kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Jokowi dan psikologi investasi

oleh Lukas Setia Atmaja - Center for Finance & Investment Research Prasetiya Mulya Business School


Senin, 23 Juli 2012 / 00:00 WIB
Jokowi dan psikologi investasi

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Jokowi atau Foke? Pemilihan Gubernur DKI Jakarta ternyata tidak kalah seru jika dibandingkan dengan Piala Eropa. Apa yang terjadi saat pemilihan gubernur, bisa menerangkan beberapa konsep psikologi investasi di bursa.

Dua minggu sebelum pencoblosan, hasil jajak pendapat semua lembaga survei menempatkan Foke sebagai kandidat teratas. Bahkan, ada yang memprediksi Foke akan menang dalam satu putaran.

Hasil quick count membuat kubu Foke terenyak. Jokowi yang tidak diunggulkan, menang telak atas Foke. Yang seharusnya tak kalah malu, adalah lembaga  tadi.

Oke, memprediksi memang sulit. Namun tetap ada metode ilmiah untuk menyusun jajak pendapat. Maka, sulit bagi mereka membela diri ketika hasil ramalan meleset hingga 10%-15%. Kisaran itu di luar batas margin of error yang mereka klaim.

Jokowi yang sederhana, namun punya personal branding yang kuat sebagai pejabat bersih dari korupsi serta merakyat, menjungkirbalikkan semua prediksi, yang katanya, ilmiah. Sebut saja ini "Jokowi Phenomenon." Sesuatu yang tidak terduga.

Sebagian masyarakat meragukan independensi satu, atau beberapa, lembaga survei. Alih-alih melakukan survei independen, siapa tahu mereka "maju tak gentar, membela yang bayar?"

Tentu, sulit membuktikan kecurigaan itu. Namun, apa untungnya mempengaruhi lembaga survei untuk mendapat hasil yang tidak sesuai dengan kondisi riil?

Jawabnya ada pada bias psikologi. yang disebut anchoring. Istilah itu merujuk ke kecenderungan manusia untuk bertumpu pada sebuah "jangkar," atau informasi saat membuat keputusan.

Prediksi suara terbanyak, diharapkan bisa menjadi "anchor" atau jangkar di benak calon pemilih. Intinya,  kandidat itu lebih baik daripada kandidat lain, karena didukung suara terbanyak.

Yang paling terpengaruh, tentu calon pemilih yang masih bingung menentukan pilihan. Mereka akan mudah terpengaruh memilih kandidat dengan prediksi suara terbanyak. Pikir mereka, "Toh kalau pilih kandidat lain, hasilnya sama saja. Mereka akan kalah juga."

Hati-hati dengan bias anchoring saat membeli saham. Apa yang diprediksi mayoritas analis saham belum tentu benar. Siapa yang berani melawan arus untuk tidak membeli saham batubara seperti BUMI di 2007?

Ketika mayoritas analis memprediksi market akan bullish, maka investor mengambil keputusan berdasar "jangkar" itu. Namun, bisa saja pernyataan Angela Merkel, Kanselir Jerman, atau Ben Bernanke, Pimpinan Federal Reserve, mendadak muncul, mengacaukan konsensus tadi.

Selain anchoring, calon pemilih yang bingung juga mudah terkena penyakit psikologis yang disebut herding, alias ikut-ikutan kelakuan atau pilihan mayoritas. Ikut arus dianggap lebih aman.

Di bursa, perilaku membebek kerap terjadi. Jika investor asing beli, ikut beli. Asing jual, domestik jual.

Repotnya, investor yang ketinggalan kereta, selalu membeli di saat harga sudah tinggi, dan menjual begitu harga sudah turun. Perilaku membebek ini juga bisa memicu pembentukan gelembung keuangan (financial bubble) yang sering terjadi di bursa saham.

Mayoritas pengamat politik berpendapat, hasil pilkada Jakarta menunjukkan, sejumlah besar pemilih makin kritis dan rasional. Mereka tidak sekadar memilih berdasar sentimen primordial, etnis atau aliran. Mereka sadar, Jakarta yang ruwet, tidak bisa dibenahi oleh pemimpin yang sekadar mengandalkan sentimen itu, namun perlu bukti prestasi.

Umumnya, pemilih yang terdidik dan melek informasi tahu pencapaian Jokowi dan pasangannya Ahok saat menjadi walikota/bupati. Mereka juga bisa menilai prestasi Foke selama menjadi Gubernur. Intinya, mereka menerapkan konsep "Coblos yang Anda kenal, kenali yang Anda coblos."

Sebagian masih memilih berdasar satu, atau beberapa, sentimen di atas. Mereka bisa terkena Confirmation Bias, penyakit psikologis di mana seseorang hanya mau mendengarkan atau mencari informasi, yang mendukung pilihannya. Seperti orang sedang jatuh cinta, jantung hatinya selalu tampak sempurna. Dan, cinta itu buta, alias kurang rasional.

Di bursa saham, calon investor yang rasional akan menganalisis beberapa saham, sebelum memilih satu. Mereka menerapkan konsep "Beli saham yang Anda kenal, kenali saham yang Anda beli." Mereka membeli dengan sejumlah alasan kuat.

Sedang, investor yang kurang rasional memilih saham berdasar sentimen tertentu, perilaku membebek, atau terpengaruh informasi "jangkar" tadi.

Sebaiknya, investor seperti ini berhati-hati, karena selalu ada Jokowi Phenomenon, yang akan membuat mereka terperangah.    



TERBARU

×