kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Disrupsi Lyft dan General Motor

oleh Jennie M. Xue - Kolumnis internasional serial entrepreneur dan pengajar, bisnis, berbasis di California.


Rabu, 09 Maret 2016 / 20:30 WIB
Disrupsi Lyft dan General Motor

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: hendrika.yunaprita

Di Indonesia, nama Uber dan GrabCar (bagian dari GrabTaxi) telah cukup dikenal. Di AS, ada Lyft yang juga bermodel bisnis ride/car-sharing dengan aplikasi. Lyft mendapatkan suntikan dana US$ 500 juta dari General Motors (GM) yang merupakan bagian dari US$ 1 miliar pembiayaan venture capital (VC). Valuasi Lyft terakhir mencapai US$ 4,5 miliar di luar kapital terbaru.

September 2015, Lyft telah berpartner dengan Didi Kuaidi, kompetitor car-sharing berbasis di China dan GrabCar di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Investor dari Asia bukan lagi sesuatu yang baru bagi Lyft. Dua investor awal mereka adalah Rakuten dari Jepang dan Alibaba dari China.

Gol jangka pendeknya tentu saja untuk melumpuhkan Uber yang telah duluan penetrasi pasar secara masif. Dengan dukungan kapital GM, dalam jangka panjang, Lyft bervisi mendisrupsi dunia penyewaan mobil di AS dan dunia.

Pertama, dengan membentuk hub-hub penyewaan mobil atau car rental di seluruh AS di mana mereka yang tidak memiliki mobil pribadi pun dapat mengendarai mobil yang disediakan Lyft untuk mencari uang saku.

Bayangkan bagaimana menariknya program ini bagi pengendara maupun konsumen. Program ini menunjukkan bahwa Lyft bukan hanya semacam Uber namun juga semacam taksi resmi yang mempekerjakan pemilik mobil dan pengendara mobil perusahaan.

Dalam advertensinya, potensi mengendarai mobil Lyft mencapai US$ 1500 per minggu atau US$ 6000 per bulan, setara gaji seorang manajer di California. Jumlah ini sangat menggiurkan mengingat kondisi ekonomi dan angka pengangguran di AS masih belum optimal.

Kedua, GM dan Lyft sedang menggodok kemungkinan untuk membangun jaringan mobil-mobil self-driving, alias tanpa disetir oleh manusia sebagaimana yang telah dipelopori oleh Google dan Tesla. Presiden Lyft John Zimmer berpendapat bahwa mobil-mobil self-driving sebaiknya dikelola jaringan perusahaan daripada dijual dan digunakan oleh individu.

Saat ini, yang menjadi kendala realisasi adalah regulasi lalu lintas self-driving cars di tingkat negara bagian. Di California, misalnya, regulasi bagi kendaraan self-driving masih dalam tahap pengembangan.

Izin testing mobil-mobil self-driving telah disetujui negara bagian California di bulan Desember 2015 untuk Volkswagen, Mercedes Benz, Google, Delphi Automotive, Tesla Motors, Bosch, Nissan, Cruise Automation, BMW, Honda, dan Ford. Namun, untuk penggunaan mobil-mobil self-driving di jalan raya masih dalam tahap pertimbangan.

Visi GM yang cukup berani dalam hal ini merupakan cerminan perubahan perilaku konsumen pasca resesi di AS. Fakta bahwa Generasi Milenial yang semakin menggilai sharing economy daripada ownership economy semakin membuka pintu berbagai jasa transportasi fleksibel.

Di AS sendiri yang lebih mengandalkan transportasi otomobil daripada transportasi publik masal seperti kereta dan kereta bawah tanah, juga membuka kesempatan besar untuk jasa-jasa mobil semacam Lyft dan Uber.

GM mengenali betul bagaimana bahaya dari jasa-jasa mobil car-sharing dan ride-sharing yang sangat berpotensi menurunkan omzet penjualan mobil. Besar kemungkinan langkah GM ini juga akan diikuti oleh produsen mobil dari Jerman dan Jepang lainnya.

Di tahun 2011, GM telah bekerja sama dengan RelayRides, yaitu tempat transaksi car-sharing di mana para pemilik mobil menyewakan mobil-mobil mereka yang sedang tidak digunakan. Ford juga telah bermitra dengan Getaround dan Daimler Mercedes telah menjalin kerjasama dengan Car2Go.

Sebagai perbandingan, Uber telah mendapatkan modal sebesar US$ 10 miliar dan divaluasi US$ 62,5 miliar. Jadi, Lyft hanyalah 1/14 nilai Uber. Ini perlu dikejar.

Selain itu, Uber mempunyai pusat riset self-driving cars di Pittsburg dan sangat getol mempekerjakan para pakar dari Carnegie Mellon University dan para jebolan Google. Dua institusi ini dikenal sebagai pionir self-driving cars.

Sepak terjang Lyft juga bisa dilihat dari keberhasilan menggaet kerja sama dengan Starbucks, Shell, Hertz, dan Justin Bieber.  Kerjasama dengan Shell ini sangat menunjang karena menekan pengeluaran para driver independen Lyft dengan diskon yang menarik. Sedangkan bisnis rental mobil Hertz memberikan kesempatan bagi para driver independen yang tidak memiliki mobil sendiri.

Kerjasama dengan Starbucks berupa transportasi bagi para barista yang mengalami kesulitan transportasi publik ketika berangkat dan pulang kerja. Lyft memberikan jasa pengantaran gratis bagi para barista. Semacam shuttle kerja begitulah.

Akhir kata, bagaimana sepak terjang Lyft di Indonesia, masih perlu kita amati. Banyak yang bisa kita pelajari dari model bisnis dan strategi mereka.



TERBARU

×