kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Landskap bisnis baru

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Kamis, 19 November 2015 / 15:39 WIB
Landskap bisnis baru

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Dalam hitungan hari, yakni mulai 31 Desember 2015, kita akan masuk ke dalam tatanan ekonomi regional yang baru, yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEA). Sejatinya, MEA bukanlah isu dasar yang baru (basic-issue). Sebab, MEA hanyalah salah satu konsekuensi logis dari fenomena besar bernama globalisasi.

Penulis wacana globalisasi kondang, Thomas L. Friedman, dalam bukunya The World is Flat: A Brief History of the 21st Century (2005) menggambarkan globalisasi sebagai sebuah sistem internasional dengan aturan main dan alur logikanya sendiri. Yang tentunya, globalisasi akan memengaruhi dinamika geopolitik dan ekonomi serta perilaku pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

MEA mengintegrasikan negara-negara ASEAN menjadi sebuah “kampung besar”, yang memungkinkan perdagangan produk barang dan jasa serta lalu lintas pekerja berjalan secara “bebas” di negara-negara kawasan tersebut. Lewat MEA, para pelaku usaha di masing-masing negara mendadak mendapatkan dua hal sekaligus, yakni kue pasar yang semakin besar serta jumlah pesaing yang membeludak. Setiap pelaku usaha diberi kesempatan untuk melakukan ekspansi bisnis ke pasar negara tetangga, sekaligus diharuskan menerima kenyataan mendapatkan kompetitor baru di pasar domestik.

Dari sisi bisnis, ini sama artinya dengan ritme persaingan yang lebih sengit di tengah lapangan pertandingan yang luas. Dengan demikian, inilah momentum bagi kita semua untuk masuk ke dalam landskap bisnis yang baru, yang tentunya membutuhkan persyaratan sikap dan kompetensi organisasi yang baru pula.

Sesungguhnya, sebelum negara-negara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia mengalami dampak globalisasi bisnis secara langsung, negara-negara mapan seperti di wilayah Amerika Utara dan Eropa telah merasakannya terlebih dahulu. Studi yang dilakukan oleh Richard Dobbs dan tim dari konsultan McKinsey (HBR, Oktober 2015) menunjukkan hal itu. Dari tahun 1980 hingga 2013, nilai keuntungan operasional bersih (after tax operating profit) perusahaan-perusahaan global bertumbuh 30% lebih cepat dari nilai pendapatan secara global (global gross domestic product/GDP).

Saat ini, kontribusi keuntungan operasional perusahaan-perusahaan tersebut terhadap GDP global adalah 9,8%, naik secara signifikan dari angka di tahun 1980 yakni 7,6%. Sementara dari sisi pendapatan bersih (net income), pertumbuhannya 50% lebih cepat dari pada GDP global. Bila tahun 1980 kontribusinya hanya sekitar 4,4% dari GDP global, maka tahun 2013 melonjak ke angka 7,6%. Dan ternyata, perusahaan-perusahaan di Amerika Utara dan Eropa menikmati lebih dari separuh kue keuntungan perusahaan-perusahaan secara global.


Pemain baru
Tapi, era kejayaan perusahaan-perusahaan tersebut saat ini hampir berakhir. Melewati rentang waktu lebih dari 30 tahun, secara alamiah pertumbuhan pun menjadi lebih lambat, dan biaya juga merangkak naik. Dan, yang jauh lebih menantang adalah kehadiran pemain bisnis baru dari negara-negara berkembang, seperti China, Amerika Latin, Asia Tenggara, dan India, serta perkembangan bisnis di sektor teknologi yang berjalan secara akseleratif.

Dua hal tersebut telah menciptakan landskap bisnis yang baru, yang berdasarkan studi Richard Dobbs dan kawan-kawan, tak akan memungkinkan perusahaan-perusahaan mapan di Amerika Utara dan Eropa menikmati pertumbuhan nilai pendapatan serta keuntungan yang dahsyat lagi.

Untuk menghadapi kompetisi yang ketat dari negara-negara pendatang baru atawa emerging countries itu, tim dari McKinsey menggagas lima sikap dan kemampuan organisasional yang harus dimiliki oleh sebuah perusahaan.

Pertama, be paranoid, yakni bersikap awas terhadap apa yang terjadi di dunia luar, khususnya di negara-negara kompetitor dan pendatang baru, dan tidak terjebak fokus ke lingkungan domestik belaka. Soalnya, seringkali kantong-kantong pemasaran yang baru lahir dari kota-kota kecil di belahan dunia lain, yang selama ini luput dari pengamatan.

Kedua, seek out patient capital, yakni sikap investasi yang lebih sabar, yang rela menanamkan modal dengan orientasi jangka panjang. Sebab, kehendak untuk mendapatkan hasil investasi yang cepat, seringkali mendatangkan keputusan bisnis yang berorientasi jangka pendek dan tak menunjang sustainability pertumbuhan secara jangka panjang.

Ketiga, radicall self-disruption, yaitu keberanian untuk mempertanyakan dan mendobrak kemapanan yang selama ini sudah ada. Dalam self-disruption, perusahaan didorong untuk mempertanyakan kembali segala sesuatu yang dianggap “legacy”, kemudian melakukan terobosan inovatif dengan orientasi masa depan.

Keempat, build new intellectual assets, yaitu upaya untuk membangun kompetensi-kompetensi intelektual. Misalnya, data, algoritma, dan perangkat lunak (software). Hal ini menjadi penting karena disadari atau tidak bisnis yang paling menguntungkan saat ini bukan lagi sektor yang bersifat padat karya ataupun padat modal, melainkan padat prakarsa (idea-intensive).

Dan yang terakhir atau kelima, go to war for talent, yakni berkompetisi mendapatkan talenta-talenta yang cakap secara teknis, kuat secara mental, sekaligus memiliki wawasan global. Di tengah usia populasi dunia yang menua dan talenta yang semakin langka, fungsi pengelolaan talenta mesti menjadi salah satu prioritas strategis organisasi yang tak terhindarkan.

Rasanya, gagasan di atas tak hanya berlaku bagi perusahaan-perusahaan mapan di Amerika Utara dan Eropa, namun juga bagi perusahaan-perusahaan yang bersiap mengarungi arus globalisasi yang semakin deras. Termasuk kita di Indonesia, yang akan segera menjelang datangnya MEA.

 



TERBARU

×