kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Pemimpin yang ada di garis depan

oleh Satrio Utomo - Kepala Riset Universal Broker Indonesia


Rabu, 28 Oktober 2015 / 10:10 WIB
Pemimpin yang ada di garis depan

Reporter: Satrio Utomo | Editor: tri.adi

Pasar modal kita baru saja melewati zaman kegelapan. Dalam kegelapan, semua setan bergentayangan. Memangsa setiap makhluk yang bergerak. Semua orang ketakutan.

Di saat genting, semua orang terlihat wujud aslinya. Yang memang asli setan malah memperkeruh keadaan.

Mereka semakin membikin orang-orang takut dan menyebar kepanikan hingga level cetar membahana. Masalah yang semula hanya karena The Fed, kok, tiba-tiba muncul masalah kiamat bulan Merah, Kiamat Rupiah, Kiamat Yuan dan lain-lain.

Semakin hari ceritanya semakin aneh. Yang enggak punya duit hanya bisa pasrah. Yang punya duit berbondong-bondong membeli dollar AS, membeli yuan. Katanya untuk cari aman.

Kegelapan berubah menjadi krisis. Dollar AS melambung, IHSG jatuh. Sepuluh tahun terakhir, kita sudah diberi pelajaran, untuk keluar dari krisis kita hanya perlu diam. Enggak usah ngapa-ngapain. Nanti krisisnya lewat sendiri. Paling banter, yang bisa dilakukan ambil gitar, bikin lagu, cetak album. Prihatin. Orang dibuat lupa, ada cara lain keluar dari krisis.

Cara lain keluar dari krisis adalah mencari solusi. Lebih baik lagi, apabila ada orang yang mau memimpin untuk bisa keluar dari krisis.

Orang yang memberi inspirasi dan bisa memimpin orang keluar dari kegelapan. Pemimpin yang ada di garis depan. Tak hanya prihatin dan diam saja, tapi maju memecahkan masalah.

Terus terang, saya mendengar pertama kali IHSG akan meroket di bulan Oktober. Saya apatis. Sebulan sebelumnya saja, Presiden Jokowi sudah bilang ekonomi bakal meroket di September, dan hal itu malah jadi bahan tertawaan. Kepercayaan ke pemerintah kian luntur.

Yang ada, rupiah meroket pada September. Menembus level yang tak pernah terlihat dalam 15 tahun terakhir. Bayangkan: sejak tahun 2000, rupiah mencapai 12.000 saja seakan sudah tabu. Ini malah mencapai 14.000, 14.500, 14.700. Dalam suasana mencekam seperti itu, ada orang bilang IHSG akan meroket selama Oktober.

Alasannya standar pula: dana infrastruktur sudah mengalir, kinerja emiten membaik, pertumbuhan ekonomi membaik. Jelas saya bilang: ini orang kurang kerjaan banget.

Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa pada 30 September 2015, seorang Tito Sulistio, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, memprediksi IHSG meroket di Oktober. IHSG benar-benar meroket selama Oktober ini. Ketimbang posisi terendah di akhir September di 4.033, IHSG terakhir berada di 4.653, sudah naik lebih dari 15%.

Hebat juga ini orang. Padahal, beberapa waktu sebelumnya dia "mengingkari janji" mengembalikan fraksi harga ke level lama, saya hopeless. Katanya mau menambah jumlah investor lokal. Tapi kok tak mau memberi kesempatan investor lokal untuk mencari profit gampang.

Sebenarnya kalau cuma mau 2 juta investor, gampang. Suruh saja semua emiten big caps membagikan saham 1 lot ke setiap karyawannya. Pasti cara itu berhasil. Tapi kita kan mau investor dalam negeri yang berkualitas. Tak hanya mereka yang bisa pencet F2 untuk beli dan F4 untuk jual.

Kita ingin tauke kelas kampung, pemilik toko Indomaret atau Alfamart tingkat kelurahan, pemilik-pemilik UKM untuk berinvestasi di bursa saham. Pemodal lokal harus diberi kesempatan meraih untung lebih gampang dengan fraksi harga lama. Biar pemodal asing fokus ke saham blue chip yang harganya di atas Rp 2.000.

Apakah saya sehebat itu memprediksi pergerakan harga? Enggak juga. Saya baru bullish untuk IHSG sekitar 6 Oktober, ketika menembus resisten 4.414. Terlambat seminggu. Terlambat 10% dari titik terendah IHSG di 4.033. Saya baru bilang IHSG akan meroket 4.700-4.750 sekitar 6 Oktober 2015, satu minggu setelah 30 September 2015.

