pasar Uang


Rabu, 05 Agustus 2015 / 14:37 WIB
Pertarungan antara preman vs orang mencari makan

Reporter: Satrio Utomo | Editor: tri.adi

Anak terakhir saya saat ini sudah naik ke kelas 6. Melihat gelagatnya, anak saya yang kedua ini ingin masuk boarding school (pondok pesantren) seperti kakaknya. Istri saya berpikir keras memutar otak, mencari kegiatan jika anak-anak sudah tidak ada di rumah. Pilihannya, wirausaha, membuka online shop.

Menjadi pedagang online, akrab dengan pengiriman barang. Biasanya istri saya menggunakan jasa JNE atau TIKI. Tapi sebelum Lebaran, istri saya menemukan moda pengiriman baru: Go Jek.

Dengan sebagian besar pelanggan dagangan istri saya di daerah sekitar rumah, daerah Jakarta Barat dan Tangerang, Go-Jek menjadi moda pengiriman favorit. Alasan utamanya, barang cepat sampai tujuan. Alasan kedua, ketika itu (sebelum Lebaran kemarin), Go-Jek memberikan paket promosi, sehingga biaya pengiriman sangat terjangkau.

Saya kemudian bertanya ke Mbah Google. Pendirinya seorang MBA dari Harvard. Go-Jek mulai menarik perhatian masyarakat dengan berbagai kisah suksesnya.

Tak hanya sukses dalam jasa pengiriman manusia dan barang menggunakan sepeda motor, seorang pengendara Go-Jek bisa meraup penghasilan hingga belasan juta rupiah per bulan. Empat bahkan lima kali dari upah minimum provinsi (UMP). Ahok bahkan tertarik, sehingga mendukung apa yang mereka lakukan.

Bergabung di Go-Jek memberikan berbagai keuntungan. Seperti, wilayah rambahan customer lebih luas, lebih melek teknologi dan tak rebutan customer, karena sudah ditentukan pusat sesuai dengan lokasi Go Jekers. Semua berdasarkan aturan atau tatanan.

Go-Jek bisa diterima semua kalangan? Go-Jek ancaman bagi tukang ojek yang sebenarnya pemilik tradisional lahan mencari nafkah ini.

Tukang ojek adalah fenomena sejak menghilangnya becak dari Jakarta. Ojek berlangsung sejak tahun 1974 di kawasan Ancol (bahkan 1969 di Jawa Tengah). Awalnya adalah jasa pengantaran manusia menggunakan sepeda. Kemudian muncul diferensiasi pengembangan jalur usaha sebagai berikut:

Dengan memanfaatkan lokasi pangkalan yang strategis -biasanya dekat dengan perempatan-seorang tukang ojek terkadang merangkap sebagai polisi cepek. Niatnya baik, mempermudah orang melewati perempatan. Tapi karena teorinya sedikit kurang, seringkali mereka malah menimbulkan kemacetan.

Dengan memanfaatkan pangkalan di mulut gang atau tempat strategis di perumahan, tukang ojek memungut retribusi ke barang-barang yang akan masuk ke perumahan. Salah satunya barang bangunan dan orang pindahan, menjadi objek pungutan retribusi ini. Saya memiliki pengalaman pribadi. Saya asli Surabaya dan biasa tinggal di kompleks perumahan, terlongong-longong dengan tukang ojek, notabene tetangga sendiri, yang tega ngerjain. Saya yang merasa Jawa, Islam dan anak Jenderal, tak berdaya saat dikerjai tetangga sendiri.

Dengan banyaknya waktu luang, mereka manfaatkan untuk berorganisasi. Kita acap melihat, ada bendera ormas di pangkalan ojek. Ojek akan semakin kuat jika sudah bergabung dengan ormas.

Di sinilah benturan terlihat. Di satu sisi, kita melihat orang butuh duit untuk makan, didukung kapitalis lulusan MBA Harvard, perangkat sistem komputer tercanggih, terkini dan organisasi profesional, melawan mereka yang merasa tertindas zaman, ditolak lapangan kerja. Tapi menghalalkan segala cara, termasuk ngerjai tetangga sendiri, menjadi polisi cepek, bahkan menjadi aktivis organisasi.

Benturan tak bisa terelakkan. Beberapa hari terakhir, kita membaca berita pengemudi Go-Jek diancam, diusir dari pangkalan ojek, diteror atau dipukuli tukang ojek.

Mana yang Anda dukung: ekonomi preman vs ekonomi kreatif? Indonesia hampir 70 tahun merdeka, para penguasa mencoba banyak model ekonomi negara kita. Salah satunya, model ekonomi Pak Ogah. Dalam model ini, setiap orang bebas memperoleh hasil dari yang lewat di depannya. Dengan kekuasaannya, seseorang bisa mengutip uang, mengambil uang, tanpa ada sanksi. Kredonya, kalau bisa sulit, mengapa dibuat gampang? Ekonomi berbasis okol (kekuatan otot).

Kalau ada anggaran yang dalam kekuasaan, mengapa tidak mengambil bagian kita? Korupsi tak masalah, yang penting kelihatan sukses dan mewah ketika ketemu keluarga di kampung saat Lebaran. Ini melawan ekonomi yang dikembangkan anak muda, bisnis legal, menggunakan sistem informasi, komputer, gadget dan semua perkembangan zaman.

Mana yang Anda pilih? Go-Jek: sentimen negatif buat pasar modal Indonesia. Pasar memilih apa yang baik dan buruk, sesuai pengaruhnya bagi harga saham. Sejatinya, tukang ojek memiliki pengaruh terhadap pergerakan harga saham.

Berkembangnya profesi tukang ojek dalam puluhan tahun terakhir menyebabkan penjualan kendaraan bermotor meningkat. Ini sentimen positif bagi perusahaan Astra International selaku produsen motor Honda.

Di sisi lain, Go-Jek, memiliki sentimen negatif terhadap harga saham perusahaan taksi yang banyak listing di Bursa Efek Indonesia (BEI). Go-Jek merupakan pesaing langsung perusahaan taksi. Sudah ada perusahaan taksi tercatat di BEI.

Dengan semakin berjayanya Go-Jek, harga saham-saham perusahaan taksi bisa bergerak turun. Go-Jek juga memiliki sentimen negatif terhadap perusahaan jasa kurir. Tapi karena tidak ada jasa kurir yang listing di bursa, maka pengaruhnya tidak akan terasa.

Mana yang Anda dukung? Apakah Anda mendukung ekonomi berbasis kerakyatan dengan pola operasi preman atau mendukung ekonomi kapitalis yang ingin mensejahterakan dan mencerdaskan rakyat? Anda mau mendukung ekonomi lama atau ekonomi baru?

Happy trading. Semoga barokah!



TERBARU

×