kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Digital overload

oleh Ekuslie Goestiandi - Pemerhati manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 06 Agustus 2015 / 13:24 WIB
Digital overload

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Saat ini, khususnya di kota-kota besar dan di kalangan pekerja profesional, muncul istilah yang disebut dengan digital overload. Ungkapan tersebut menunjukkan, bahwa manusia sekarang sudah mulai dijajah sekaligus jumud dengan segala pesan digital yang masuk sepanjang hari, entah lewat komputer, laptop, tablet, ataupun telepon pintar. Bahkan, saat kita ingin berkonsentrasi dan fokus terhadap suatu tugas sekalipun, mata dan telinga seringkali tak tahan dengan godaan suara bip dan kilauan blink dari perangkat teknologi di sekitar kita.

Jaringan teknologi yang tersambung sedemikian rupa, membuat dunia terasa terkoneksi sepanjang masa, selama 24 jam sehari. Dalam dunia yang always connected, jam kerja seolah tak berbatas. Dengan gadget di tangan, orang bisa mengakses e-mail, berita, maupun tugas pekerjaan kapanpun juga, baik saat matahari masih bersinar ataupun ketika rembulan menerangi malam.

Jangan heran, saat ini orang terbiasa untuk melakukan beberapa hal pada waktu yang bersamaan atawa multi-tasking. Kita pasti sering melihat orang yang menelepon sambil berselancar di internet, ataupun menulis surat elektronik (surel) sambil menyantap makanan. Atau juga, saat sedang menghadiri rapat ataupun seminar, orang tetap mengirim surel dan membaca berita di layar gadget mereka masing-masing.

Tapi, ternyata situasi ini tidak serta merta meningkatkan produktivitas kita. Studi yang dilakukan Clifford Nass dan koleganya di Standford University justru menunjukkan, orang-orang yang senantiasa jungkir-balik menghadapi begitu banyak aliran data dan informasi tidak akan bisa memperhatikan, mengingat, dan mengelola tugas-tugasnya sebaik mereka yang bekerja secara fokus terhadap satu hal pada satu waktu. Akibatnya, produktivitas dan engagement orang-orang itu cenderung menurun, baik di kantor ataupun rumah.

Bahkan, sebuah konsorsium nirlaba The Information Overload Research Group melaporkan, bahwa para pekerja kerah- putih (knowledge workers) di Amerika Serikat memboroskan sekitar 25% waktu mereka untuk berurusan dengan serbuan data yang begitu intens dan besar. Pemborosan ini menimbulkan beban ekonomi US$ 997 miliar setiap tahun.

Pertanyaannya, apakah kita akan membiarkan diri kita dikepung oleh arus informasi yang membanjiri peranti komunikasi kita, dan menjadi tenggelam dalam digital overload? Apakah kita akan membiarkan digital overload mengendalikan kehidupan kita, atau sebaliknya mengambil langkah aktif untuk mengendalikannya? Walaupun tak mudah, namun rasanya kita bersepakat bahwa tak ada pilihan lain, selain mengendalikan gerak digital overload ini.


Pengendalian perilaku

Tulisan bertajuk Managing Yourself, Conquering Digital Distraction (HBR, Juni 2015), mengajak kita untuk menangani perkara banjir digital ini dengan dua pendekatan yang saling melengkapi, yakni pendekatan perilaku dan teknologi. Larry Rosen, seorang profesor psikologi di California State University, menegaskan pentingnya pengendalian perilaku dalam urusan teknologi. Seseorang harus belajar mengatur jadwal kesehariannya, kapan boleh bersentuhan dengan peranti teknologi, dan kapan harus menjauh darinya dan melakukan aktivitas pengimbang, semisal berjalan, bercengkerama bahkan juga bermeditasi.

Studi brain-behavior yang dilakukan Nathaniel Kleitman menunjukkan, otak manusia perlu mendapatkan relaksasi yang secukupnya setelah bekerja setiap 90 menit, agar tetap bisa berfungsi dengan optimal. Mendengarkan musik dan berjalan santai selama 10 menit sudah cukup untuk mendapatkan efek relaksasi tersebut. Dan, salah satu hal penting lainnya, jauhkan segenap peranti teknologi dari kamar tidur. Selain menjadi godaan impulsif untuk selalu menoleh kepadanya, emisi sinar biru (blue-light) yang dipancarkan layar LCD peranti tersebut juga mempengaruhi kualitas tidur.

Sementara itu, Alexandra Samuel (ahli dan penulis bidang teknologi) menyampaikan, tak mungkin di era serbateknologi ini kita melarikan diri dari peranti komunikasi digital. Namun disadari pula, dikuasai teknologi (alih-alih menguasainya) adalah pilihan buruk yang bisa menimbulkan gangguan kehidupan profesional dan personal seseorang. Pilihan terbaik menghadapi persoalan yang ditimbulkan oleh teknologi ialah dengan memanfaatkan teknologi itu sendiri. Katanya, fight fire with fire. Dan, jawaban yang digagasnya adalah dengan menggunakan teknologi otomasi, yang akan membantu kita memilah mana pesan dan data yang penting serta bermanfaat, kemudian mana informasi yang tak lebih dari sekadar tumpukan sampah inbox belaka.

Apapun telaah dan rekomendasi yang disampaikan para ahli, pertama-tama kita perlu menyadari bahwa teknologi digital mulai menampakkan wajah yang membahayakan. Banyak orang mungkin tidak suka mendengar kata kecanduan digital atau digital addiction. Sebab, kata tersebut terkesan negatif dan mengandung kesan penyakit mental. Sebaliknya, belakangan ini muncul beberapa istilah, misalnya, FOMO (fear of missing out), FOBO (fear of being offline), dan nomophobia (takut untuk jauh dan tak terhubung dengan telepon genggam). Sesungguhnya, istilah-istilah itu sama saja artinya dengan kecanduan.



TERBARU

×