kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Menyandingkan keberagaman

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Selasa, 10 Mei 2016 / 10:34 WIB
Menyandingkan keberagaman

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Wacana perbedaan sangat serupa dengan perubahan. Begitu enak dibicarakan, namun amat sulit dijalankan. Jika ingin maju, hampir semua orang merasa perlu dan harus berubah. Tapi, pada kenyataannya sangat sedikit yang siap dan ikhlas menjalani perubahan tersebut.

Setali tiga uang, hampir segenap umat manusia mengamini keniscayaan perbedaan. Nyatanya? Lagi-lagi, tak banyak yang dengan legowo dan sukacita menyambut perbedaan itu.

Sekalipun orang sudah memahami dan membayangkan absurditas kehidupan yang serba sama dan seragam, toh, banyak yang gampang geram, gusar, serta tak siap hidup dalam kebhinekaan. Apalagi kalau sudah terkait dengan keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan.

Sudah banyak studi yang menunjukkan, bahwa kebhinekaan bisa menjadi modal sosial atau organisasional yang luar biasa dahsyatnya.

Dalam konteks organisasi, keanekaragaman adalah prasyarat utama lahirnya inovasi yang menjadi unsur daya saing usaha yang utama. Keanekaragaman akan menjadi sumber kreativitas sekaligus pendobrak status quo, dan bila dikelola dengan baik akan melahirkan inovasi penuh added-value bagi organisasi.

Meski begitu, sekalipun kita sudah memahami keniscayaan dari perbedaan dan juga kemanfaatan dari keanekaragaman, pada kenyataannya perbedaan serta keanekaragaman seringkali memicu pertentangan dan menyulut kekerasan.

Terhadap perbedaan, sesungguhnya kita mempunyai dua pilihan pendekatan, yakni menyandingkan atau menandingkan. Menyandingkan perbedaan laksana memadukan tangkai bunga yang berbeda-beda dalam sebuah buket nan indah. Sementara menandingkan perbedaan ibarat mengadu ayam sabung dalam medan pertarungan, yang bisa mendatangkan pertumpahan darah.

Tanpa perlu diskusi mendalam pun, kita tahu bahwa menyandingkan adalah pilihan yang baik bagi kehidupan manusia. Namun lagi-lagi, naluri manusia gampang terstimulasi untuk menandingkan perbedaan-perbedaan yang ada. Semakin mendasar anasir perbedaan, semakin keras pula upaya untuk menandingkannya.

Tidaklah mengherankan jika perbedaan-perbedaan dalam urusan agama, ras, dan budaya bisa menjadi pemantik konflik yang eksplosif. Ini seiring dengan pemikiran hipotetis ilmuwan politik Samuel Huntington dalam bukunya yang sangat terkenal, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996).

Menurut Huntington, sejak berakhirnya era Perang Dingin, konflik global yang terjadi tak lagi dipantik oleh perbedaan ideologi, tapi bergeser ke urusan identitas budaya dan agama, yang juga disebutnya sebagai peradaban (civilizations). Beberapa contoh peradaban utama (major civilizations) yang sekarang eksis di muka bumi adalah Barat, Amerika Latin, Timur, Islam, Sub-Sahara, dan Afrika.

Sebagai peluang

Fenomena radikalisme yang mulai marak akhir-akhir ini menjadi pertanda bahwa kita belum sungguh-sungguh siap menerima keniscayaan diversitas alias keanekaragaman. Demikian pula, preferensi primordialisme dalam urusan pengelolaan organisasi juga masih eksis secara diam-diam, saat kebijakan perusahaan lebih menyandarkan diri pada urusan SARA daripada azas meritokrasi.

Dalam bukunya yang klasik berjudul The Medici Effect (2005), Frans Johansson mengatakan, menghadapi siklus bisnis yang semakin cepat dan arena kompetisi yang ganas, tak ada pilihan lain bagi perusahaan kecuali melakukan inovasi tiada henti. Dan, diversitas adalah pendorong utama lahirnya inovasi, tutur dia.

Alih-alih mengingkarinya, perusahaan besar dan negara maju justru dengan sadar memanfaatkan keanekaragaman ini sebagai kekuatan kompetisinya. Lihat saja, banyak perusahaan multi-nasional yang sengaja menjadikan organisasinya sebagai melting-pot bagi talenta-talenta terbaik berbagai negara.

Sama halnya pula negeri jiran seperti Singapura pun begitu getol merekrut putra-putri terbaik di Asia utamanya Asia Tenggara untuk mengenyam pendidikan dan bekerja di sana. Sekalipun, itu menimbulkan kecemburuan bagi warga Singapura.

Organisasi dan negara seperti di atas melihat wacana keanekaragaman dari perspektif yang sama sekali baru dan segar. Mereka menyadari, lebih dari sekadar keniscayaan, diversitas pun bisa dimaknai sebagai peluang. Yakni, peluang buat menghasilkan sebuah hasil persilangan (hibrida) yang lebih segar, berbobot, dan inovatif.

Saat mendengar kata anak blasteran, kita di Indonesia umumnya membayangkan wajah yang cantik, ganteng, ataupun menarik. Demikian pula bagi penggemar hewan piaraan, cenderung menyukai anjing ataupun kucing blasteran, yang cute dan menggemaskan. Bukankah blasteran di sini adalah sama artinya dengan produk hasil persilangan dari entitas-entitas yang berbeda.

Untuk mengerjakan sebuah proyek organisasi, seorang sahabat yang juga pimpinan perusahaan senantiasa membentuk tim dengan anggota-anggota yang berbeda latar belakang. Entah itu latar belakang primordialisme, kecakapan akademis, maupun pengalaman kerja. Katanya, kalau kita mengumpulkan lima orang dari latar belakang SARA, sekolah, dan pengalaman kerja yang sama, itu sama artinya kita mempekerjakan satu orang saja. Empat orang lainnya, tak lebih tak kurang, hanya supporter penggembira belaka!



TERBARU

×