kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Ketika sebagian besar kekayaan dikuasai segelintir orang

oleh Budi Frensidy - Staf Pengajar FEB-UI dan Pengamat Pasar Keuangan


Rabu, 16 Desember 2015 / 16:13 WIB
Ketika sebagian besar kekayaan dikuasai segelintir orang

Reporter: Budi Frensidy | Editor: tri.adi

Tidak berbeda dengan perekonomian dunia yang semakin timpang, pertumbuhan ekonomi di Tanah Air selama dekade terakhir ternyata hanya dinikmati sebagian kecil rakyat Indonesia. Bank Dunia melaporkan, sebagian besar penduduk Indonesia masih hidup dalam kekurangan dan keterbatasan.

Menggunakan ukuran kemiskinan US$ 2 atau sekitar Rp 27.000 per hari, masih ada sekitar 40% atau 100 juta orang Indonesia yang mengais penghasilan di bawah angka itu. Dengan asumsi satu keluarga terdiri atas 4 orang dan hanya satu orang yang bekerja, si pencari nafkah tunggal itu berpenghasilan kurang dari Rp 3,24 juta, yaitu Rp 27.000 x 30 hari x 4 orang. Sebagian besar buruh kita sangat mungkin termasuk di dalamnya. Tapi, negara kita tidak sendirian karena di tingkat dunia ada 2,2 miliar orang yang hidup dengan penghasilan harian kurang dari US$ 2.

Yang tidak masuk dalam kelompok miskin (menurut Bank Dunia) ini juga belum tentu sejahtera. Sebagian besar berada tidak jauh dari batas, yaitu berpenghasilan hanya Rp 4 juta - Rp 5 juta sebulan. Kecuali para eselon 1 hingga 4 dan dosen dan guru bersertifikasi, pegawai negeri sipil atau PNS umumnya berpenghasilan di sekitar angka ini. Buktinya, 45 juta rumah tangga Indonesia adalah pelanggan daya listrik 450 VA dan 900 VA yang tarifnya masih subsidi.

Selain kemiskinan, Bank Dunia juga menyoroti meningkatnya ketimpangan ekonomi di negeri ini. Jika sepuluh tahun lalu rasio gini Indonesia 0,36, kini melesat ke 0,41. Tertinggi yang pernah dialami Indonesia dan memicu negeri ini sejajar dengan negara Afrika seperti Uganda dan Pantai Gading, dan lebih buruk dari India.

Ketimpangan tak hanya terjadi dalam penghasilan, tapi juga kekayaan, baik tingkat nasional maupun global. Saat ini ada sekitar 2.000 miliarder dunia memiliki aset bersih minimal US$ 1 miliar atau Rp 13,5 triliun, dengan total kekayaan US$ 6,7 triliun. Kekayaan sebesar ini ekuivalen dengan penghasilan 250 juta penduduk Indonesia selama 8 tahun, mengingat pendapatan nasional kita sekitar US$ 800 miliar setahun.

Menurut laporan Oxfam awal tahun ini, kekayaan 80 orang terkaya dunia mencapai US$ 1,9 triliun atau lebih dari dua kali produk domestik bruto negara kita. Yang mencengangkan, angka ini setara total kekayaan lebih dari tiga miliar penduduk dunia. Artinya, kekayaan satu orang di kelompok 80 orang terkaya dunia ekuivalen dengan kekayaan sekitar 40 juta orang di kelompok bawah.

Oxfam mencatat, 1% penduduk terkaya dunia pada tahun 2009 hanya menguasai 44% kekayaan dunia. Tahun 2014 angka ini sudah melonjak menjadi 48% dan tahun 2017 menjadi lebih dari 50%. Kekayaan 1% penduduk teratas yang rata-rata US$ 2,7 juta per orang akan lebih besar daripada 99% penduduk dunia lain.

Oxfam juga melaporkan, dari sekitar 50% kekayaan 99% penduduk dunia lain, sebagian besar yaitu 45% adalah milik 20% terkaya. Sehingga tersisa hanya 5% untuk 80% lain atau rata-rata hanya US$ 3.851 atau sekitar Rp 52 juta. Ekonomi dunia semakin jauh dari pemerataan. Kekayaan di dunia kini berada di genggaman segelintir orang.

Senada dengan Oxfam, Bank Dunia juga melaporkan besarnya penguasaan 1% rumah tangga terkaya terhadap seluruh kekayaan di masing-masing negara. Indonesia menempati peringkat ketiga tertimpang dengan angka 50,3%, di bawah Rusia dan Thailand. Di tiga negara ini, 1% warga teratas telah menguasai lebih banyak daripada 99% lain (lihat tabel).

Ketimpangan penghasilan dan kekayaan terjadi tidak saja di negara berkembang seperti Indonesia, juga di negara adidaya sekelas Amerika Serikat (AS). American dream yang didambakan dan tadinya diyakini milik semua orang Amerika, hanya dinikmati 1% penduduk.

Dalam artikelnya tentang kondisi AS saat krisis finansial lalu, Joseph Stiglitz, salah seorang pemenang nobel ekonomi mengatakan, perekonomian AS adalah perekonomian dari 1%, oleh 1%, dan untuk 1%. Satu persen penduduk teratas di sana menguasai seperempat pendapatan nasional dan 40% aset nasional. Angka-angka tersebut meningkat dari 12% dan 33% pada 30 tahun lalu. Sementara 99% lain hanya menjadi penonton yang menyaksikan kesempatan mereka terus menyusut.

Jika beberapa dekade lalu, AS meledek Brasil dengan ketimpangan ekonomi yang parah, yaitu 1% penduduk menguasai hingga 49% aset nasional, kini AS mengalaminya sendiri. Jika Brasil dan negara-negara Amerika Latin lain terus berjuang mengurangi kesenjangan ekonomi ini dan mulai berhasil, di Amerika distribusi pendapatan ini justru semakin melebar.

Dunia kini terbagi atas mereka di 1% papan teratas dan 99% menempati sisanya. Kemungkinan masuk dan bergabung di kelompok Top 1% selalu terbuka. Namun, keinginan ini memerlukan gabungan motivasi kuat, kesempatan emas, keterampilan tinggi, dan kerja keras. Selamat mewujudkan impian Anda.



TERBARU

×