kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Perbedaan investasi properti dan saham

oleh Budi Frensidy - Staf pengajar FEUI dan pengamat pasar modal


Rabu, 12 Agustus 2015 / 13:07 WIB
Perbedaan investasi properti dan saham

Reporter: Budi Frensidy | Editor: tri.adi

Setelah memahami persamaan antara investasi properti dan saham yang sudah dikupas beberapa waktu lalu , Anda tentunya ingin tahu perbedaannya. Karena sejumlah perbedaan inilah, investor properti belum tentu tertarik dengan saham dan sebaliknya, investor saham mungkin saja tidak nyaman dengan properti atau terkendala menjadi investor properti. Berikut perbedaan lengkap properti dan saham sebagai alternatif investasi.

Pertama, investasi properti membutuhkan dana minimal ratusan juta rupiah. Sedangkan investasi saham dapat dimulai oleh siapapun yang mempunyai kas hingga puluhan juta rupiah. Beberapa perusahaan sekuritas yang membuka kantor cabang di kampus bahkan hanya mempersyaratkan modal sebesar Rp 5 juta untuk mahasiswa yang ingin membuka akun saham.

Dengan keperluan dana yang lebih sedikit, mestinya lebih banyak investor saham daripada investor properti. Kenyataannya, yang terjadi di Indonesia adalah masih lebih banyak investor properti daripada saham.

Kedua, ada bursa harian transparan untuk jual-beli saham, yang tidak tersedia untuk properti. Pasar sekunder properti juga ada, tapi sifatnya tidak seterbuka seperti pasar saham. Maksudnya, jual-beli properti tidak dilakukan melalui sebuah pasar yang terorganisir.

Ketiga, akibat diperdagangkan di bursa, saham jauh lebih likuid daripada properti terutama untuk saham-saham LQ-45 dan berkapitalisasi besar yang menjadi koleksi investor institusi. Ini karena pembeli dan penjual saham tidak perlu bertemu dan tawar-menawar seperti yang terjadi dalam transaksi properti.

Penjual saham tidak mengenal siapa saja investor yang membeli sahamnya. Pembeli saham juga tidak tahu penjual sahamnya.

Keempat, sehubungan tersedianya bursa yang likuid, biaya transaksi investasi saham menjadi begitu rendah, yaitu sekitar 0,15% untuk pembeli dan 0,25% untuk penjual. Tambahan 0,1% untuk penjual adalah pajak penghasilan yang bersifat final.

Bandingkan dengan biaya transaksi beli dan jual untuk properti yang sekitar 2,5% hingga 5% untuk transaksi beli dan jual masing-masing. Sehingga total biaya dapat mencapai 10%.

Biaya-biaya itu adalah bea pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak pertambahan nilai (PPN), biaya notaris, dan pajak penghasilan (PPh). Masih ada pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk transaksi melebih nilai tertentu.


Properti bisa bubble

Kelima, diperdagangkannya saham di bursa juga mempunyai efek negatif, yaitu menyebabkan harga menjadi volatil. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencerminkan harga rata-rata tertimbang seluruh saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pernah merosot 50,6% sepanjang tahun 2008, turun 1% selama tahun 2013 dan -8,7% untuk tahun ini (year to date) dari 5.227 menjadi 4.770.

Tetapi IHSG melesat 87% di tahun 2009 dan naik 46% pada tahun 2010. Harga properti tidak turun-naik sebesar ini, tetapi cenderung mengalami kenaikan belasan hingga dua puluhan persen setiap tahun hingga tahun lalu termasuk di 2008.

Keenam, investor asing mendominasi kepemilikan saham yang diperdagangkan di bursa kita, yaitu sekitar 64%. Sementara hingga pertengahan tahun ini, hak milik untuk properti di Indonesia tertutup untuk orang-orang asing.

Baru bulan lalu investor asing boleh memiliki apartemen berharga minimal Rp 5 miliar, untuk meramaikan pasar properti kelas atas. Namun, hingga saat ini, masih belum ada peraturan dan ketentuan teknis untuk merealisasikan kepemilikan asing ini.

Ketujuh, investor yang sudah memiliki properti hampir pasti tidak bisa menjual aset investasi mereka sepotong-sepotong. Maksudnya, sebuah rumah tidak mungkin dipereteli bagian demi bagian menjadi pintu, jendela, teras, kamar tidur, dapur, teras, dan garasi untuk dijual.

Berbeda dengan saham yang kini dapat dijual dalam satuan seratus saham, karena satu lot terdiri atas 100 saham. Jika Anda telah membeli 1.000 lot saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) misalnya, Anda dapat menjualnya seribu kali masing-masing satu lot atau sekali langsung seribu lot atau menjual beberapa kali dengan jumlah lot yang berbeda masing-masingnya.

Kedelapan, pasar saham memungkinkan seorang investor melakukan short sale, yaitu jual dulu baru beli kemudian. Investor melakukan short sale ketika memprediksi harga sebuah saham akan turun dalam beberapa hari atau beberapa pekan ke depan. Short sale hanya mungkin untuk saham dan produk-produk investasi lain di pasar keuangan karena bersifat fungible atau mudah dipertukarkan.

Ketika seorang investor melakukan short sale, sebenarnya dia meminjam saham milik orang lain. Pada waktunya, utang saham ini mesti dibayar kembali.

Saham lama yang dipinjam dapat dengan mudah dibayarkan karena tidak ada karakteristik khusus yang melekat padanya. Satu lot saham BBRI yang dibeli dua tahun lalu, sama karakteristiknya dengan satu lot BBRI yang dibeli pekan ini.

Tersedianya kesempatan short sale menyebabkan harga saham lebih sulit mengalami bubble (ketinggian) dibanding harga properti. Setiap kali sebuah harga saham membumbung tinggi, akan datang para arbirager yang akan mengeksploitasi. Di pasar properti, short sale tidak dapat dilakukan karena properti tidak fungible alias khas atau berbeda satu sama lain.



TERBARU

×