Apakah krisis sudah selesai? Saya juga tak tahu. Keputusan kenaikan bunga The Fed baru dilakukan pada FOMC di pertengahan minggu ini. Selama The Fed bersikeras menaikkan Fed Rate di tahun ini, berarti mereka akan menaikkannya pada FMOC Desember nanti. Kalau batal naik, di situ malah yang gawat. Karena sejauh ini, BI masih terus mengaitkan perubahan BI Rate dengan saat kenaikan Fed Rate.

Akan tetapi, setidaknya kondisi saat ini jauh lebih baik. Intensitas dari krisis jauh berkurang. Di sisi lain, rasa takut tetap menghinggapi sebagian pelaku pasar.

Kalau Anda bertanya kepada saya, secara teknikal, tren turun jangka menengah IHSG baru bisa berakhir (tidak bisa mencetak titik terendah yang baru di bawah 4.033) apabila IHSG mampu mencetak titik tertinggi baru di atas resisten 5.005. Selama belum terjadi, bagi saya tren naik kali ini masih technical rebound semata. Saya tak bisa bullish untuk 2016, tak ada target IHSG 5.700 atau 6.750 untuk tahun depan, sebelum IHSG di atas 5.005.

Selama IHSG tidak naik di atas 5.005, bull run untuk tahun depan, masih berupa mimpi.


Tak lagi menakutkan
Dulu saya punya teman bermain. Seorang yang selalu bercerita hal lucu yang pernah dialaminya. Salah satu favorit saya adalah cerita dia tentang perjalanan menuju Rumah Hantu. Rumah Hantu di sebuah pasar malam. Rumah Hantu kelas kampung, bukan kelas Dufan apalagi Disney Land. Sebut saja, nama teman saya ini Didik.

Didik (D): Ketika saya masuk, ruangan sudah gelap. Saya bersiap menanti setan apa yang muncul. Tiba-tiba, JENG-JENG!!! Setan muncul. Saya kaget!!! Saya teriak!!! Saya Histeris!!!

Tommy (T): Lantas, apa yang kamu lakukan? Lari terbirit-birit?

D: Jelas tidak. Itu kan Rumah Hantu. Sudah bayar, kok, takut. Rugi kalau kita lari terbirit-birit. Saya pukul saja. Buk-buk. Itu kalau dekat. Kalau dia jauh. Minimal akan saya ludahi. JUH!!! Saya ludahi di tempat yang saya perkirakan sebagai mukanya.

T: Loh, kalau diludahi, apa orangnya gak marah?

D: Nah, kalau kita tahu dia marah dan mengejar kita, di situ baru saatnya kita lari. Lari dengan terbahak-bahak. Hahahahaha...

Saya enggak tahu, ya. Apakah ada mekanisme untuk menghukum orang yang mengeluarkan pendapat ekstrem ketika krisis. Cerita tentang analis sekuritas asing membuat Menteri Keuangan marah di awal September lalu, sepertinya juga tak akan berakhir jelas. Apakah kemudian bisa dikenakan pasal karet seperti penebar kebencian atau apa, sepertinya juga tidak.

Saya cuma heran. Lantas apa kepentingan orang yang menebar rasa takut seperti itu? Biar terkenal? Biar bisa kembali masuk ke lingkaran kekuasaan? Untuk apa?

Sayangnya, terkait cerita Rumah Hantu itu tadi, kita tak punya mekanisme untuk 'meludahi' orang yang berbuat ngawur. Kita hanya bisa bilang: Ah, dia kan cuma salah prediksi. Orang yang rugi itu kan orang yang terkena risiko pasar.

Pernah dengar OJK menghukum analis yang ngawur? Pernah dengar OJK menghukum 'Penebar Kebencian'? Enggak pernah kan?

Yang ada malah OJK memberikan beban tambahan berupa tes yang harus dilakukan lebih sering untuk pekerja pasar modal yang ingin cari duit dengan cara jujur. Beban yang sangat berat dan mahal. Saya jadi ingat teman yang baru bisa lulus tes WPPE setelah melalui lebih dari 20 kali tes. Bagaimana rasanya kalau dia harus tes setiap tahun dan ternyata gagal lagi?

So, Kalau anda bertanya: Siapa analis terbaik selama Krisis Fed Rate 2015? Yang jelas, saya akan menjawab lantang: Bukan Saya!!!!

Saya hanya bisa menyalahkan kehidupan, yang memang tak adil ini. Bangsa Indonesia mudah lupa. Pasar modal kita juga mudah lupa. Orang yang pernah korupsi, bisa menjadi pejabat lagi, ikut Pilkada lagi. Yang tak akan lupa, sepertinya hanya mereka yang "gagal move on" pada Pilpres kemarin.



TERBARU

×