kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Kaya dan bermartabat

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Selasa, 28 Juni 2016 / 17:12 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis artikel bertajuk Benar Dulu, Baru Kaya. Intinya, saya mengatakan, menjadi kaya adalah hal yang baik dan mulia adanya.

Petuah bijak dan doa orangtua pun menuntun orang untuk bercita-cita menjadi kaya. Tapi, seperti ajaran kehidupan, bukankah kita mesti menempatkan kebenaran di atas kekayaan. Yang terbaik ialah saat keduanya bisa berjalan beriringan, ketika seseorang bisa menggapai kekayaan dengan cara yang sebenar-benarnya.

Saat membaca artikel tersebut, seorang rekan pengusaha yang masih muda bertanya serius penuh kemasygulan :Khususnya di Indonesia, apakah mungkin menjadi kaya dengan cara yang benar? Bisa berikan contoh orangnya?

Ditodong pertanyaan seperti itu, jujur saja, giliran saya yang seketika menjadi masygul.

Ada beberapa sosok pengusaha kaya yang kita kenal memiliki reputasi yang luarbiasa hebatnya. Namun, saya pun tak bisa memastikan, apakah semuanya diperoleh dengan cara yang benar.

Dengan cara yang tidak terang-terangan melanggar peraturan, mungkin iya. Tapi, apakah itu secara otomatis berarti ditempuh dengan cara yang benar? Terus terang, saya tak bisa menjawab dengan pasti dan percaya diri.

Belum rampung saya memikirkan diskursus di atas, tiba-tiba muncul pemberitaan di media masa tentang operasi tangkap tangan KPK terhadap seorang wakil rakyat di Jakarta, yang juga dikenal pengusaha muda nan sukses. Setelah itu, disusul dengan penetapan tersangka pimpinan tertinggi perusahaan pengembang properti ternama di Indonesia.

Jelas, kasus terakhir yang melibatkan perusahaan besar dengan reputasi hebat dan mencorong, membuat kita semakin sulit mencari contoh pengusaha (dan perusahaan) yang sukses kaya raya, sekaligus juga menegakkan kebenaran sebenar-benarnya.

Sampai-sampai, seorang teman berujar nyinyir, bahwa kebenaran itu hanya ada di kitab suci, dan bersembunyi di balik mulut para pengkotbah mulia. Paling banter, hadir sebagai teori dalam buku-buku teks para mahasiswa. Selebihnya, yang ada adalah lapangan permainan yang beringas, saling sikut, serba suap, dan penuh kerakusan.

Sesungguhnya, dalam lingkup dan konteks bisnis, urusan kebenaran cara usaha ini bukanlah perkara baru. Sudah ada ketentuan yang diatur melalui praksis good corporate governance (GCG) atawa tata kelola perusahaan yang baik dan benar.

Banyak perusahaan (apalagi perusahaan besar dan mapan) yang sudah menjadikan GCG sebagai fondasi operasi bisnisnya. Sebagian melakukannya semata-mata karena regulasi pemerintah (terutama bagi yang terdaftar sebagai perusahaan terbuka/publik). Sebagian lagi mengklaim GCG sebagai kesadaran institusional yang diperlukan untuk membangun organisasi yang sehat.

Namun, persyaratan dan kesadaran GCG seringkali menjadi buyar ketika masuk ke arena implementasi di lapangan yang nyata. Medan usaha yang sarat dengan pragmatisme kompetisi, telah membuat para pelaku usaha jadi tawar hati.

Dinamika usaha

Andy Groove, mantan petinggi perusahaan semikonduktor Intel yang sangat legendaris, berujar, only the paranoid survive.

Ini menunjukkan, dinamika dunia usaha saat ini bertiup begitu kencangnya (entah karena peta persaingan yang berubah, regulasi yang muncul tiba-tiba, ataupun perkembangan teknologi yang tak terduga) membuat para pelaku yang terlibat di dalamnya harus selalu dalam keadaan yang siap siaga, was-was, dan penuh rasa curiga alias paranoid.

Jelas, ini situasi mental yang sangat menantang sekaligus meletihkan secara psikologis. Dinamika bisnis yang liar dan ganas seolah-olah berhadapan dengan praksis GCG yang serba tertata dan teratur.

Dunia usaha menuntut kecepatan, sementara GCG lebih mengutamakan kecermatan. Demikian pula, dunia usaha berusaha meraup setiap peluang dan kesempatan, sedang GCG dipandang sebagai pagar penuh pembatasan.

Ringkas cerita, dunia usaha begitu obsesif untuk menguber tujuan, yakni meraup pendapatan dan keuntungan sebesar-besarnya sekaligus secepat-cepatnya. Sementara GCG hadir untuk menegakkan cara, yaitu mengikuti prinsip dan peraturan selurus-lurusnya sekaligus sebenar-benarnya.

Tak bisa dipungkiri, dalam kondisi bisnis yang bergerak cepat, dinamis, dan kompetitif, menegakkan GCG adalah pekerjaan yang teramat sulit. Tapi, seperti bunyi nasehat emas: sulit bukan berarti mustahil.

Saya sangat percaya, beberapa perusahaan berhasil memadukan secara baik dua hal berikut: tujuan bisnis yang tinggi dan cara berbisnis yang benar. Perusahaan-perusahaan ini kelak tak hanya hadir sebagai perusahaan yang besar, namun sekaligus juga bermartabat.

Perusahaan (sekaligus pengusaha-pengusaha) yang bermartabat tidak selalu jadi perusahaan yang terbesar, terkaya, dan terhebat. Yang jelas, dengan martabat yang dimilikinya, ia akan mendapat pergaulan dan dukungan yang sehat pula dari para pemangku kepentingan (stakeholders) di sekitarnya.

Dan, itulah yang menjadi kunci dari keberlangsungan (sustainability) dari sebuah perusahaan.



TERBARU

×