kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ibl

Motivator pada manajer perusahaan

oleh Prof. Andreas Budihardjo - Professor of Human Resource Management Prasetiya Mulya Business School


Senin, 05 November 2012 / 17:26 WIB
Motivator pada manajer perusahaan

Reporter: Prof. Andreas Budihardjo | Editor: tri


Motivator mendorong karyawan, dalam hal ini manajer, untuk bekerja, berprestasi, dan engaged. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa kompetensi atau kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk mendorong seorang karyawan, khususnya manajer, untuk berprestasi. Perubahan dalam dunia bisnis yang sangat cepat dan berbagai faktor baik perkembangan teknologi maupun perubahan gaya hidup menyebabkan kebutuhan seorang manajer ikut dipengaruhi. Manajer sebagai human capital yang esensial harus dipertahankan bahkan dikembangkan.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2001 mendefinisikan human capital sebagai pengetahuan, keterampilan, kompetensi-kompetensi, serta atribut-atribut (seperti nilai, potensi, dan kepribadian) yang ada dalam individu (dalam hal ini adalah karyawan) yang memfasilitasi
penciptaan keutuhan pribadi, sosial, dan ekonomi yang sehat (well-being).

Motivasi merupakan bagian dari atribut yang memiliki peran yang penting dalam pencapaian tujuan, baik pribadi, sosial, maupun ekonomi yang sehat. “Sehat” dalam konteks ini penting sebab tujuan atau sasaran ekonomis perusahaan bisa saja dicapai dengan berbagai cara, kendati para manajer dan karyawannya tidak bermotivasi atau bahkan dalam kondisi stres. Dalam kerja paksa pada zaman dahulu misalnya, banyak pekerja yang tidak bermotivasi bahkan stres berat, tapi mereka “mampu” mencapai sasaran yang diberikan karena “dipaksa” dan “disiksa” kendati tentu harus dibayar mahal. Jika hal itu terjadi, yang ada bukan motivator tapi sekedar movement (gerak).

Dewasa ini, tak jarang pula unethical practices terjadi di perusahaan atau organisasi, memotivasi sekaligus “me-ngorbankan”. Suatu perusahaan yang tidak mengindahkan etika bisnis sering “mengorbankan” para pemimpinnya untuk suatu kepentingan melalui “motivasi semu”. Di satu pihak, mereka diberi otonomi yang besar, namun di balik itu, mereka harus menanggung praktik yang tidak etis yang dilakukan oleh pejabat tinggi perusahaan tersebut.

Perusahan seyogianya menempatkan sumber daya manusia (SDM) sebagai “mitra” yang berharkat dan bermartabat dalam mencapai sasaran yang menantang namun “sehat” dengan cara yang sehat pula. Motivator bukanlah alat untuk memanipulasi (motivasi semu) agar manajer atau karyawan bekerja kerja keras tanpa mempertanyakan sasaran, cara pencapaiannya, serta visi perusahaan.


Kebebasan bekerja

Dalam konteks memanusiakan manusia, perusahaan harus senantiasa menempatkan para karyawan bukan sebagai human capital yang pasif bak sebagai objek yang dapat dipergunakan jika diperlukan. Sebaliknya, perusahaan harus menempatkannya sebagai human capital yang aktif dan bermartabat sehingga kesehatan perusahaan, baik dari segi finansial dan nonfinansial, dapat dicapai. Ini juga akan menjadi fondasi yang kuat bagi perusahaan tersebut baik pada saat sekarang dan
masa depan.

Mengacu pada “kesehatan perusahaan” dalam kaitannya dengan faktor manusia, khususnya para manajer, perusahaan seyogianya mengetahui kebutuhan mereka sehingga dalam melakukan proses rekrutmen dan seleksi juga mempertimbangkan faktor-faktor tersebut untuk kemudian diwujudkan dalam proses memotivasi mereka sehingga terjadi kondisi well-being, baik bagi manajer dan perusahaan.

Berdasarkan survei (Budihardjo, 2012) pada para manajer senior yang bekerja pada perusahaan besar, diidentifikasi bahwa motivasi para manajer adalah antara lain otonomi, pengembangan diri, dan pekerjaan menantang. Kepu-asan kerja mereka lebih pada faktor “kebebasan dalam bekerja” dan tantangan dalam bekerja, serta pengembangan diri. Gaji dan bonus juga berperan sebagai motivator tetapi lebih bersifat bersifat maintaining.

Secara sederhana, karakteristik motivator untuk para manajer senior dapat dikelompokkan sebagai berikut :

• Pemeliharaan/maintaining pada manajer antara lain gaji, bonus, benefit/ tunjangan-tunjangan.

• Membuat manajer tetap up-to-date dan berkembang dalam kompetensi antara lain pengembangan kompetensi, kepastian, dan kejelasan pekerjaan.

• Mendorong manajer berkinerja lebih antara lain otonomi/pemberdayaan, pekerjaan yang menantang.

Esensi manusia dalam bekerja pada tingkat atas adalah kebebasan yang bertanggungjawab serta tantangan. Kebutuhan tingkat atas manusia adalah aktualisasi diri yang dalam hal ini berupa kepercayaan untuk bekerja secara mandiri karena diberi kebebasan dalam mengambil keputusan. Fakta ini juga selaras dengan salah satu syarat kesehatan mental manajer adalah diberikannya pemberdayaan yang tinggi.

Namun, perlu dicatat bahwa pemberdayaan tersebut perlu diiringi dengan peningkatan kompetensi para manajer dan pemberian dengan trust yang tulus. Suatu contoh budaya pembelajaran dapat memotivasi para manajer untuk menjawab tantangan pekerjaan dan mengembangan diri lewat proses sharing pengetahuan dan pengalaman.

Coba bandingkan motivator manajer tersebut dengan motivator pada karyawan muda. Berdasarkan survei, motivator karyawan muda adalah mencari ilmu/pengalaman, karier, serta kompensasi. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa perusahaan senantiasa “wajib” meningkatkan motivasi para manajer seoptimal mungkin agar berdampak pada kesehatan dan kinerja perusahaan.

Pemaknaan diri dan well-being melalui kebebasan dalam bekerja, tantangan, serta pengembangan diri merupakan faktor pendorong utama para manajer untuk mencapai sasaran pribadi dan perusahaan yang seyogianya diletakkan dalam kerangka strategis yang mengacu pada “kesehatan perusahaan” demi pencapaian sasaran perusahaan secara efektif dan berkelanjutan.     



TERBARU

×