kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Tak mudah untuk belajar

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Kamis, 24 Desember 2015 / 10:25 WIB
Tak mudah untuk belajar

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Sejak diluncurkan jargon learning organization oleh guru manajemen Peter Senge di awal 1990-an, hampir semua perusahaan terinspirasi oleh ide ini. Belum lagi, banyak studi yang menunjukkan, hanya organisasi yang berciri pembelajarlah yang akan bertahan dan bertumbuh secara sustainable. Beberapa perusahaan bahkan secara khusus memiliki fungsi yang bertanggungjawab untuk urusan pembelajaran organisasi dan karyawan.

Namun, apakah benar organisasi-organisasi tersebut sudah memiliki learning capability, yakni kemampuan pembelajaran dalam pengertian sesungguhnya? Apakah perusahaan yang mendeklarasikan dirinya sebagai learning organization sudah mempraktikkan apa yang mereka celotehkan itu?

Menarik untuk melihat kasus yang dialami Toyota, raksasa otomotif dunia yang terkenal dengan semangat pembelajarannya. Bahkan, continuous improvement/learning dijadikan sebagai salah-satu pilar penting dari filosofi bisnis mereka yang begitu terkenal. Pada akhir 2009, Toyota mengalami persoalan serius yang mengakibatkan mereka harus menarik kembali lebih dari 9 juta kendaraan di seluruh dunia.

Terhadap peristiwa itu, beberapa pimpinan perusahaan kebanggaan Jepang tersebut akhirnya mengakui bahwa tuntutan untuk senantiasa menjadi produsen otomotif terbesar di dunia telah ikut mengendurkan kemampuan pembelajaran mereka. Karena sibuk mengejar prestasi, mereka menjadi alpa menginvestasikan sumber daya manusia untuk keperluan pembelajaran. Ternyata, pada perusahaan dengan DNA of learning yang kuat sekalipun, kemampuan pembelajaran bisa menemukan jalan buntu.

Studi yang dilakukan Francesca Gino dan Bradley Staats (dalam tulisannya Why Organizations Don’t Learn, HBR, November 2015), memperlihatkan beberapa bias atau kecenderungan alamiah yang acapkali menjadi penghambat organisasi untuk bertumbuh sebagai organisasi pembelajaran. Di sini, saya akan memfokuskan kepada dua bias yang dominan saja, yakni bias akan kesuksesan dan bias akan tindakan.

Tentang bias akan kesuksesan (bias toward success), tak bisa dipungkiri bahwa semua orang ingin mengejar kesuksesan. Akibatnya sudah jelas, orang akan menghindari kegagalan. Kegagalan akan mendatangkan suasana tak nyaman bahkan menyakitkan, entah itu berupa rasa sakit, marah, malu, atau mungkin juga depresi.

Pada beberapa perusahaan, kecenderungan menghindari kegagalan ini bahkan terlembagakan secara tidak disadari. Pengelolaan pekerjaan yang tak mengalokasi waktu dan uang untuk melakukan eksperimen serta pemberian penghargaan yang semata-mata tertuju kepada kesuksesan dan pencapaian target kerja, adalah contoh proses pelembagaan upaya menghindari kegagalan. Orang tak diberi peluang, apalagi dirangsang untuk melakukan eksperimentasi yang mengandung risiko. Padahal, tak ada eksperimen yang sekali dijalankan langsung mendatangkan hasil seperti yang diharapkan.

Sang penemu sejati, Sir Isaac Newton, konon juga baru menemukan bola lampu atau bohlam yang diidamkannya setelah melewati 999 kali eksperimen. Bias akan kesuksesan mengakibatkan orang tidak berani mengambil langkah getting into the unknown, yang merupakan hakekat dari proses pembelajaran itu sendiri.

 

Bersikap reaktif
Sementara bias akan tindakan (bias toward action) merupakan kecenderungan orang untuk bersikap reaktif. Umumnya, ketika dihadapkan dengan suatu persoalan, kebanyakan pekerja akan segera mengambil suatu tindakan (action) tanpa berpikir lebih mendalam. Kita akan segera bekerja lebih keras menghabiskan waktu yang lebih panjang, dan secara naluriah juga memberikan beban (stress) tambahan ke atas pundak. Kita merasa nyaman untuk melakukan suatu tindakan, sekalipun tahu tindakan tersebut tidaklah produktif untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Sekaligus, kita juga merasa galau saat tak melakukan apa-apa, sekalipun tahu bahwa doing nothing mungkin pilihan terbaik pada saat itu.

Mari kita simak penelitian tentang strategi penjaga gawang sepakbola (goalkeeper) profesional saat menghadapi tendangan penalti berikut ini. Studi yang dilakukan Michael Bar-Eli dank kawan-kawan menunjukkan, goalkeeper yang tetap tinggal diam di tengah gawang, ternyata punya kinerja lebih baik daripada goalkeeper yang melompat ke kiri atau kanan. Mereka yang tetap di tengah alias doing nothing memiliki peluang sebesar 33,3% untuk menghalau tendangan penalti.

Tapi, studi yang sama juga menunjukkan, goalkeeper yang tetap bertahan di tengah gawang hanya berjumlah 6,3% dari keseluruhan tendangan penalti yang dilakukan. Mengapa? Sekali lagi, karena orang merasa lebih nyaman untuk melompat ke kiri atau kanan, sekalipun akhirnya gawangnya tetap kebobolan. Paling tidak, ia merasa sudah melakukan sesuatu. Sebaliknya, orang akan merasa berdosa ketika tetap berdiri di tengah gawang, dan bola akhirnya menggulir masuk ke gawang. Seolah-olah, ia tidak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan gawang. Walaupun, studi sudah memperlihatkan, dalam konteks tendangan penalti, tetap berdiri di tengah adalah strategi terbaik untuk penyelamatan gawang.

Situasi ini analogis dengan kebiasaan para pekerja yang merasa lebih produktif saat melakukan tugas-tugas eksekusi, dibanding pada waktu melakukan kegiatan perencanaan. Kegiatan perencanaan dianggap aktivitas yang tak memiliki nilai tambah. Padahal, kegiatan eksekusi yang tidak dilengkapi dengan perencanaan yang baik, sama artinya dengan upaya percobaan yang sarat dengan potensi kekeliruan. Istilah kerennya, trial and error.



TERBARU

×