kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Hanya memberi

oleh Ekuslie Goestiandi - Pemerhati Manajemen dan Kepemimpinan


Kamis, 22 Oktober 2015 / 17:45 WIB
Hanya memberi

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Sahabat pembaca yang baik, Anda pasti pernah mendengar bahkan mengucapkan kalimat: Dia datang ke kita kalau ada maunya saja. Ungkapan seperti ini terlontar kala bertemu dengan orang-orang yang akan berinteraksi dengan kita, hanya pada saat yang bersangkutan memiliki agenda tertentu yang bermuara pada kepentingannya sendiri. Orang-orang semacam ini akan menghampiri orang lain hanya jika sedang memerlukan bantuan ataupun menawarkan dagangan. Jika tak ada keperluan, bisa jadi yang bersangkutan tidak sudi saling menyapa bila bertemu tanpa sengaja.

Pertemanan bagi orang-orang seperti ini tak lebih tak kurang sekadar kendaraan untuk mendapatkan manfaat tertentu bagi dirinya. Kita bisa menyebut kelompok orang seperti ini sebagai manusia utilitarianistik, karena memang memanfaatkan orang lain sebagai utilitas (sarana) untuk meraih tujuan dan kepentingannya sendiri. Dari hari ke hari, di tengah pragmatisme kehidupan, rasanya jumlah orang-orang seperti ini semakin banyak pula.

Saya pernah berdiskusi (bahkan berdebat) dengan seorang praktisi manajemen sumber daya manusia (SDM) di salah satu perusahaan. Katanya, seorang manajer atau profesional dikatakan memiliki kemampuan relasional yang baik, jika yang bersangkutan tak sekadar bisa membangun hubungan yang baik, hangat, dan terbuka dengan orang lain. Yang lebih penting dari itu adalah manfaat yang bisa dipetik dari hubungan tersebut.

Dengan kata lain, seberapa nyaman dan mesranya pun hubungan antarpribadi, jika tak mendatangkan manfaat apa-apa maka hubungan tersebut kehilangan signifikansinya. Sebaliknya, sekalipun hubungannya tampak biasa-biasa dan datar-datar saja, jika menghasilkan manfaat yang nyata dapatlah dikategorikan sebagai hubungan (relasi) yang berhasil.

Kita menyadari bahwa dalam kehidupan bisnis tak bisa menghindarkan diri dari motif kemanfaatan. Bukankah bisnis adalah hubungan yang bersifat transaksional? Bahasa kerennya, there is no free lunch. Di balik setiap interaksi bisnis, patut dicurigai adanya relasi transaksional. Ketika satu pihak memberikan sesuatu, sesungguhnya ada harapan untuk mendapat sesuatu kelak.

Namun, ketika prinsip transaksional ini disuntikkan masuk ke dalam kehidupan individu setiap orang, maka sebenarnya kita mulai kehilangan semangat silahturahim yang sejati, yakni jalinan hubungan yang dibangun semata-mata di atas landasan ketulusan persaudaraan. Perlahan tapi pasti, kita mulai menggantikan semangat humanitarian (yang menempatkan derajat manusia di tempat yang mulia), dengan sikap utilitarian (yang meletakkan kedudukan manusia tak lebih dari sekadar alat dan sarana).

 

Otentisitas

Sikap utilitarian telah membuat banyak orang, utamanya yang berkecimpung dalam dunia bisnis, kehilangan otentisitas atawa kesejatian diri. Orang kehilangan kejujuran pikiran, kepekaan rasa, juga ketulusan relasi. Segalanya menjadi serbatransaksional, penuh pamrih, sarat praduga, yang pada gilirannya akan membentur nilai-nilai keutamaan hidup.

Studi yang dilakukan Edelman Trust Barometer (HBR, JanuariFebruari 2015) menunjukkan, tahun 2012 merupakan saat di mana derajat kepercayaan publik terhadap pemimpin bisnis dunia mencapai titik terendah. Banyak pemimpin bisnis yang dinilai tidak otentik, yang tidak berucap jujur, dan bertindak bersih demi kemaslahatan banyak orang. Dan pada gilirannya, ketidakpercayaan ini berujung kepada penurunan tingkat engagement karyawan terhadap perusahaannya. Untuk memulihkan kondisi itu, saat ini beberapa perusahaan besar bahkan telah memasukkan materi otentisitas dalam kurikulum pelatihan pengembangan kepemimpinannya.

Guru saya pernah berucap, kita perlu memiliki hati seperti seorang ibu, yang hanya memberi, tak harap kembali. Mungkin nasehit ini terkesan naif, apalagi jika hendak diterapkan dalam dunia bisnis. Tapi, alam seringkali memiliki hukumnya sendiri. Alam mengajarkan kepada kita dengan sikap hanya memberi, tak harap kembali, justru ibu adalah sosok yang paling dikagumi dan dicintai dalam pengertian yang setulus-tulusnya. Karena dikagumi dan dicintai, niscaya sang ibu juga tak berkekurangan, bahkan berkelimpahan (berkah) dalam hidupnya. Sosok ibu adalah cerminan otentisitas yang sejati, yang sepenuhnya humanistik dan tak terjebak pada sikap utilitarianistik.

Dan, jangan salah menerka kawan. Guru yang memberikan nasihat mulia di atas kepada saya bukanlah tokoh rohani ataupun pemuka agama, namun seorang pebisnis.



TERBARU

×