kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Zero sum game spread industri perbankan

oleh Budi Frensidy - Staf Pengajar FEB-UI dan Pengamat Pasar Modal


Rabu, 09 Maret 2016 / 20:40 WIB
Zero sum game spread industri perbankan

Reporter: Budi Frensidy | Editor: mesti.sinaga

Bulan lalu, laju saham perbankan, terutama di papan atas, sempat terhenti akibat berhembusnya wacana pembatasan net interest margin (NIM).

Sejatinya, tanpa ada isu itu, laba perbankan nasional kita sudah melewati masa jaya dan mulai menunjukkan perlambatan. Dari hanya Rp 30,6 triliun di tahun 2008, total laba bank naik 47,7% menjadi Rp 45,2 triliun (2009), kemudian 26,8% menjadi Rp 57,3 triliun (2010) dan 31,1% (Rp 75,1 triliun) pada tahun 2011.

Setelah itu, perbankan nasional kita masih tetap menikmati kenaikan laba, yaitu menjadi Rp 92,8 triliun (2012) Rp 106,7 triliun (2013) dan Rp 112,2 triliun (2014).

Namun, tingkat pertumbuhan terus merosot, yaitu 23,6% (2011-2012), 15,0% (2012-2013) dan hanya 5,2% di tahun 2013-2014. Saham perbankan tidak lagi menjadi primadona BEI.

Dengan NIM 6%, Indonesia menjadi salah satu negara dengan spread terbesar. Spread setinggi ini sangat memberatkan debitur.

Di sisi lain, membengkaknya laba bank menyebabkan bonus direksi dan komisaris bank tertinggi dibanding industri lain di Indonesia dan investor saham perbankan bergelimang keuntungan. Pemerintah juga ikut menikmati, melalui kenaikan penerimaan pajak dan dividen bank BUMN.

Sebuah permainan zero sum antara mereka (bankir, investor dan pemerintah) dan para debitur bank. Kita tak pernah bermimpi, spread perbankan kita seperti di Jepang yang hanya sekitar 1%, tetapi angka 3%-4% mestinya cukup realistis.

Dalam literatur keuangan, kita mengenal dua sistem, yaitu berbasis bank dan pasar. Pendukung sistem keuangan bank-based mengatakan, ini lebih baik daripada market-based dalam mengatasi terjadinya asimetri informasi, terutama negara-negara yang berada dalam tahapan awal pembangunan ekonomi.

Tanpa bank, biaya investor memperoleh dan memproses informasi mengenai kondisi dan kinerja perusahaan menjadi sangat tinggi. Keberadaan bank menurunkan risiko dan biaya pengawasan yang harus ditanggung investor publik.

Pengawasan oleh bank sebagai kreditur jauh lebih efektif daripada pengawasan sekumpulan kas surplus (investor) dengan informasi terbatas yang dimiliki.

Di sisi lain, ada sistem keuangan berbasis pasar yang dianut Amerika dan Inggris. Dalam market based, sumber pembiayaan utama adalah pasar modal atau terjadi interaksi langsung antara yang punya uang (kas surplus) dan perusahaan yang butuh uang (kas defisit).

Pendukung sistem market-based menekankan pentingnya pasar modal memberikan insentif kepada kas surplus dan kas defisit. Sistem keuangan ini lebih efisien, karena bersifat langsung tanpa melalui perantara keuangan (financial intermediary) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang daripada sistem bank-based.

Pasar modal yang kuat juga memberikan kesempatan para kas surplus mendiversifikasi risiko dan menghindari risiko non-sistematis.

Ross Levine Levine dalam artikelnya (2002) Bank-based or market-based financial systems: which is better? mengatakan, tidak ada sistem yang lebih unggul atau lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Data empiris menunjukkan, pembagian sistem keuangan dalam bank-based, market-based, tidak mampu menjelaskan proses pertumbuhan negara-negara di dunia.

Siapa yang tidak tahu rendahnya spread bank di Jepang dan keperkasaan Bundesbank Jerman sebelum menjadi Bank Sentral Eropa? Dua negara itu menganut bank-based. Siapa yang meragukan Amerika sebagai adidaya dengan sistem market-based?

Di negeri kita, sistem market-based belum lama berkembang, sehingga masih jauh dari optimal dibandingkan pasar modal Amerika yang sudah ada sejak tahun 1792.

Sementara sistem berbasis bank masih jauh dari efisien, ditandai tingginya rasio biaya operasional berbanding pendapatan operasional (BOPO) dibanding negara-negara tetangga. Ada beberapa implikasi sistem keuangan berbasis bank.

Pertama, sumber pembiayaan utama sebagian besar korporasi Indonesia adalah kredit bank. Hanya kurang dari 700 korporasi Indonesia yang mengeluarkan saham atau obligasi.

Jutaan perusahaan lain hanya mengandalkan pendanaan bank. Jumlah perusahaan yang menerbitkan saham hanya sekitar 525, di bawah jumlah perusahaan terbuka di Thailand, Singapura, atau Malaysia.

Kedua, alternatif investasi utama dan paling aman di mata sebagian besar masyarakat Indonesia adalah deposito alias deposito minded.

Jika investor domestik di pasar saham kita tidak lebih dari 500.000 orang dengan dana sekitar ratusan triliun, jumlah rekening di bank telah menembus 150 juta, senilai Rp 4.200 triliun.

Ketiga, tidak tepat penggunaan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai indikator keberhasilan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kenaikan IHSG hanya relevan untuk segelintir penduduk. Sebagian besar orang Indonesia lebih berkepentingan dengan intermediation fee rendah.

Kesimpulannya, jika pemerintah serius ingin menyejahterakan rakyat dan menggenjot perekonomian, penurunan spread harus menjadi prioritas.

Aksi penurunan spread dapat dimulai dari tiga bank besar: BCA, Bank Mandiri dan BRI, yang menguasai 50% lebih perbankan nasional kita. Dari laba bank tahun 2014 sebesar Rp 112,2 triliun, sekitar Rp 60,4 triliun atau 53,8% milik tiga bank terbesar di atas.

Gebrakan ini akan disambut positif pelaku usaha yang membutuhkan kredit. Jika dapat direalisasikan, investasi baru dan ekspansi usaha akan menggeliat, yang akan menggairahkan perekonomian, menciptakan banyak lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi 6% atau lebih.

Sudah saatnya dan semestinya pemerintah berpihak ke sektor riil dan debitur.



TERBARU

×