kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Revaluasi aset: Opsi murah mendongkrak ekuitas

oleh Budi Frensidy - Staf Pengajar FEB-UI dan Pengamat Pasar Keuangan


Rabu, 06 Januari 2016 / 19:35 WIB
Revaluasi aset: Opsi murah mendongkrak ekuitas

Reporter: Budi Frensidy | Editor: tri.adi

Sejatinya, revaluasi aset bukanlah sebuah konsep baru dalam dunia akuntansi. Jauh sebelum PMK 191 Tahun 2015, sudah ada PMK 79 Tahun 2008 yang mengatur tentang ini. Menurut aturan lama, sebuah perusahaan dapat melakukan revaluasi aset sesuai nilai wajar. Untuk selisih lebih nilai aset di atas nilai buku, perusahaan wajib membayar pajak penghasilan (PPh) final sebesar 10%.

Ilustrasinya begini , jika nilai buku (harga perolehan dikurangi akumulasi penyusutan) aktiva tetap perusahaan sebesar Rp 100 miliar dan nilai wajar adalah Rp 150 miliar, perusahaan dapat menyesuaikan nilai asetnya itu menjadi Rp 150 miliar. Berdasarkan PMK 79 Tahun 2008, atas kenaikan Rp 50 miliar ini, sebesar 10% atau Rp 5 miliar harus dibayarkan sebagai PPh final dan sisanya dapat dicatat sebagai kenaikan ekuitas.

Jika perusahaan tak melakukan revaluasi aset, mungkin tidak memiliki uang kas 10% yang harus dibayar atau memiliki kas, tapi tidak rela menyetor pajak, tak ada tambahan kewajiban PPh. Jika perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap, tapi tidak bersedia membayar pajak Rp 5 miliar seperti kasus di atas, Direktorat Jenderal Pajak tak akan mengakui penyesuaian nilai aset. Demikian juga jika perusahaan menggenjot nilai aset melebihi nilai wajarnya, meskipun dia bersedia membayar 10% PPh final, Ditjen Pajak akan menurunkan ke nilai maksimum Rp 150 miliar.

Implikasi revaluasi aset adalah risiko finansial perusahaan menurun seiring semakin baiknya rasio utang terhadap total ekuitas maupun total aset. Inilah dua manfaat utama revaluasi aset. Sementara biaya utamanya adalah kewajiban PPh final.

Jadi di mata perusahaan, revaluasi aktiva tetap adalah pilihan antara membayar PPh final 10% sekarang dan PPh lebih rendah pada tahun-tahun berikutnya atau tidak perlu membayar kas 10% dan PPh ke depan juga tidak turun signifikan.

Wajar pemerintah mengenakan PPh final untuk revaluasi aset mengingat di tahun-tahun berikutnya biaya penyusutan aktiva tetap, kecuali tanah, akan membengkak akibat revaluasi aset. Karenanya, laba perusahaan dan pajak penghasilan menjadi terpangkas juga. Terakhir, dividen BUMN yang melakukan revaluasi aktiva siap-siap ikut turun.

Beda PMK baru dengan yang lama adalah dari sisi tarif. Jika dulu pajaknya 10% dan 90% akan menambah nilai ekuitas, kini tarifnya diskon cukup besar, tergantung kapan kas disetorkan ke negara. Jika revaluasi sebelum Desember 2015, tarifnya hanya 3%, sehingga 97% dapat diakui sebagai peningkatan nilai ekuitas. Diskon semakin mengecil jika kas disetor di Januari hingga Juni 2016, dan turun lagi untuk pembayaran di Juli-Desember 2016. Setelah itu, mulai 2017 tarif akan kembali normal, yaitu 10%. Pemerintah memberikan diskon sangat besar di 2015 untuk menggenjot penerimaan pajak yang dipatok sangat tinggi, Rp1.294 triliun.

Dalam akuntansi, sejak terbit Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 16 tentang Aktiva Tetap di 2007 yang merevisi PSAK tahun 1994, ada dua model pengukuran aktiva tetap. Kedua metode itu adalah model biaya perolehan atau biaya historis dan model revaluasi dengan menggunakan nilai wajar. Dalam praktiknya, sebagian besar perusahaan di Indonesia memilih pencatatan aktiva berdasarkan biaya perolehan, bukan model revaluasi.


Efek negatif
Mengapa lebih banyak perusahaan enggan melakukan revaluasi? Selain faktor pajak tambahan, sangat mungkin juga menimbang efek negatif revaluasi aset terhadap profitabilitas di laporan rugi-laba tahun-tahun mendatang. Revaluasi aset mengakibatkan penurunan laba bersih, karena meningkatnya biaya penyusutan, ceteris paribus.

Laba bersih yang menyusut dibagi ekuitas dan aset yang melonjak akan memperburuk return on asset (ROA) dan return on equity (ROE). Dua efek negatif ini mengalahkan dua efek positif, yaitu peningkatan ekuitas dan aset serta menurunnya risiko finansial dengan semakin baiknya rasio-rasio utang.

Salah satu industri yang diuntungkan dengan revaluasi aset adalah perbankan. Inilah opsi murah bank menaikkan capital adequacy ratio (CAR). Wajar, empat bank BUMN langsung melakukan dan bank-bank swasta dikabarkan segera mengikuti. Bank Mandiri telah menyetor Rp 600 miliar-Rp 700 miliar dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Rp 400 miliar-Rp 500 miliar untuk kenaikan aktiva tetap Rp20 triliun dan Rp15 triliun. Pemerintah meraup sekitar Rp1,5 triliun dari empat bank ini.

