kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Mencermati fenomena window dressing

oleh Lukas Setia Atmaja - Center For Finance & Investment Research Prasetiya Mulya Business School


Rabu, 02 Desember 2015 / 10:00 WIB
Mencermati fenomena window dressing

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: tri.adi

Desember selalu ceria. Tutup tahun, libur panjang, Natal dan bonus. Secara tradisional Desember juga merupakan bulan yang ditunggu para pelaku pasar di Bursa Efek Indonesia. Dari analisis saya terhadap daily returns IHSG dari Januari 2000 hingga Agustus 2009, Desember dapat dinobatkan sebagai bulan terbaik karena memiliki daily return terbesar, yakni 0,27%. Ada apa di balik fenomena ini?

Kita semua tahu, akhir tahun selalu menjadi momentum penting bagi perusahaan. Saat tutup buku sebelum memulai lembaran baru tahun buku berikutnya. Para pelaku industri keuangan (investor institusi), khususnya pengelola reksadana, akan meninjau ulang dan menganalisis kinerja portofolio mereka selama enam bulan terakhir. Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan, investor berhak mendapatkan laporan keuangan reksadana yang telah diperiksa akuntan publik sekali setiap enam bulan.

Namun ada dugaan, sebagian pengelola dana (fund manager) melakukan window dressing supaya laporan tahunan mereka ke investor tampak lebih cantik dari biasanya (lihat Meier dan Schaumburg, 2004; Kapugu dan Whardani, 2008). Ini bisa dicapai dengan menjual saham yang dianggap pecundang (losing stocks), yaitu saham yang kinerjanya sedang jelek berdasarkan harga 3 bulan hingga 6 bulan terakhir.

Dananya untuk membeli saham yang sedang bersinar atau populer (top performer stocks) selama periode yang sama. Dengan window dressing, pengelola dana akan terlihat cukup cerdas, dengan menginvestasikan dana pada saham-saham pemenang (winning stocks).

Sebagai strategi pemasaran, tindakan ini masuk akal. Investor baru akan memeriksa isi portofolio dan berpikir bahwa fund manager tampak konsisten berhasil memilih saham berkinerja bagus.

Namun, dari sudut pandang memaksimumkan imbal hasil, window dressing bisa kontraproduktif karena mendorong fund manager menjalankan skenario buy high, sell low. Apalagi jika setelah periode tutup buku berlalu fund manager segera menjual saham-saham yang dipakai untuk bersolek. Tindakan window dressing sebenarnya tidak termasuk kategori investasi maupun spekulasi, karena tujuan utamanya adalah mendandani portofolio

Apa dampak window dressing terhadap harga saham dan investor? Kecenderungan melepas saham yang sedang merugi akan menekan lebih jauh kejatuhan harga saham tersebut. Apalagi jika investor institusi besar menjual saham pecundang secara serentak. Ini kesempatan ambil untung bagi contrarian investor atau trader yang biasanya membeli saham saat mayoritas investor menjualnya.

Seperti ungkapan Nathan Rothschild, investor legendaris Inggris, The best time to buy is when blood is running in the streets. Akhir tahun mereka membeli saham yang mungkin undervalued pada harga diskon, kemudian mengharapkan harga saham tersebut pulih saat tekanan jual dari window dressing berkurang.

Sebaliknya, harga saham yang berkinerja baik akan melambung semakin tinggi ketika para fund manager yang melakukan window dressing mencoba memasukkan cerita sukses ini ke portofolio mereka. Maka saham yang mungkin sudah overvalued akan semakin kemahalan.

Sekali lagi, contrarian trader bisa mengambil keuntungan dengan menjual saham mereka saat kebanyakan investor membeli. Mereka memperkirakan, harga akan segera terkoreksi setelah periode window dressing berlalu.

Namun contrarian bukanlah satu-satunya strategi pelaku pasar. Sebagian dari mereka mencoba menangguk keuntungan dari fenomena window dressing dengan menerapkan momentum investing. Ini strategi yang memanfaatkan kelanjutan (continuance) dari tren harga di bursa.

Momentum investor atau trader yakin, kenaikan harga yang tajam dari sebuah saham akan diikuti kenaikan berikutnya. Setiap kenaikan menjadi momentum bagi kenaikan berikutnya. Sebaliknya, penurunan tajam harga saham akan diikuti penurunan lanjutan. Momentum investor bermain pada saham yang harganya bergerak cepat.

Akibatnya, berbeda dari contrarian investing, momentum trader justru mengikuti arus dengan membeli the winning stocks dan melakukan shortselling terhadap the losing stocks. Mereka akan memegang the winners sampai kenaikan harganya mulai melemah (sinyal untuk menjual). Seperti ucapan Richard Driehaus, pelopor momentum investing, "Far more money is made buying high and selling at even higher prices."

Strategi ini bisa memberikan imbal hasil tinggi, terutama menjelang akhir tahun. Penelitian Sias (2006) dengan menggunakan data tahun 1984-2004 di pasar modal Amerika Serikat mengindikasikan, Desember merupakan surga bagi para momentum trader. Momentum profit Desember paling tinggi dibandingkan dengan bulan lain (5,5% per bulan). Namun strategi, ini juga amat berisiko. Bagaimana jika terlambat menjual dan ikut terbanting saat harga mulai turun?

 



TERBARU

×