kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ibl

Don’t let the past kill you twice

oleh Sammy Kristamuljana - Professor in Strategic Management Prasetya Mulya


Senin, 16 Juli 2012 / 00:00 WIB
Don’t let the past kill you twice

Reporter: Sammy Kristamuljana | Editor: djumyati

Masih segar ingatan banyak kalangan masyarakat Indonesia yang mengalami “hari-hari terpanjang” krisis moneter 1998. Krisis itu berawal dari jatuhnya nilai mata uang baht terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Bank Sentral Thailand tidak siap lantaran terlalu banyak kredit yang disalurkan oleh bank ke anggota grup usaha sendiri, arus uang panas yang tidak terpantau, dan kepanikan masyarakat menyelamatkan simpanannya.

Pernyataan Gubernur Bank Sentral Thailand (BoT) dan pimpinan Pasar Modal Thailand baru-baru ini sepertinya ingin menunjukkan iktikad bahwa negaranya tidak ingin dua kali mengalami kejadian 1998 itu. Mereka berupaya menjaga kesehatan ekonomi domestik dari dampak negatif dan sistemik kondisi perekonomian dunia umumnya dan zona Euro khususnya. Caranya, melalui berbagai bentuk pencegahan dan instrumen kebijakan. Targetnya, pasar domestik mampu melindungi dirinya dari setiap kemungkinan terburuk keruntuhan perekonomian zona Euro.

Dengan mengakui masih ada sejumlah kelemahan daya tahan Pasar Modal Thailand, khususnya dalam menghadapi arus uang panas yang terus bergerak mencari tempat aman, pimpinan Pasar Modal mengingatkan agar investor yang kurang berpengalaman lebih ekstra hati-hati dalam berinvestasi untuk periode dua bulan ke depan.

Menghargai pengalaman juga ditunjukkan oleh pemerintahan Obama di AS. Hal itu tampak dari dukungan Obama kepada Ben Bernanke saat memasuki periode keduanya sebagai Gubernur Bank Sentral AS tahun 2010 lalu. Sekadar informasi, tesis S3 Bernanke menyoroti tentang ekonomi aliran Keynesian dan pemulihan Great Depression yang melanda AS dan dunia. Tesis itu pada dasarnya gabungan dari tiga tulisan: Long-Term Commitments, Dynamic Optimization, dan Business Cycle.

Perilaku menghargai pengalaman juga semakin ditunjukkan di lingkup akademik melalui upaya-upaya penelitian terhadap penyebab Krisis Keuangan Global 2007/2008 dan diseminasi hasilnya. Dewasa ini, telah diketahui bahwa penyebabnya adalah tingkat suku bunga dan arus modal keluar AS yang rendah. Akibatnya, volume permintaan kredit meningkat tanpa diimbangi mutu kredit itu.

Pada saat yang sama, volume kredit dan sekaligus dana semakin meningkat pesat karena “inovasi” berbagai instrumen keuangan, di antaranya subprime mortgage. Tingkat suku bunga yang rendah juga mengakibatkan arus modal keluar AS untuk mencari tempat-tempat investasi yang lebih menguntungkan di zona emerging economy.

Hikmah pengalaman

Ketidakseimbangan pada neraca bank-bank multinasional penyalur kredit tersebut –  yakni pada sisi aset berisi banyak tagihan kredit yang diragukan mutunya dan pada sisi utang berupa pinjaman nasabah perorangan, antarbank, dan institusi pengelola dana besar – akhirnya berbuah kepahitan. Ketika tingkat suku bunga naik, nasabah tidak sanggup membayar angsuran kredit. Sebagian dana yang telah disalurkan ke zona emerging economy tidak dapat ditarik karena diinvestasikan dalam bentuk harta seperti fasilitas produksi yang baru menghasilkan dalam jangka menengah dan panjang.

Yang dapat dicairkan hanya sebagian dana yang diinvestasikan dalam bentuk aset likuid seperti saham atau surat berharga. Pencairan dana ini mengakibatkan terjadi aliran uang panas keluar dari pasar modal negara-negara zona emerging economy. Akibat jatuhnya nilai neraca pada sisi aset, banyak bank membukukan kerugian besar, beberapa harus dibantu pemerintah dan beberapa lainnya bangkrut.

Menghargai pengalaman seperti di atas juga membawa pada tataran pemahaman baru. Pertama, kelebihan tabungan hasil ekspor negara Asia terutama Asia Timur, bukanlah penyebab krisis keuangan global. Kedua, instrumen keuangan telah berkembang sedemikian jauh sehingga setiap kali harus dipertanyakan “inovasi” baru akan menciptakan atau justru menghancurkan nilai ekonomi.

Pada level praktik, perusahaan menghargai pengalaman melalui perbuatan yang sekilas hanya berdasarkan intuisi. Dalam bahasa manajemen risiko hari ini: “Sikap kehati-hatian yang bijak”. Memasuki triwulan ketiga ini, sekitar 42 perusahaan telah melaporkan kinerja triwulan keduanya. Beberapa perusahaan seperti Alcoa, Ford Motor, dan Texas Instrument mengingatkan para investor bahwa laba pada triwulan ketiga diperkirakan di bawah harapan. Penyebabnya, permintaan customer di seluruh dunia, terutama Eropa, melemah.

Estimasi salah satu bank investasi di New York bahkan menduga bahwa secara rata-rata perbandingan antara jumlah perusahaan yang menurunkan dan menaikkan harapan labanya melebihi 4:1. Sayangnya, para analis Wall Street belum menunjukkan respons mereka.

Salah satu skenario terburuk mengenai perekonomian zona Euro diberikan oleh pejabat bank investasi di Chicago, AS. Menurut beliau, bila tidak ada kemajuan perekonomian, zona Euro akan runtuh dalam waktu dua tahun. Pemecahan problem zona Euro bisa melalui tiga tahap. Pertama, melakukan retorika politik. Kedua, menerbitkan kebijakan moneter penyatuan sistem perbankan, pengaman, dan penyatuan regulasi. Ketiga, penyatuan fiskal.

Tetapi, zona Euro, menurutnya, akan berhenti sampai tahap kedua. Hal itu terjadi ketika peringkat kredit dan neraca antarnegara dihubungkan satu sama lain. Bila prediksi itu terjadi, hal itu akan semakin baik. Sebab, dampaknya menjadi tidak drastis dan berbagai persiapan untuk menghadapinya telah semakin matang.

Bagi para pelaku bisnis di Indonesia, seluruh pengetahuan di atas hanya akan berguna bila kita bisa menghargainya. Bukankah salah satu kata-kata bijak orang tua kita menyatakan: “Keledai tidak jatuh dua kali di lubang yang sama”. Sebagai manusia, mari kita menunjukkan penghargaan terhadap pengalaman, bukan saja dalam hati dan pikiran tetapi juga perbuatan.



TERBARU

×