kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Budaya : agenda atau akibat?

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Rabu, 27 Juli 2016 / 18:42 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

 Tak ada yang memungkiri bahwa budaya organisasi adalah landasan penting (kalau bukan terpenting) bagi perkembangan dan kemajuan sebuah institusi. Hampir bisa dipastikan, di balik kesuksesan dan keberlanjutan sebuah organisasi besar, selalu ada budaya organisasi kuat yang mengiringi.

Makanya, jika ada persoalan serius yang menghampiri sebuah organisasi, perkara yang pertama kali hendak ditangani biasanya adalah budaya organisasi. Entah itu urusan kerugian finansial perusahaan, perilaku tak etis jajaran pimpinan, ataupun sikap kerja malas-malasan para karyawan, yang ditoleh untuk diperbaiki pertama kali ialah budaya perusahaan.

Menjadi pertanyaan bersama, apakah budaya perusahaan memang bisa diperbaiki dan dibentuk secara langsung, laksana membeli obat sakit kepala di apotek? Ternyata, perkara pembentukan budaya perusahaan tak sesederhana yang dibayangkan.

Melalui rangkaian wawancara intensif dengan beberapa pemimpin bisnis yang sukses melakukan transformasi, Jay W. Lorsch dan Emily McTague mengambil kesimpulan yang menarik. Dalam studi yang dituangkan dalam tulisan Culture is Not the Culprit (HBR, April 2016), kedua akademisi dari Harvard Business School ini menyimpulkan, bahwa pada dasarnya budaya perusahaan tak bisa dibentuk (ataupun dibenahi) secara langsung.

Dengan kata lain, pengembangan budaya lebih tepat dikatakan sebagai sebuah akibat (konsekuensi) daripada suatu agenda (kegiatan aktif). Ini mirip dengan pandangan Stephen Covey tentang sinergi.

Dalam buku klasiknya The 7 Habits of Highly Effective People, Covey mengatakan, bahwa sinergi tidak bisa dibangun secara langsung. Jadi, jangan berharap hanya dengan mengkampanyekan jargon sinergi maka perilaku sinergis akan terbentuk di kelompok kerja kita.

Sebaliknya, jika masing-masing karyawan memiliki dua perilaku seek first to understand, then to be understood (berusaha memahami orang lain terlebih dahulu) dan think win-win (berpikir untuk kemenangan bersama), maka tanpa diteriakkan sekalipun perilaku sinergis akan muncul secara nyata.

Dalam hal ini, sinergi merupakan akibat atawa konsekuensi logis dari adanya dua perilaku sebelumnya, yakni memahami orang lain dan berpikir menang-menang.

Mengubah warna

Kembali ke konteks pengembangan budaya organisasi, Lorsch dan McTague menyimpulkan, alih-alih mengembangkannya secara langsung, budaya perusahaan justru akan terkembangkan dengan sendirinya bila perusahaan menerapkan sistem, proses, dan struktur kerja yang baru.

Jika sistem, proses, dan struktur kerja tersebut diterapkan dengan konsisten, perlahan tapi pasti kultur baru pun akan terbentuk.

Contoh berikut bisa memberikan kita gambaran bahwa aturan main (sistem) dan tata kelola (proses) yang baru akan mengubah warna budaya sebuah organisasi.

Ketika Alan Mulally mengambil alih kepemimpinan raksasa otomotif Ford tahun 2006, perusahaan nyaris berada di tubir kebangkrutan dengan kondisi pangsa pasar yang tergerus hampir 25% sejak 1990. Namun, pengalaman Mulally yang sempat mengelola Boeing pada zaman krisis, membuatnya lebih cakap menghadapi persoalan di Ford.

Selain urusan keuangan, persoalan besar yang dihadapi oleh Ford saat itu adalah mentalitas silo dan defensif yang menghinggapi pimpinan setiap unit usaha di dalam grup. Ford seakan-akan induk perusahaan dengan begitu banyak anak usaha yang berjalan sendiri tak terkendali.

Setiap unit bisa membuat mobil yang berbeda, dengan target pasar yang berbeda, sekaligus dengan gaya kerja yang berbeda-beda. Semua unit seolah-olah bekerja secara mandiri dan tak jelas arah.

Mulally tidak berseru kencang kepada segenap jajaran manajemennya untuk membangun semangat kolaborasi dan keterbukaan di antara mereka. Ia hanya membuat aturan main baru. Ia memperkenalkan One Ford, yakni strategi untuk mengintegrasikan berbagai unit Ford di seluruh dunia, yang nantinya menghilangkan inefisiensi proses dan biaya kerja.

Dia membentuk pimpinan global (global head) dari fungsi-fungsi: produksi, pemasaran, dan pengembangan produk yang akan mengarahkan bentuk kolaborasi antarunit dan sekaligus menyederhanakan operasi bisnis Ford secara keseluruhan.

Selain itu, Mulally juga mengadakan rapat reguler yang harus dihadiri oleh para eksekutif lintas unit. Bersama-sama mereka akan mendiskusikan, mengkaji sekaligus mempertanggungjawabkan capaian kinerja Ford secara keseluruhan dari waktu ke waktu.

Mereka menggunakan sistem pewarnaan untuk menandai capaian kinerja mereka, yakni hijau untuk pencapaian yang baik, kuning untuk peringatan dini, dan merah untuk pertanda adanya persoalan serius.

Apa yang terjadi dengan aturan seperti itu? Pada awalnya, semua eksekutif yang hadir takut untuk mengangkat persoalan yang ada secara terbuka. Mereka saling menjaga dan melindungi secara tidak sehat.

Oleh karenanya, semua evaluasi pencapaian yang diberikan praktis berwarna hijau. Melihat gelagat tersebut, Mulally pun membentak keras, Kita sudah merugi miliaran dollar tahun lalu, dan Anda semua mengatakan bahwa pencapaian kita baik-baik saja!!!.

Beberapa eksekutif pun mulai menunjukkan keberanian untuk membicarakan persoalannya secara terbuka. Dan, bukannya marah kepada persoalan yang disampaikan, Mulally justru memuji keberanian mereka untuk bersikap terbuka. Perlahan tapi pasti, para karyawan menyadari bahwa menjadi jujur terbuka memungkinkan mereka untuk bekerjasama mengatasi persoalan dengan lebih cepat dan efektif.

Dan, kita tahu, saat pensiun dari Ford tahun 2014, Mulally dikenang sebagai sosok pengubah budaya organisasi yang sukses, dengan capaian kinerja bisnis yang hebat pula.



TERBARU

×