kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Paradoks harga properti dan penghasilan

oleh Budi Frensidy - Staf Pengajar FEB-UI dan Pengamat Pasar Modal


Selasa, 02 Februari 2016 / 14:03 WIB
Paradoks harga properti dan penghasilan

Reporter: Budi Frensidy | Editor: mesti.sinaga

Melambatnya perekonomian kita memang telah membuat susah banyak orang. Seiring penurunan harga batubara dan komoditas andalan Indonesia lain sejak tahun 2012 silam, telah terjadi pengurangan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk industri-industri di atas.

Tidak hanya industri pertambangan dan pertanian, kelesuan pasar juga melanda industri properti dan otomotif. Sepanjang tahun lalu volume penjualan semen turun dan penjualan sepeda motor anjlok.

Saat dua dari tiga indikator yang kerap digunakan Bank Indonesia (BI) untuk kondisi sektor riil mengecewakan seperti ini, kita secara realistis tidak bisa berharap terlalu banyak untuk perekonomian di tahun ini.

Bukti lain, jika Anda saat ini memegang uang kas dan berniat membeli apartemen dengan tunai, tidak sulit mendapatkan diskon besar. Rupanya, industri properti  juga terkena imbasnya. Setelah tahun-tahun sebelumnya harga properti terus naik, sejak tahun 2014 kenaikan tersebut mulai terhenti.

Tahun lalu beberapa investor malah bersedia menjual rugi properti yang baru mereka beli dalam satu tahun sampai dua tahun terakhir.

Meskipun sudah membanting harga, pembeli properti tersebut belum tentu ada. Ini dikarenakan harga beli relatif sudah ketinggian, di saat yang bersamaan daya beli kelas menengah juga terus merosot.

Sulit disangkal, harga properti terutama tanah, rumah, dan rumah toko (ruko) di sebagian besar lokasi telah melesat beberapa kali lipat hanya dalam beberapa tahun.

Sementara gaji dan penghasilan kita sering kali hanya naik kurang dari 10% setiap tahun. Jangankan di Jakarta, di daerah-daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi saja, kini harga rumah sudah di atas Rp 500 juta untuk ukuran kecil, yaitu tanah di bawah 100 m2 dan luas bangunan 50 m2.

Di perumahan yang agak mewah, sudah hampir tidak ada lagi rumah yang ditawarkan di bawah Rp 1 miliar untuk ukuran yang sama.

Tidak ada yang salah dengan harga setinggi itu jika penghasilan masyarakat kita juga besar. Kenyataannya, buruh-buruh kita hanya bergaji sekitar Rp 3 juta per bulan.

Gaji sarjana lulusan perguruan tinggi terkemuka masih sekitar Rp 5 juta per bulan. Begitu juga sebagian besar para pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/Polri yang berpenghasilan antara Rp 5 juta sampai Rp10 juta sebulan. Hanya PNS dan TNI/Polri yang menjabat serta profesional yang bekerja sebagai manajer di perusahaan multinasional dan korporasi swasta besar yang dapat membawa pulang puluhan juta rupiah setiap bulan.

Dengan penghasilan Rp 5 juta sebulan misalnya, hampir mustahil bagi seorang karyawan dapat membeli rumah tanpa subsidi pemerintah.

Dengan kemampuan membayar angsuran rumah 30% dari penghasilan mereka atau Rp 1,5 juta, Anda ingin tahu maksimum kredit bank yang bisa diperolehnya dan harga rumah yang dapat dibelinya dengan fasilitas kredit itu?

Jika bunga kredit pemilikan rumah (KPR) adalah 12% per tahun, dan periode angsuran diasumsikan 15 tahun atau 180 bulan, pegawai tadi hanya dapat mengambil KPR Rp 125 juta. Dengan KPR sejumlah ini dan uang muka 20% dari harga properti, rumah yang dapat si karyawan beli maksimal cuma Rp 156,2 juta.

Jika ada bank yang bersedia memberikan tenor hingga 20 tahun, KPR naik menjadi Rp 136,2 juta dan harga rumah menjadi Rp 170,3 juta.

Hampir dapat dipastikan, tidak ada rumah di kawasan Jabodetabek dengan berharga serendah itu, untuk ukuran paling mungil sekalipun, yaitu tanah 60 m2 dan luas bangunan 21 m2.

Kalau gaji dan tenor tadi saya ganti dengan Rp 10 juta, Rp 15 juta, Rp 30 juta untuk tenor 10, 15, dan 20 tahun dan angsuran 1/3 (33,3%) dari gaji, kita akan mendapatkan tabel di bawah ini untuk plafon kredit dan harga rumah yang dapat dibeli seseorang.

Dari tabel tersebut, terlihat rendahnya kemampuan masyarakat kita membeli rumah atau apartemen. Mereka yang berpenghasilan Rp 30 juta sebulan saja ternyata hanya mampu mengangsur properti senilai Rp 1,14 miliar dengan KPR sebesar Rp 908,2 juta selama 20 tahun.

Padahal jumlah mereka yang berpenghasilan sebesar ini di Jakarta rasanya tidak lebih dari 10% dan kurang dari 5% secara nasional.


Anda boleh saja tidak setuju dengan saya soal asumsi bunga 12% dengan mengatakan, bunga KPR bank saat ini adalah 10% sampai 11%.

Praktik yang terjadi di lapangan, itu hanyalah bunga tetap yang diberikan bank sekaligus bunga promosi selama 1 tahun sampai 2 tahun pertama untuk menggaet calon investor properti.

Lepas dari periode bunga tetap atau promosi, bunga ini akan dinaikkan menjadi rentang 12% sampai 14% per tahun.

Saya mengalaminya sendiri ketika mengambil KPR bank konvensional berbunga rendah 7,49% di tahun 2011 silam. Setelah berjalan selama dua tahun, bunga itu dinaikkan menjadi 13% dan naik lagi ke 13,5% lima bulan kemudian. Saya pun langsung melunasi KPR tersebut.

Kesimpulannya, gaji kita dalam nominal memang terlihat begitu besar, yaitu jutaan rupiah. Namun, jika melihat dari daya beli saat ini, khususnya untuk membeli properti, penghasilan tersebut sangatlah rendah.

Kemungkinan lain adalah harga properti yang sudah terlalu mahal atau kedua-duanya. Karena itulah, di mata saya, sudah sewajarnya harga rumah dan apartemen kelas menengah dan bawah turun. Alternatif lain adalah bunga KPR diturunkan menjadi hanya satu digit.


Jika kedua hal itu tidak mungkin, harapan terakhir adalah gaji para pegawai kita dinaikkan.



TERBARU

×