Pemerintah juga mendorong BUMN-BUMN lain memanfaatkan fasilitas revaluasi dengan harga diskon ini, terutama PT Pertamina dan PT PLN. Dengan tarif pajak 3% saja, setoran pajak kedua BUMN jumbo ini akan lebih dahsyat daripada empat bank BUMN, bisa mencapai Rp 10 triliun. Sayang, Pertamina masih menawar untuk mengganti kas yang disetorkan menjadi penyertaan modal negara (PMN).

Berbeda dengan Pertamina, PLN menyambut baik fasilitas revaluasi, untuk mendongkrak aset menjadi Rp 800 triliunan. Meskipun laporan keuangan masih merugi Rp 27,4 triliun, akibat kerugian kurs puluhan triliun, pada kuartal III/2015.

Kesimpulannya, revaluasi aset membawa manfaat dan kerugian baik untuk perusahaan maupun pemerintah. Ekuitas dan aset naik, tapi laba dan rasio profitabilitas turun untuk perusahaan. Bagi pemerintah, setoran pajak yang meningkat di tahun revaluasi, diikuti penurunan pajak dan dividen BUMN tahun-tahun berikutnya.

Adapun kabar gembiranya, tahun ini faktor ketidakpastian global sudah berkurang. Meski The Fed masih mengantongi rencana menaikkan suku bunga acuan di 2016, teka-tekinya tak lagi senjelimet sebelumnya. Satu-satunya faktor eksternal yang musti diwaspadai, kata Made dan analis obligasi Sucorinvest Central Gani, Ariawan, adalah perlambatan ekonomi China yang berpotensi terus berlanjut.

Meski begitu, ekspektasi-ekspektasi bernada positif dari dalam negeri diyakini bisa menjadi penyeimbang yang tangguh. Hasil akhirnya, kondisi ekonomi Indonesia dipercaya bakal sedikit membaik ketimbang tahun 2015. Tentu dengan catatan, ekspektasi soal pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, belanja pemerintah termasuk realisasi proyek infrastruktur, ruang penurunan BI rate, dan inflasi yang terkendali bisa menjadi nyata.

Dus, investor obligasi yang sempat merugi, punya kesempatan untuk membalikkan keadaan. Sebagai acuan, menurut catatan Ariawan, yield SUN tenor 10 tahun saat ini ada di kisaran 8,7%, lebih tinggi ketimbang posisi akhir 2014 di 7,8%. “Tahun depan yield-nya bisa 7,8%–8%. Dengan syarat kondisi-kondisi tadi bisa terjadi,” tandasnya.

Made jauh lebih optimistis. Ia menargetkan pada 2016 yield SUN tenor 10 tahun bisa mencapai 8,47%.. Khusus bagi investor ritel, peluang cuan yang lebih lebar juga terbuka tahun ini. Pemicunya, nilai dan jenis surat utang ritel yang diterbitkan negara bakal bertambah.

Dari sisi nilai penerbitan surat utang, kondisi pasar yang sedikit lebih baik seiring dengan target nilai penerbitan surat berharga negara (SBN) yang lebih besar. Kementerian Keuangan menargetkan nilai penerbitan SBN tahun ini bisa mencapai Rp 532,4 triliun. Lebih tinggi dari tahun lalu yang sekitar Rp 502 triliun. Kenaikan ini akan diimbangi oleh bertambahnya porsi SBN ritel menjadi 10%–12% dari total SBN.

Dari sisi jenis obligasi, pemerintah juga akan menambah dari dua menjadi empat obligasi ritel. Selain Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan sukuk ritel, akan ada tambahan sukuk tabungan dan saving bond ritel (SBR). Khusus untuk SBR, sebetulnya sudah pernah diterbitkan pada 2014 lalu.

Made dan Ariawan sepakat, kehadiran SBR dan sukuk tabungan akan memudahkan investor mendiversifikasi risiko di instrumen pasar uang. Plus, membuka peluang mendapat kupon yang lebih besar dari ORI dan sukuk ritel.

Kalau mengharapkan capital gain dari trading di pasar sekunder, bisa masuk ke ORI. Jika menginginkan yang lebih syariah bisa masuk ke sukuk ritel. Tapi, untuk memenuhi kebutuhan jangka menengah dan mementingkan kupon yang lebih menarik, bisa masuk ke SBR atau sukuk tabungan.

Oh ya, sukuk tabungan dan SBR harus dipegang hingga jatuh tempo (held to maturity). Sebagai kompensasi, kupon yang ditawarkan pun seharusnya lebih menarik ketimbang ORI dan sukuk ritel. Sebagai contoh, SBR001 menggunakan skema kupon mengambang dengan tingkat kupon minimal.

Acuannya, suku bunga penjaminan di bank umum yang ditetapkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ditambah 125 basis poin. Sementara tingkat kupon minimalnya dipatok di 8,75%. “Untuk SBR002, spread dengan kupon ORI mestinya lebih
tinggi sekitar 25 basis poin,” kata Made.

Khusus untuk SBR002 yang bakal hadir 2016, pemerintah menetapkan opsi early redemption bagi investor yang ingin melepas sebagian SBR yang dikempitnya.

Anda ikut optimistis



TERBARU

×